Selasa, 10 Mei 2011

Tafsir Al-Azhar


TAFSIR AL-AZHAR
Q.S AL-BAQARAH 142-286

(142) Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu : Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya ? Katakanlah :Kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.
(143) Dan demikianlah , telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah, supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah Rasul menjadi saksi(pula) atas kamu. Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya, melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah Penyan­tun lagi Penyayang.
Dari Hal Kiblat I
Pada ayat 115 (juzu' 1) telah difirmankan dengan jelas, bahwasanya baik timur ataupun barat, baik jurusan yang mana saja, semuanya itu adalah kepunyaan Allah, dan ke mana sajapun menghadap, di sana akan diterima juga oleh wajah Allah. Sebab Allah tidak menempati sesuatu, bahkan Dia Maha Luas dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu, pada pokoknya ke mana sajapun kita menghadapkan muka di kala shalat, yang kita hadapi tetaplah wajah Allah, asal kita kerjakan dengan khusyu'.

Tetapi agama bukanlah semata-mata urusan peribadi. Agamapun adalah kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat. Kalau sekiranya semua orang menghadap ke mana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah hanya satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan ummat tadi. Maka dalam Islam bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya yang tertentu, dengan rukun dan syaratnya yang tertentu, tempat menghadapkan mukapun diatur jadi satu.

Menurut riwayat yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim daripada al-­Bara', bahwa Nabi s.a.w, mula datang ke Madinah, beliau menepat pada akhwalnya (keluarga dari pihak ibu) dari kaum Anshar. Di waktu mula datang itu beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lamanya l6 atau 17 bulan. Sedang beliau rindu sekali kiblatnya itu menghadap ke Baitullah (Ka'bah). Setelah permohonan beliau itu dikabulkan Tuhan, maka shalat yang mula dihadapkannya ke Ka'bah itu ialah shalat Ashar. Suatu kaum menjadi ma'mum di belakang beliau. Setelah selesai shalat, searang di antara ma'mum itu pergi ke luar mesjid. Maka bersumpahlah orang itu sambil berkata:
"Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya baru saja selesai shalat bersama Nabi s.a.w. menghadap ke Ka'bah."
Mendengar perkataan orang itu maka sekalian orang yang shalat itu memalingkan mukanya ke Ka`bah dengan tidak memutusi shalatnya.

Sampai sekarang mesjid tempat orarng mengalih kiblat sedang shalat itu masih tetap dijadikan mesjid peringatan sejarah bernama mesjid Zul Kiblataini. Yang empunya dua kiblat.
Inilah satu riwayat yang berkenaan dengan perputaran kiblat itu, disertai lagi oleh bebarapa Hadits yang lain.
Menurut satu riwayat dari lbnu Abi Hatim , lbnu Jarir, Ibnu Mundzir dan al-Baihaqi, mereka mengatakan bahwa lbnu Abbas pernah berkata bahwa nasikh­ mansukh yang pertama terdapat dalam al-Quran, ialah urusan perpindahan kiblat itu , tetapi setengah ahli lagi berpendapat bahwa dalam urusan ini tidak terdapat nasikh-mansukh. Sebab bila Nabi Muhammad mulanya menghadap Kiblat! Baitul Maqdis, adalah menurut ijtihad beliau sendiri , sebeium ada ketentuan dari Tuhan. Sebab selama ini kedudukan Baitul Maqdis masih istimewa dan Ka'bah sendiri masih penuh dengan berhala.

Menurut riwayat lbnu Abi Syaibah dan Abu Daud dan al-Baihaqi pula dari lbnu Abbas, katanya ketika Rasulullah masih di Makkah sebelum pindah ke Madinah, kalau shalat, beliau menghadap kiblat ke Baitul Maqdis, tetapi Ka'bah di hadapan beliau. Dan setelah pindah ke Madinah, beliau langsung berkiblat ke Baitul Maqdis 16 bulan setelah itu Allah memalingkan kiblatnya ke Ka'bah. Untuk mengetahui duduk perkara, di sini kita salin beberapa riwayat berkenaan dengan soal kiblat itu.

Tentu kita telah mengerti dasar bermula di ayat 115 tadi. Jika ummat dipimpin menyatukan haluan kiblatnya, baik di Baitul Maqdis atau ke Masjidil Haram, bukanlah karena Tuhan Allah bertempat di kedua tempat itu. Atau mulanya Tuhan bertempat di Baitui Maqdis kemudian pindah ke Ka'bah.

Bukan! Kiblat-kiblat itu adalah tempat biasa. Alam biasa dan batu biasa di Baitul Maqdis memang ada Sakhrah, yaitu batu yang menurut riwayat banyak kejadian yang berhubung dengan diri Nabi-nabi pada batu itu. Tetapi diapun batu biasa. Ada orang yang membuat dongeng bahwa batu itu tergantung tidak bertali ke langit. Teranglah bahwa itu dongeng yang tidak-tidak yang hanya dapat dipercaya oleh orang bodoh-bodoh yang belum pernah melihatrrya ke sana. Batu itu tidak tergantung, melainkan terlekat di atas bumi, berlobang sedikit ke dalam, sebagai batu-batu gua di mana-mana di dunia ini.

Dan Ka'bah pun bukan batu akik atau yaqut yang didatangkan dari syurga Maka bukanlah karena batu-batu itu istimewa sangat, sehingga telah tergantung di antara alam dengan Tuhan, maka dianya yang dijadikan tempat buat kiblat , Ka`bah sendiri berkali-kali telah rusak. Di tahun 1957 pernah ada retak di Ka'bah, lalu dicari batu yang bagus-bagus dan ditambah dengan semen; bukan semen dari syurga, tetapi semen dari pabrik.

Enambelas atau tujuhbelas bulan lamanya berkiblat ke Baitul Maqdis Maka Rasulullah s.a.w: sangatlah rindu jika Tuhan Allah menurunkan perintah wahyu kembali menyuruh berkiblat ke Masjidil Haram yang di Makkah. Kerinduan beliau itu sudah dapat dimaklurni dari wahyu-wahyu yang telah turun terlebih dahulu mengatakan bahwa rumah yang di Makkah itu diperintahkan Tuhan kepada Ibrahim buat mendirikannya.

Maka oleh sebab Nabi Muhammad s.a.w. berkewajiban melanjutkan ajaran Ibrahim itu, yaitu menyerah diri kepada Allah, yang menjadi pokok asal dari sekalian agama, niscaya akan datanglah masanya, datang perintah menghidupkan kiblat yang asli itu kembali. Sebab dialah rumah tempat beribadat kepada Allah Yang Esa yang pertama sekali dibangunkan untuk manusia (lihat Surat ali lmran, Surat 3 ayat 96).
Apatah lagi di dalam Strategi perjuangan, kepindahan Rasulullah s.a.w. ke Madinah ialah dengan tujuan memperkuat kaum Muslimin, untuk merebut Ka`bah itu kelak dari kaum musyrikin dan membersihkannya daripada berhala. Dengan segeranya kiblat dikembalikan ke sana, maka semangat buat merebut­nya itu bertambah berkobar dalam dada seluruh ummat Tauhid yang telah mulai disusun di Madinah.

Tuhan Allah Yang Maha Mengetahui akan segala rahasia hati hambaNya dan telah mengetahui keinginan RasulNya itu memberi ingatlah kepada Nabi s.a.w. bahwa peralihan kiblat itu kelak akan membawa suatu keributan lagi di kalangan orang-orang yang bodoh-bodoh. Inilah ayatNya:

سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا
"Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu; Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya?" (pangkal ayat 142).

Tadi di atas telah kita salinkan beberapa Hadits yang menyatakan bahwa setelah Rasulullah s.a.w. berhijrah ke Madinah, kiblat yang beliau hadapi ialah Baitul Maqdis. Setelah 16 atau 17 bulan, lalu dipalingkan kiblat itu ke Ka'bah. Di dalam ayat ini telah diperingatkan kepada Rasulullah s.a.w. bahwa sebelum kiblat itu beralih , maka orang-orang yang bodoh di kalangan manusia itu akan menjadikannya percakapan yang ribut, mengapa dialihkan kiblatnya, padahal selama ini dia berkiblat ke Baitul Maqdis. Di dalam ayat ini disebut Sufahaau' , sebagai kata jama` dari safih, yaitu orang-orang bodoh yang berfikiran dangkal , yang bercakap asal bercakap saja, tetapi tidak sanggup mempertanggung­jawabkan apa yang diucapkannya.

Mereka bercakap hanya asal keluar saja. Ada yang berkata bahwa peralihan kiblat ini ialah karena Muhammad itu berfikir kurang matang , sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap ke mari. Dan ada pula yang berkata bahwa Muhammad hendak mengajak manusia kembali kepada agama nenek-moyangnya. Sebab di waktu itu di Ka'bah masih didapati berhala-berhala. Semuanya ini adalah lidah yang tidak bertulang. Maka di dalam ayat ini Nabi diberi peringatan, bahwa sebagaimana sudah terbiasa, apabila seorang Rasul atau pemimpin membuat suatu perobahan baru, sudah pasti akan ada ribut-ribut.

Tetapi ribut-ribut hanya akan datang dari orang-­orang bodoh , orang yang tidak bertanggung jawab. Baik penduduk Madinah yang memang munafik ataupun orang Yahudi yang berkeliaran di Madinah yang tidak marasa senang hati, karena dengan peralihan kiblat dari Baitul Maqdis itu , kemegahan mereka akan runtuh. Sebab menurut rnereka, sumber agama Yahudi itu adalah Baitul Maqdis dan di Baitul Maqdis pula timbul Nabi-nabi dan Rasul-rasul dari Bani Israil. Dengan demikian orang dapat mengambii kesan bahwa ajaran Nabi Muhammad itu hanyalah tiruan atau jiplakan dari agama mereka saja.

Kepada Nabi Muhammad diperingatkan bahwa kata-kata dari orang-orang yang bodoh itu tidak perlu diacuhkan. Yang akan diberi penerangan bukanlah si bodoh dan dungu atau bebal, melainkan orang yang berfikir waras. sebab itu bersabdaAllah dalam lanjutan ayat itu:

قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ
"Katakanlah : Kepunyaan Allah timur dan barat. "

Artinya bahwasanya di sisi Tuhan, baik barat ataupun timur, baik utara ataupun selatan, adalah sama saja. Segala penjuru dunia ini Tuhan yang empunya. Jika di waktu yang sudah-sudah orang berkiblat ke Baitul Maqdis bukanlah berarti bahwasanya Allah Ta'ala bertempat di Baitui Maqdis dan jika kemudian dialihkan ke Ka`bah, bukan pula berarti bahwa Allah bertempat di Ka'bah atau telah berpindah ke sana. Soal peralihan tempat bukanlah soal penempatan Tuhan di salah satu tempat:

يَهْدِيْ مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
"Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki, kepada jalan yang lurus." (ujung ayat 142).

Ayat ini memberi kejelasan bahwa soal beralih atau tetapnya kiblat, bukanlah berarti karena tempat itu yang kita sembah. Timur dan barat, utara dan selatan dan penjuru yang manapun adalah kepunyaan Allah.
Di antara Baitul Maqdis dengan Baitullah al-Haram di Makkah tidak ada perbedaan pada sisi Allah. Keduanya sama-sama terdiri dari batu dan kapur yang diambil dari bumi Allah. Tujuan yang terutama adalah tujuan hati, yaitu memohonkan petunjuk jalan yang lurus kepada Tuhan, yang Tuhan bersedia memberikannya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dengan keterangan ini dijelaskan duduk soal yang bisa mengacaukan fikiran, karena kacau-balau dari cara berfikir orang-orang yang bodoh.

Tegasnya, meskipun tetap meng­hadap ke Baitul Maqdis, ataupun telah beralih kepada Ka'bah, namun kalau hati tidak jujur, kalau langkah yang ditempuh di dalam hidup adalah langkah curang, beralih atau tidak beralih kiblat, tidaklah akan membawa perobahan bagi jiwa.

Qleh sebab itu percakapan dari orang-orang yang bodoh janganlah sampai membawa orang-orang yang berakal cerdas terpesona daripada maksud agarna yang bermula.

Jangan sarnpai orang yang berakal fikiran cerdas meninggalkan pokok (prinsip) karena terbawa oleh aliran yang kacau dari orang bodoh, lalu bertengkar pada soal ranting (detail).
Untuk itu dijelaskan lagi bagaimana kedudukan ummat Muhammad di dalam menegakkan jalan lurus yang dikehendaki itu. Berkatalah ayat selanjut­nya.

وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
"Dan demikianlah telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah." (pangkal ayat 143).

Dan ada dua ummat yang datang sebelum ummat Muhammad, yaitu ummat Yahudi dan ummat Nasrani. Terkenallah di dalam riwayat perjalanan ummat ummat itu bahwasanya ummat Yahudi terlalu condong kepada dunia, kepada benda dan harta. Sehingga di dalam catatan kitab Suci mereka sendiri, kurang sekali diceritakan dari hal soal akhirat. Lantaran itulah maka sampai ada di antara mereka yang berkata bahwa kalau mereka masuk neraka kelak , hanyalah beberapa hari saja, tidak akan lama.

Sebaliknya dari itu adalah ajaran Nasrani yang lebih mementingkan akhirat saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sampai mendirikan biara-­biara tempat bertapa, dan menganjurkan pendeta-pendeta supaya tidak kawin. Tetapi kehidupan rohani yang sangat mendalam ini akhirnya hanya dapat dituruti oleh golongan yang terbatas, ataupun dilanggar oleh yang telah me­nempuhnya, sebab berlawanan dengan tabiat kejadian manusia. Terutama setelah agama ini dipeluk oleh bangsa Romawi dan diakui menjadi agama kerajaan.

Sampai kepada zaman kita inipun dapatlah kita rasakan betapa sikap hidup orang Yahudi. Apabila disebut Yahudi, teringatlah kita kepada kekayaan benda yang berlimpah-limpah, menternakkan uang dan memakan riba. Dan bila kita baca pelajaran asli Kristen, sebelum dia berkecimpung ke dalam politik kekua­saan, akan kita dapatilah ajaran Almasih yang mengatakan bahwasanya orang kaya tidak bisa masuk ke dalam syurga, sebagaimana tidak bisa masuk seekor unta ke dalam liang jarum.

Maka sekarang datanglah ayat ini memperingatkan kembali ,ummat Muhammad bahwa mereka adalah suatu ummat yang di tengah, menempuh jalan lurus; bukan terpaku kepada dunia sehingga diper­hamba oleh benda dan materi, walaupun dengan demikian akan menghisap darah sesama manusia. Dan bukan pula hanya semata-mata mementingkan rohani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh kita masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua jalan hidup itu. Di dalam ibadat shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya itu; shalat dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku` dan sujud, tetapi semuanya itu hendak­lah dengan hati yang khusyu.

Nampak pula dalam peraturan zakat harta benda. Orang baru dapai berzakat apabila dia kaya raya, cukup harta menurut bilangan nisab. Dan bila datang waktunya hendaklah dibayarkan kepada fakir-miskin. Artinya, carilah harta benda dunia ini sebanyak-banyaknya , dan kemudian berikanlah sebaha­gian daripadanya untuk menegakkan amal dan ibadat kepada Allah dan untuk ­membantu orang yang patut dibantu.

Nampak pula pada peraturan di hari Jum'at. Di hari itu dari pagi bolehlah bekerja keras mencari rezeki, berniaga dan bertani dan lain-lain, tetapi setelah datang seruan Jum'at hendaklah segera berangkat menuju tempat shalat, untuk menyebut dan mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat, segeralah keluar dari mesjid untuk bekerja dan bergiat lagi.

Ini menunjukkan jalan tengah di antara tiga agama yang serumpun. Dalam pada itu secara luas dapat pula kita tilik pandangan hidup barat yang - dipelopori oleh alam fikiran Yunani yang lebih mementingkan fikiran (filsafat), dan alam fikiran yang dipelopori oleh India purba yang memandang bahwa dunia ini adalah maya semata-mata , atau khayal. Sejak dari ajaran Upanisab sampai kepada ajaran Veda, dari Persia dan India, disambung lagi dengan ajaran Budha Gautama, semua lebih mementingkan kebersihan jiwa, sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani yang menyusahkan.

Bangkitnya Nabi Muhammad s.a.w. di padang pasir Arabia itu, adalah membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu ummat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesihatan rohani dan jasmani, karena kesi­hatan yang satu bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi Khalifah Allah di atas bumi, untuk bekal menuju akhirat. Karena kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Selama ummat ini masih menempuh Shiratal-Mustaqim, jalan yang lurus itu, selama itu pula mereka akan tetap menjadi ummat jalan tengah.

Maka berkata ayat selanjutnya:

لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
"Supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia. "

Menurut Imam az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya al-Kasysyaf, ummat Muhammad sebagai ummat yang jalan tengah, akan menjadi saksi atas ummat Nabi-nabi yang lain tentang kebenaran risalah Rasul-rasul yang telah disampaikan kepada ummat mereka masing-masing.

Dan berkata lanjutan ayat:

وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
"Dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas kamu."

Yaitu Rasul itu Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi pula di hadapan Tuhan kelak, sudahkah mereka menjalankan tugas mereka sebagai ummat yang menempuh jalan tengah, adakah kamu jalankan tugas kamu itu dengan baik , ataukah kamu campur-adukkan sajakah di antara yang hak dengan yang batil, sebab sifat tengahmu itu telah hilang.

Ummat Muhammad menjadi ummat tengah dan menjadi saksi untuk ummat yang lain, dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi,pula atas ummat­nya itu adakah mereka jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik ?

Maka setelah diketahui latar-belakang ini, mudahlah bagi orang yang berfikir mendalam apa sebab kiblat dialih. Peralihan kiblat bukanlah sebab, dia hanya akibat saja dalam hal membangunkan ummat yang baru, ummatan wasathan. Setelah itu, sebagai lanjutan dari ayat, Tuhan terangkanlah tentang maksud peralihan kiblat di dalam membangun ummatan wasathan;

وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا
"Dan tidaklah kami jadikan kiblat yang telah ada enqkau atasnya."
Yaitu kiblat ke Baitul Maqdis yang satu tahun setengah lamanya Rasul berkiblat ke sana, ialu dialihkan kepada Ka'bah yang ada di Makkah:

إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
"Melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumit­nya."

Kiblat yang asal adalah Ka`bah juga. Ayat-ayat yang terdahulu dari ini telah menerangkan panjang-lebar bahwa Ka'bah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim. Dan jauh lebih tua dari Baitul Maqdis. Karena kiblat dikembalikan kepada asalnya, maka orang Yahudi selama satu setengah tahun bermegah dan merasa bangga, sebab hal itu mereka pandang adalah kemenangarr mereka. Dengan peralihan kiblat terbuktilah mana arang yang bertahan pada ujung, yang selama ini menunjukkan suka kepada Rasul lantaran kiblat menuju tempat yang disukai nya, yaitu orang Yahudi.

Setelah kiblat beralih, dia menunjukkan tantangan. Demikian pula kaum munafik, yang selalu mencari-cari saja soal-soaf yang akan mereka timpakan kesalahannya Kepada Rasul

وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ
"Dan memanglah berat itu , kecuali atas orang yang diberi petunjuk oleh Allah."

Orang yang imannya ragu-ragu dan imannya tidak mendalam merasa berat atas terjadinya peralihan kiblat itu. Dirawikan oleh ibnu Jarir dan Ibnu Juraij, bahwa beliau ini berkata; Bahwasanya orang-orang yang baru masuk Islam, setelah kiblat dialihkan, ada yang kembali jadi kafir.

Mereka berkata: "Apa ini, sebentar ke sana, sebentar ke situ." Dan menurut suatu riwayat dari Imam Ahmad dan Abd bin humaid dan Termidzi dan lbnu Hibban dan at-Thabrani dan al-Nakim dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
"Tatkala Rasulullah s.a.w. mengalihkan kiblat itu ada beberapa orang yang bertanya kepada beliau:' Ya Rasulullah , sekarang kiblat telah beralih. Bagaimana jadinya dengan orang-­orang yang telah mati, sedang di kala hidupnya mereka shalat berkiblat ke Baitul Maqdis ? Untuk menjawab pertanyaan itu datanglah lanjutan ayat:

وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
"Dan tidaklah Allah akan menyia nyiakan iman kamu. "

Artinya, bahwasanya orang­-orang yang mati sebelum kiblat beralih, adalah mereka itu beramal karena imannya juga. Amal mereka itu timbul daripada iman itu tidaklah akan disia-­siakan oleh Tuhan. Ketaatan mereka dan ibadat mereka yang khusyu' diterima juga oleh Allah dengan sebaik-baik penerimaan .

إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
"Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah penyantun dan penyayang. " (ujung ayat 143).

Di ujung ayat ini teranglah dua sifat Allah yang penting untuk pedoman beramal. Pertama Tuhan Penyantun, tidak menyia-nyiakan amal hambaNya. Kedua Dia Penyayang, yaitu memberi ganjaran yang sepadan atas tiap-tiap amalan. Dan lagi berkiblat ke Baitul Maqdis sebelum perintah peralihan ke Makkah, tidaklah suatu kesalahan , melainkan ketaatan juga. Sedang orang musyrik jahiliyah yang hidup lampaunya penuh dosa, bila dia telah memeluk Islam, habislah diampuni dosanya yang telah lalu itu, apatah lagi bila amalan yang lama itu dilakukan dengan ketaatan juga.
Ayat 142 dan 143 ini belumlah perintah mengalihkan kiblat, melainkan baru sebagai peringatan kepada Rasul bahwa akan terjadi reaksi dan sanggahan kelak dari orang orang bodoh dangkal fikiran, yang bercakap asal bercakap padahal tidak bertanggung-jawab. Agar supaya Rasul bersiap-siap menghadapi­nya.
(144) Sesungguhnya Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit, maka Kami palingkan­ lah engkau kepada kiblat yang engkau ingini. Sebab itu palingkanlah muka engkau ke pihak Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu semua berada palingkanlah mukamu ke pihaknya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab mengetahui bahwa­sanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan tidaklah Allah lengah dari apapun yang kamu amalkan.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_145.png(145) Dan meskipun engkau beri orang-orang yang diberi kitab itu dengan tiap-tiap keterangan, tidaklah mereka akan mengikut kiblat engkau itu. Dan engkau pun tidaklah akan mengikut kiblat mereka. Dan tidaklah yang sebahagian mereka akan mengikut kiblat yang sebahagian. Dan jikalau engkau perturutkan kemauan-kemauan mereka sesudah datang kepada engkau sebahagian dari pengetahuan, sesungguhnya ada­ lah engkau di masa itu dari orang-­orang yang aniaya.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_146.png(146) Orang-orang yang diberikan kepada mereka kitab, mengenallah mereka akan dia sebagaimana
mereka mengenal anak-anak mereka (sendiri). Dan sesungguhnya sebahagian dari mereka, mereka sembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui

http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_147.png(147) Kebenaran adalah dari Tuhan engkau. Maka sekali-kali jangan lah engkau termasuk dari orang­ orang yang ragu.
                                                                    Dari Hal Kiblat II
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء
"Sesungguhnya telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit." (pangkal ayat 144).

Artinya, bahwasanya Kami (Allah) telah mem­perhatikan bahwa engkau selalu menengadah ke langit mengharap-harap, moga-moga Tuhan mengizinkan engkau mengalihkan kiblat ke Ka'bah. Me­nurut riwayat Ibnu Majah dari al-Bara', setiap akan shalat beliau menghadap­kan wajah ke langit, yang diketahui oleh Tuhan bahwa hati beliau amat rindu jika kiblat itu dialihkan ke Ka'bah. Tiap tiap Malaikat Jibril turun dari iangit atau naik kembali ke langit selalu Rasulullah mengikutnya dengan pandangannya, me­nunggu-nunggu bilakah agaknya akan datang perintah Tuhan tentang peralihan kiblat itu, sampai turun ayat ini:

"Sesungguhnya telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit , sampai kepada akhir ayat:

فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
"maka Karni palingkanlah engkau kepada kiblat yang engkau ingini."

Suatu keinginan yang timbul sebagai suatu risalat yang beliau bawa ke dunia ini, yaitu menyempurna­kan ajaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim. Sebab "Wadin ghairi dzi-zar'in" atau lembah yang tidak ditumbuhi tumbuhan di dekat rumah Allah yang suci itu adalah pokok tempat bertolak pertama dari Nabi Ibrahim seketika beliau memulai risalatnya. Rumah itulah yang beliau jadikan pusat pertama dari seluruh mesjid tempat menyembah Allah Yang Tunggal.

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Sebab itu palingkan­lah muka engkau ke pihak Masjidil Haram."

Dengan perintah pada ayat ini maka mulai saat itu beralihlah kiblat dari Baitil Maqdis (rumah suci) yang di Palestina (Qudus ), yang didirikan oleh Nabi Sulaiman, kepada Masjidil Haram yang didirikan oleh Nabi Ibrahim, nenek moyang Sulaiman dan nenek-moyang Muhammad s.a.w. yang berdiri di Makkah:

وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Dan di mana saja kamu semuanya berada palingkanlah muka kamu ke pihaknya."

Dalam suku kata perintah pertama disebutlah engkau yaitu perintah pertama kepada Nabi Muhammad s-a.w. dan dalam lanjutan perintah tersebutlah kamu, yaitu perintah kepada seluruh ummat Nabi Muhammad yang tadi telah disebut keistimewaannya, yaitu ummaton wasathan, ummat jalan tengah.

Dan di kedua perintah itu disebut syathr yang kita artikan pihak, atau dapat juga disebut jurusan. Artinya mulai sekarang alihkan kiblat kamu ke jurusan Masjidil Haram.

وَ إِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ
"Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab mengetahui bahwasanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka."

Artinya orang-orang Ahlul-Kitab Yahudi dan Nasrani, terutama orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah seketika ayat ini turun sesudah mengetahui, bahwa memang dari Ka`bah itu Nabi lbrahim sebagai nenek-moyang bangsa Syam (Semiet) yang menurunkan Bani Israil dan Bani Ismail memulai perjuangannya mendirikan Tauhid, kepercayaan tentang keesaan Allah. Kalau mereka kembali kepada pokok asal yaitu sejarah perkahwinan Ibrahim dengan Hajar, dan beliau membawa Hajar ke tempat suci itu, yang dengan beberapa kerat roti dan satu qirbat air sampai Hajar tersesat di Bersyeba, sampai Malaikat. Jibril datang membujuk Hajar dan mencegahnya dari rasa takut, sebab budak yang dalam kandungannya itu akan dijadikan Allah suatu bangsa yang besar; kalau semua­nya itu mereka ingat kembali, dan itu tertulis di dalam Kitab mereka sendiri (Kitab Kejadian, Pasal 21 dari ayat 13 sampai ayat 21), niscaya mereka tidaklah akan heran jika Nabi Muhammad s.a.w. diperintahkan mengembalikan kiblat kepada asalnya , karena mereka memang sudah mengetahui bahwa di sanalah tempatnya. Di ayat 21 Kejadian, Pasal 21 disebutkan nama tempat itu, yaitu Paran. Dan pembaca kitab Taurat tahu bahwa Paran itu adalah Makkah al­Mukarramah.

Lalu Tuhan bersabda pada ujung ayat:

وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
"Dan tidaklah Allah melengahkan dari apapun yang kamu amalkan." (ujung ayat 144).
Artinya kesediaan dan kesetiaan kamu segera mengalihkan kiblat karena perintah Tuhan telah datang, tidaklah dilengah atau diabaikan oleh Tuhan. Bahkan sangat dihargai. Karena pelaksanaan perintah Allah dengan segera, adalah alamat dari iman yang teguh. Lalu datang lanjutan ayat seterusnya:

وَ لَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُوْا قِبْلَتَكَ
"Dan meskipun engkau berikan kepada orang-orang yang diberi Kitab itu dengan tiap-tiap keterangan, tidak­lah mereka akan mengikuti kiblat engkau itu." (pangkal ayat 145).

Di ayat sebelumnya (144) dikatakan mereka telah mengetahui bahwa kiblat yang di Makkah memang lebih asal dan lebih patut, tetapi dalam lanjutan ini diperingatkan pula oleh Tuhan, meskipun mereka telah mengetahui sebab sebab peralihan kiblat itu, namun mereka tidaklah mau mengikut kamu, sebab mereka telah mempertahankan golongan, bukan mempertahankan kebenaran:

وَ مَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ
"Dan engkaupun tidaklah akan mengikuti kiblat mereka,"

sebab perintah Tuhan sudah datang menyuruh alihkan kiblat.
Niscaya Nabi Muhammad s.a.w. dan ummatnya tidaklah akan mengikut kiblat pemeluk agama yang lain, sebab Tuhan telah menentukan kepadanya kiblat Masjidil Haram dengan wahyu:

وَ مَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ
"Dan tidaklah yang sebahagian mereka .akan mengikut kiblat yang sebahagian."

Orang Yahudi tidaklah hendak mengikut kiblat orang Nasrani dan orang Nasranipun tidaklah akan mengikut kiblat orang Yahudi.

وَ لَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِّنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِيْنَ
"Dan jikalau engkau perturutkan kemauan-kemauan mereka sesudah datang kepada engkau sebahagian dari pengetahuan, se­sungguhnya adalah engkau di masa itu dari orang-orang yang aniaya."(ujung ayai 145)

Artinya, garis yang akan beliau lalui sebagai seorang Rasul, terutama berkenaan dengan kiblat telah terang, yaitu kernbali menghadap kepada rumah suci yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim. Kalau menurut kemauan Yahudi hendaklah kembalikan ke Baitul Maqdis; niscaya ini tidak akan diperhatikan, meskipun telah banyak sanggahan atau gerutu yang mereka sampaikan. Se­orang Rasul sebagai pemimpin ummatnya tidak rnernpunyai pendirian yang ragu. Bagaimana Nabi Muhammad s.a.w. akan ragu, padahal peralihan kiblat itu adalah pengharapan dari beliau sendiri. Yang dituju dengan ujung ayat ini adalah sekedar penguatkan hati beliau dalam perjuangan yang maha hebat ltu, untuk diberikan teladan kepada ummat beliau buat sepanjang masa­

Bagaimana kemauan dari hawanafsu mereka akan diperturutkan? Padahal mereka sendiripun telah tahu bahwa dia inilah, Nabi Muhammad s.a.w., Nabi yang ditunggu-tunggu itu. Dijelaskan pada ayat yang selanjutnya:

اَلَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ
"Orang-orang yang diberi kepada mereka Kitab, mengenallah mereka akan dia sebagaimana rnereka mengenal anak-anak mereka (sendiri)." (pangkal ayat 146).

Artinya; baik dalam wahyu yang disampaikan oleh Nabi Musa, atau wahyu yang disampaikan oleh Nabi Isa Almasih, demikian juga wahyu yang disampaikan kepada Nabi yang lain, seumpama Yasy'iya, disebutkan bahwa akan datang Nabi itu. Tanda-tandanyapun akan disebutkan, dan dari kaum mana dia akan timbulpun akan disebutkan, sehingga mereka mengenalnya sebagaimana me­ngenal anak mereka sendiri. Tetapi mereka memungkiri itu, artinya mereka tafsirkan isi ayat kitab suci mereka kepada maksud yang lain: Memang seorang Nabi akan datang, tetapi bukan Muhammad ini!

وَ إِنَّ فَرِيْقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ
"Dan sesungguhnya se­bahagian dari mereka, mereka sembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui." (ujung ayat 146).

Inilah sebab terutama mengapa tidak akan dapat kecocokan. Inilah soal yang terutama mengapa soal kiblat menjadikan heboh mereka. Sebagian dari mereka telah sengaja menyembunyikan kebenaran. Ayat-ayat yang menyebut kan tentang kedatangan Rasul penutup itu, sampai sekarang ada dalam kitab-­kitab mereka itu. Tetapi kalau ditanyakan kepada mereka, tidak mau mereka berterus-terang mengakui kebenaran, jika yang ditanya orang Yahudi, mereka menjawab bahwa memang Nabi itu tersebut dalam Kitab, tetapi bukan ini. Kalau Yang ditanya orang Nasrani, kebanyakan mereka memberi arti bahwa bukan Muhammad s.a.w. Yang dijanjikan Isa Almasih akan datang. Kalau masih ada bertemu ayat-ayat itu dalam Injil-injil yang mereka akui sekarang ini, akan rnereka jawab bahwa yang dimaksud Nabi Isa bukanlah Muhammad, tetapi Rasul Paulus!
Tetapi Tuhan bersabda dengan tegas:

اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْن
"Kebenaran adalah dari Tuhan engkau, maka sekali-kali janganlah eng­kau termasuk dari orang-orang yang ragu." (ayat 147).

Tegasnya, memang engkaulah Rasul itu. betapapun mereka menyem­bunyikan kebenaran namun kebenaran datang dari Tuhan. Tidak ada satu kekuatan dalam dunia ini yang dapat menghalangi atau menyernbunyikan kebenaran itu.

Di dalam satu dari empat Injil yang mereka pegang hari ini, tersebut bahwa Nabi Palsu itu ada tandanya, yaitu seumpama kayu atau pohon yang buruk juga. Pohon yang buruk tidaklah akan menghasilkan buah yang baik. Pohon yang buruk akan habis ditumbangkan angin. Seratus kali mereka dengan kekuatan manusia, selama sejarah berabad-abad telah mereka coba menum­bangkan pohon yang mereka katakan buruk itu, tetapi dia tambah subur.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh sarjana mereka sendiri, Sir Thomas Arnold, bahwa seteiah bangsa Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad dan membunuh Khalifah (1286), pada masa itu pula Islam masuk dan tersebar di pulau Sumatera dengan rnegah dan jayanya. Ditebas di sini, dia tumbuh di sana lebih subur dan lebih berkembang. Berkali-kali dia telah dipukul kalau se­kiranya bukan agama yang benar, dan kaiau Nabinya Nabi Palsu, demi pukulan dan penghancuran itu sudah lama dia hilang dari muka bumi. Tetapi tidak! Dia berkembang terus rnengambil tempatnya yang layak di dunia. Sebab dia memang kebenaran Tuhan.
148) Dan bagi tiap-tiapnya itu satu tujuan yang dia hadapi. Sebab itu berlomba-lombalah kamu pada serba kebaikan. Di mana saja kamu berada niscaya akan di­kumpulkan Allah kamu sekalian.Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_148.pngDari Hal Kiblat III
وَ لِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا
"Dan bagi tiap-tiapnya itu ada satu tujuan yang dia hadapi. " (pangkal ayat 148).
Ayat ini adalah lanjutan dari keterangan tentang masing-masing golongan yang mempertahankan kiblatny: tadi.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, ialah bahwa bagi tiap-tiap pemeluk suatu agama ada kiblatnya sendiri. Bahkan tiap-tiap kabilahpun mempunyai tujuan dan arah.sendiri, mana yang dia sukai. Namun orang yang beriman tujuan atau kiblatnya hanya satu, yaitu mendapat ridha Allah.
Abul `Aliyah menjelaskan pula tafsir ayat ini demikian: "Orang Yahudi mempunyai arah yang ditujuinya, orang Nasranipun mempunyai arah yang ditujuinya. Tetapi kamu, wahai ummat Muslimin, telah ditunjukkan Allah kepadamu kiblatmu yang sebenarnya."

Nabi lbrahim di zaman dahulu berkiblat ke Masjidil Haram, ummat Yahudi berkiblat ke Baitul Maqdis, ummat Nasrani berkiblat ke sebelah timur, dan Nabi-nabi yang lainpun tentu ada pula kiblat mereka menurut zamannya masing-masing, dan engkau wahai utusanKu dan kamu wahai pengikut utusan­Ku; kamu mempunyai kiblat. Tetapi kiblat bukanlah pokok, sebagai di ayat-ayat di atas telah diterangkan, bagi Allah timur dan barat adalah sama, sebab itu kiblat berobah karena perobahan Nabi. Yang pokok ialah menghadapkan hati langsung kepada Allah, Tuhan sarwa sekalian alam. itulah dia wijhah atau tujuan yang sebenarnya.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
"Sebab itu berlomba-lombalah kamu pada serba kebaikan."

Jangan kamu berlarut-larut berpanjang-panjang bertengkar per­kara peralihan kiblat. Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau me­ngikuti kiblat kamu; biarkanlah. Sama-sama setialah pada kiblat masing­-masing. Dalam agama tidak ada paksaan. Cuma berlombalah berbuat serba kebajikan, sama-sama beramal dan membuat jasa di dalam peri-kehidupan ini.

أَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيْعًا
"Di mana saja kamu berada, niscaya akan dikumpulkan Allah kamu se­kalian."

Baikpun kamu dalam Yahudi, dalam Nasrani, dalam Shabi'in dan dalam iman kepada Muhammad s.a.w., berlombalah kamu berbuat berbagai kebajikan dalam dunia ini, meskipun kiblat tempat kamu menghadap shalat berlain-lain. Kalau kamu akan dipanggil menghadap kepada Aliah; tidak perduli apakah dia dalam kalangan Yahudi Nasrani, Islam dan lain-lain; berkiblat ke Ka bah atau ke Baitul Maqdis. Di sana pertanggung jawabkanlah amalan yang telah dikerjakan dalam dunia ini. Moga-moga dalam perlombaan berbuat kebajikan itu, terbukalah hidayat Tuhan kepada kamu, dan terhenti sedikit demi sedikit pengaruh hawanafsu dan kepentingan golongan; mana tahu, akhirnya kamu kembali juga kepada kebenaran;

إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa."(ujung ayat 148).

Perlombaan manusia berbuat baik di dunia ini beiumlah berhcnti. Segala sesuatu bisa kejadian. Kebenaran Tuhan makin lama makin nampak. Allah Maha Kuasa berbuat sekehendakNya:
Ayat ini adalah seruan merata; seruan damai dari lembah wahyu ke dalam masyarakat manusia berbagai agama. Bukan khusus kepada ummat Mu­hammad saja. Kemudian kembali lagi kepada pemantapan soal kiblat itu:
(149) Dan dari mana saja engkau keluar, hadapkanlah muka engkau ke pihak Masjidil Haram.Dan sesungguhnya (perintah) itu adalah kebenaran dari Tuhan engkau.Dan tidaklah Allah lengah dari apapun yang kamu amalkan.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_149.png
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Dan dari mana saja engkau keluar, hadapkanlah muka engkau kepihak Masjidil Haram."(pangkal ayat 149).

Artinya, meskipun ke penjuru yang mana engkau menujukan perjalananmu, bila datang waktu shalat, teruslah hadapkan mukamu ke pihak Masjidil Haram itu Ayat ini sudahlah menjadi perintah yang tetap kepada Rasulullah dan ummatnya terus-menerus di belakang beliau. Sebab itu ditegaskan pada lanjutnya-

وَ إِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ
"Dan sesungguhnya (perintah) itu adalah kebenaran dari Tuhan engkau. "

Tidak akan berobah lagi selama-lamanya:

وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
"Dan tidaklah Allah lengah dari apapun yang kamu amalkan." (ujung ayat 149).

Artinya, kesungguhan kamu melaksanakan perintah ini, tidaklah Allah akan melengahkannya. Gelap malam tak tentu arah; lalu kamu lihat pedoman pada bintang-bintang, kamu kira-kira di sanalah arah kiblat lalu kamu shalat. Allah tidaklah melengahkan kesungguhan kamu itu.
Kamu datang ke negeri orang lain, kamu tanyakan kepada penduduk Muslim di situ; ke mana kiblat? Lalu mereka tunjukkan. Kamupun shalat. Allah tidak lengah dengan kepatuhan kamu itu.
Sengaja engkau beli sebuah kompas (pedoman), engkau kundang dalam sakumu ke mana saja engkau pergi. Lalu orang bertanya; buat apa kompas itu, padahal tuan bukan nakhoda kapal? Engkau jawab: penentuan kiblat jika aku shalat! Tuhan tidak melengahkan perhatianmu itu.

Kamu mendirikan mesjid yang baru. Yang lebih dahulu kamu ukur dan jangkakan ialah mihrab untuk menentukan jurusan kiblat. Allah tidak lengah dari kesungguhanmu itu.
Sampai ada di antara kamu yang khas belajar ilmu falak, yang pada asalnya sengaja buat mengetahui hal kiblat saja, sampai berkembang jadi ilmu yang luas. Allah tidak melengahkan kesungguhanmu itu.
Kemudian dijelaskan lagi:
(150) Dan dari mana sajapun kamu keluar, maka hadapkanlah muka engkau ke pihak Masjidil Haram, dan di mana sajapun kamu ber­ada, hendaklah kamu hadapkan muka kamu ke pihaknya. Supaya jangan ada alasan bagi manusia hendak mencela kamu. Kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka, maka janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada Aku. Dan Aku sempurnakan nikmatKu kepada kamu, dan supaya kamu men­dapat petunjuk.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_150.png
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Dan dari mana sajapun kamu keluar, maka hadapkanlah muka engkau ke pinak Masjidil Haram." (pangkal ayat 150).

ini adalah perintah khusus bagi beliau. Kemudian dijelaskan sekali iagi kepada seluruh ummat Muhammad s.a.w. supaya mereka pegang teguh peraturan itu di mana sajapun mereka berada.

وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ
"Dan di mana sajapun kamu berada." Hai Ummat Muhammad s.a.w.

فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Hendaklah kamu hadapkan muka kamu ke pihaknya."

Jangan diobah-obah lagi dan tidak akan berobah-obah lagi peraturan ini selama-lamanya. Baik sedang kamu di lautan; carilah arah kiblat, shalatlah menghadap ke sana. Baik kamu sedang di Kutub Utara atau Kutub Selatan, carilah arah kiblat dan shalatlah menghadap ke pihak sana. Di pangkal ayat dipakai engkau, untuk Muhammad. Di tengah ayat dipakai kamu , untuk kita ummatnya.

لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
"Supaya jangan ada alasan bagi manusia hendak mencela kamu."
Karena penetapan kiblat itu sudah pasti diterima oleh manusia yang sudi menjunjung tinggi kebenaran. Sebagaimana tadi telah diterangkan, orang-orang yang keturunan kitab sudah faham akan kebenaran hal ini. Sebab rumah Allah yang pertama didirikan ialah Masjidil Haram di Makkah itulah mereka berkumpul tiap-tiap tahun mengerjakan haji, menjalankan wasiat nenek-moyang mereka Nabi Ibrahim. Pendeknya tidaklah akan ada bantahan dan sanggahan daripada orang yang berfikir sihat tentang penetapan kiblat itu.

إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِيْ
"Kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada Aku . "

Orang-orang yang aniaya, yang lidah tidak bertulang tentu akan ada saja bantahannya. Orang-orang yang aniaya dari kalangan Yahudi akan berkata:

"Muhammad memutar kiblatnya ke Ka'bah, padahal di sana berderet 360 berhala yang selalu dicela-celanya itu. Rupanya dia akan kembali agarna nenek-moyang orang Quraisy." Orang-orang yang aniaya di kalangan musyrikin akan berkata. "Dialihnya kiblat ke Makkah karena rupanya dia hendak menarik-narik kita atau telah insaf atas kesalahannya." Orang munafik di Madinah akan berkata: "Memang pendiriannya tidak tetap, sebentar begini sebentar begitu." Maka janganlah diperdulikan itu semuanya dan jangan takut akan serangan-serangan yang demikian, tetapi kepada Aku sajalah takut, kata Allah. PerintahKu sajalah yang akan dilaksanakan.

وَ لِأُتِمَّ نِعْمَتِيْ عَلَيْكُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْ
"Dan Aku sempurna­kan nikmatKu kepada kamu, dan supaya kamu mendapat petunjuk."(ujung ayat 150).
Di ujung ayat itu Allah membayangkan janjiNya, bahwa nikmat perihal kiblat itu akan disempurnakanNya. Nikmat pertama baru peralihan kiblat, padahal di Ka'bah waktu itu masih ada berhala. Tetapi Aku janjikan lagi, negeri itu akan Aku serahkan ke tangan kamu, Ka'bah akan kamu bersihkan dari berhala dan akan tetap buat selama-lamanya menjadi lambang kesatuan arah dari seluruh ummat yang bertauhid. Dalam pada itu petunjuk-petunjuk akan tetap juga Aku berikan kepada kamu sekalian.

Setelah selesai Perjanjian Hudaibiyah di tahun yang keenam, diulang lagi janjiNya oleh Allah bahwa kemenangan telah datang dan nikmatNya yang dijanjikan itu memang akan disempurnakan (lihat Surat al-Fath. Surat 48 ayat 2). Dan tahun kedelapan takluklah Makkah dan habislah berhala disapu bersih dari Ka'bah dan seluruh Masjidil Haram, bahkan dari seluruh Tanah Hejaz, dan tegaklah agama Allah dengan jayanya.

Maka ijma` (sefahamlah) seluruh ulama Islam , bahwasanya shalat meng­hadap kiblat Masjidil Haram adalah wajib. Cuma sedikit pertikaiannya, menjadi syaratkah daripada sahnya shalat atau tidak. Sebab pernah juga Nabi s.a.w. bersama sahabatrjya shalat malam hari pada suatu medan perang; setelah hari pagi kenyataan bahwa kiblatnya salah arah. Maka tidaklah beliau ulang kembali shalat itu.

Adapun tentang tepat atau tidaknya penghadapan, hendaklah kita fahami bahwa Agama Islam tidaklah agama yang memberati.
Sebab itu maka pada ayat-ayat perintah kiblat itu disebut syathr yang kita artikan pihak. Maka tersebutlah pada sebuah Hadits yang dirawikan oleh al­Baihaqi di dalam Sunnahnya, Hadis Marfu`:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_148-152_files/image004.jpg
"Baitullah (Ka'bah) adalah kiblat bagi orang-orang yang dalam mesjid. Dan mesjid adalah kiblat bagi orang-orang yang tinggal di Tanah Haram (sekeliling Makkah). Dan Tanah Haram (Makkah) adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi, timurnya dan baratnya; dari ummatku. "
Dengan adanya Hadits ini sudah mudahlah difahamkan tentang arti syathr yang kita artikan pihak atau jurusan itu. Dan dengan demikian dapat pula kita fahami bahwa agama tidaklah memerintahkan kita mengerjakan pekerjaan yang berat, yaitu supaya di manapun kita berada hendaklah tepat setepat­tepatnya wajah kita menghadap ke Baitullah. Karena yang demikian sangatlah sukar melakukannya, asal sudah kena saja jurusannya sudahlah cukup. Dalam hal ini zhan (kecenderungan persangkaan) sudah cukup untuk menentukan arah kiblat, sehingga orang yang belum mengerti benar-benar di mana jurusan kiblat, bolehlah menurut saja ke mana arah yang diberati persangkaannya.

Tetapi suatu kemusykilan karena beragama hanya tersebab pusaka nenek ­moyang belaka , telah terjadi pada bangsa Indonesia yang berpindah dan berdiam bertahun-tahun di Suriname. Ketika terbuka perkebunan-perkebunan besar di sana, pengusaha-pengusaha kebun itu telah membawa beratus-ratus kuli kebun dari Tanah Jawa. Setelah mereka berdiam beranak-cucu di sana, mereka mendirikan mesjid tempat mereka shalat. Tetapi kiblatnya mereka hadapkan ke barat, sebab mesjid-mesjid di Tanah Jawa menghadap ke barat. Padahal oleh karena letak mereka lebih ke barat dari jurusan Makkah, niscaya kiblat mereka yang sah ialah menghadap ke timur. Dan umumnya masyarakat yang mula-mula datang itu bukanlah orang-orang Indonesia terpelajar.

Setelah ada yang datang kemudian, yang jauh lebih cerdas, mereka inipun menyalahkan kiblat menghadap ke barat itu. Teguran ini rupanya menimbulkan perpecahan, sehingga ada mesjid yang berkiblat ke jurusan barat dan ke jurusan timur. Menurut khabar terakhir yang kita terima dari sana, kian lama kiblat ke barat itu kian surut jumlahnya karena sudah banyak yang cerdas dan ada yang telah naik haji ke Makkah.
Selanjutnya Tuhan bersabda:
(151) Sebagaimana telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul , dari kalangan kamu sendiri, yang mengajarkan kepada kamu ayat-­ayat Kami dan membersihkan kamu dan akan mengajarkan ke­pada kamu Kitab dan Hikmat, dan akan mengajarkan kepada kamu perkara-perkara yang tidak kamu ketahui.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_151.png
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِّنْكُمْ
"Sebagaimana telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu sendiri." (pangkal ayat 151).

Tadi Tuhan telah menyatakan bahwa nikmatNya telah dilimpahkan kepada kamu, sekarang kamu telah rnempunyai kiblat yang tetap, pusaka Nabi Ibrahim, sebagaimana ummat-ummat yang lainpun telah mempunyai kiblat. Ini adalah suatu nikmat dari Allah, dan berlombalah kamu dengan ummat yang lain itu menuju kebajikan di dunia ini. Dan kamu tidak usah takut-takut akan gangguan dan kritik, baik dari Yahudi atau dari orang-orang yang masih jahiliyah yang akan mencela perubahan kiblat itu dengan caranya masing-masing karena safih, yaitu bercakap dengan tidak bertanggungjawab. Dan Tuhanpun telah menjanjikan pula bahwa nikmat ini akan Dia sempurnakan.

Di belakang perubahan kiblat akan menyasul lagi nikmat yang lain, yaitu satu waktu Makkah itu akan dapat kamu taklukkan. Di samping nikmat itu ada terlebih dahulu nikmat yang lebih besar, puncaknya segala nikmat, yaitu diutusnya seorang Rasul dari kalangan kamu sendiri.

يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
"Yang mengajarkan kepada karnu ayat-ayat Kami. "

yaitu perintah agar berbuat baik dan larang berbuat jahat:

وَ يُزَكِّيْكُمْ
"dan yang akan membersihkan kamu,"

bersih dari kebodohan dan kerusakan akhlak, bersih daripada kekotoran kepercayaan dan musyrik, sehingga kamu diberi gelar ummat yang menempuh jalan tengah di antara ummat-ummat yang ada dalam dunia ini:

وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ
"dan akan mengajarkan kepada karnu Kitab dan hikmat."

Kitab itu ialah al-Quran, yang akan menjadi pembimbing dan pedoman hidupmu di tengah-tengah permukaan bumi ini dan hikmat ialah kebijaksanaan dan rahasia-rahasia kehidupan, yang dicantumkan di dalam sabda-sabda yang dibawa oleh Rasul itu:

وَ يُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
"Dan akan mengajarkan kepada kamu perkara-perkara yang (selama ini) tidak karnu ketahui." (ujung ayat 151)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa peralihan kiblat adalah-suatu nikmat, tetapi nikmat ini kelak akan disempurnakan lagi. Tetapi di samping itu sudah ada nikmat yang paling besar, yaitu kedatangan Rasul itu sendiri. Dengan berpegang teguh kepada ajaran yang dia bawa, derajatmu akan lebih baik lagi. Dari lembah jahiliyah dan kegelapan, kamu dinaikkan Tuhan ke atas martabat yang tinggi, dengan ayat-ayat, dengan Kitab dan dengan hikmat. Dan tidak cukup hingga itu saja, bahkan banyak lagi perkara-perkara yang tadinya tidak kamu ketahui, akan kamu ketahui juga berkat bimbingan dan pimpinan Rasul itu.

Maka banyaklah soal-soal besar yang dulunya belum diketahui, kemudian jadi diketahui, berkat pimpinan Rasul. Ada yang diketahui karena ditunjukkan oleh wahyu ilahi, seumpama kisah Nabi-nabi yang dahulu dan ummat yang dibinasakan Tuhan lantaran menentang ajaran seorang Rasul. Dan ada soal ­soal besar yang diketahui setelah melalui berbagai pengalaman, baik karena berperang ataupun karena berdamai. Dan diketahui juga beberapa rahasia yang hanya diisyaratkan secara sedikit oleh al-Quran; lama kemudian baru diketahui artinya.

BerNabi, berQuran, berkiblat sendiri yang tertentu, kemudian disuruh berlomba-lomba berbuat kebajikan. Dan tidaklah boleh takut atau berjiwa kecil menghadapi berbagai rintangan dan halangan. Dengan beginilah akan kamu penuhi tugas yang ditentukan Tuhan sebagai ummat yang menempuh jalan tengah.

Dengan ini telah timbul satu ummat dengan cirinya yang tersendiri, untuk jadi pelopor menyembah Allah Yang Esa. Ada orang yang hendak mencoba menimbulkan keraguan orang yang bukan Arab daripada isi ayat ini. Karena disebutkan bahwa Allah mengutus seorang Rasul di antara kamu. Kata mereka, ayat ini menunjukkan bahwa beliau hanya diutus kepada orang Arab, sebab yang dimaksud dengan karnu di sini ialah bangsa Arab.

Penafsiran yang seperti ini salah, ataupun disalah-artikan. Kalau difaham­kan secara demikian, tentu batallah maksud ayat-ayat yang lain, yang mengan­dung seruan kepada Bani Adam, atau kepada al-Insan, atau kepada an-Nas. Tentu batal pula ayat-ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. diutus Tuhan adalah untuk Rahmat bagi seluruh alam Rahmatan lil-`Alamin.

Tentu orang-orang sebagai Shuhaib yang berbangsa Rum, ataupun Salman yang berbangsa Persia tidak akan menyambut seruan ini. Dan tentu Abdullah bin Salam orang Yahudi, atau Tamim ad-Dari dan Adi bin Hatim orang Nasrani tidak masuk Islam.

Yang dirnaksud dengan di antara kamu di sini, bukanlah di antara orang Arab saja, atau di antara Quraisy saja, melainkan lebih luas. Yaitu mengenai manusia seluruhnya. Nabi Muhammmad diutus dalam kaiangan manusia dan dibangkitkan di antara manusia sendiri; bukan dia Malaikat yang diutus dari langit. Dengan sebab beliau diutus di antara manusia, maka mudahlah bagi manusia meniru me-neladan sikap beliau.
(152) Maka ingatlah kepadaKu , niscaya Aku akan ingat pula kepadamu ; dan bersyukurlah!! kepadaKu dan janganlah Kamu menjadi kufur."
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_152.png
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
"Maka ingatlah kepadaKu, niscaya Aku akan ingat pula kepadamu." (pangkal ayat 152).

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan ad-Dailami dari jalan Jubair diterimanya dari ad-Dhahhak, bahwa lbnu Abbas menafsirkan demikian: "Ingatlah kepadaKu, wahai sekalian hambaKu, dengan taat kepadaKu; niscaya Akupun akan ingat kepadamu dengan memberimu ampun."

Dan ditambah pula tafsirnya oleh Abu Hindun ad-Dari, yang dirawikan oleh lbnu `Asakir dari ad-Dailami, menurut sebuah hadits: "Maka barangsiapa yang ingat akan Daku, dan diikutinya ingat itu dengan taat, maka menjadi kewajibanlah atasKu membalas ingatnya itu dengan mengingatnya pula, de­ngan jalan memberinya ampun. Dan barangsiapa yang ingat kepadKu, tetapi dia berbuat durhaka (maksiat), Akupun akan mengingatnya pula dengan menimpakan ancaman kepadanya."

وَ اشْكُرُوْا لِيْ وَلاَ تَكْفُرُوْن
"Dan bersyukurlah kepadaku, dan janganlah kamu menjadi kufur." (ujung ayat 152).
Bersyukurlah atas nikmat-nikmat yang Dia limpahkan, yaitu dengan jalan berterima-kasih dan mengucap syukur, Ucapan itu bukan semata mata dengan mulut, melainkan terbukti dengan perbuatan.

Karena suatu nikmat apabila telah disyukuri, Tuhan berjanji akan menambahnya lagi. Dan janganlah sampai berbudi rendah, tidak mengingat terima kasih. Tidak syukur atas nikmat adalah suatu kekufuran. Kalau nikmat yang telah dianugerahkan Allah tidak disyukuri, mudah saja bagi Allah mencabutnya kembali, dan meng­hidupkan kita di dalam gelap.

Meskipun Rasul sudah diutus, ayat sudah diberikan, al-Qura'n sudah diwahyukan, hikmat sudah diajarkan dan kiblat sudah terang pula, semuanya tidak akan ada artinya kalau tidak ingat kepada Allah (zikir) dan bersyukur. Orang yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang telah ada, tidaklah akan rnerasai nikmat Islam itu. Maka zikir dan syukur, adalah dua pegangan teguh yang banyak diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w.
(153) Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat; sesung-guhnya Allah adalah beserta  orang-orang yang sabar.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_153.png
Menghadapi Percobaan Hidup
Pada ayat-ayat yang di atas telah dijanjikan Tuhan bahwa nikmat itu akan terus-menerus disempurnakan, Nikmat pertama dan utama ialah diutusnya Rasulullah s.a w. menjadi Rasul Beliaulah yang akan memimpin perjuangan selanjutnya. Sebab itu tetaplah mengingat Allah supaya Allah ingat pula akan kamu dan syukurilah nikmatNya, jangan kembali kepada kufur, yaitu melupa­kan jasa dan tidak mengingat budi
Dengan perubahan kiblat setelah berasa di Madinah 16 atau 17 bulan kamu telah dibawa melangkah lebih maju Akhirnya kelak kemenangan yang gilang-gemilang akan diberikan Tuhan kepada kamu. Tetapi adalah satu syarat utama yang wajib kamu penuhi. Sebab perobahan-perobahan besar dan kejadian yang akan diberikan Tuhan kelak kepadamu itu bukanlah terletak di atas talam, perak, lalu dihidangkan saja kepadamu. Melainkan amat bergantung kepada usaha dan semangat kegiatanmu sendiri. Maka peristiwa-peristiwa yang dah­syat akan bertemulah oleh kamu dalam Shirathal Mustaqim yang kamu lalui itu. Syarat utama itu ialah :
 يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (ayat 153).
Maksud ini adalah maksud yang besar. Suatu cita-cita yang tinggi. Mene­gakkan kalimat Allah, memancarkan tonggak Tauhid dalam alam. Memban­teras perhambaan diri kepada yang selain Allah. Apabila langkah ini telah dimulai, halangannya pasti banyak, jalannya pasti sukar. Bertambah mulia dan tinggi yang dituju, bertambah sukarlah dihadapi. Oleh sebab itu dia meminta semangat baja, hati yang teguh dan pengorbanan-pengorbanan yang tidak mengenal lelah. Betapapun mulianya cita-cita, kalau hati tidak teguh dan tidak ada ketahanan, tidaklah maksud akan tercapai. Nabi-nabi yang dahulu daripada Muhammad s.a.w: semuanya telah menempuh jalan itu dan semuanya meng­hadapi kesulitan.
Kemenangan mereka hanya pada kesabaran. Maka kamu orang yang telah menyatakan iman kepada Muhammad wajiblah sabar, sabar menderita, sabar menunggu hasilnya apa yang dicita-citakan. Jangan gelisah tetapi hendaklah tekap hati.
Sampai seratus satu kali kalimat sabar tersebut dalam al-Quran. Hanya dengan sabar orang dapat mencapai apa yang dimaksud. Hanya dengan sabar orang bisa mencapai derajat Iman dalam perjuangan. Hanya dengan sabar menyampaikan nasihat kepada orang yang lalai. Hanya dengan sabar kebena­ran dapat ditegakkan.
Lebih 25 tahun Ya'kub sabar menunggu pulang anaknya yang hilang, sampai berputih mata; akhirnya anaknya Yusuf kembali juga. Tujuh tahun Yusuf menderita penjara karena fitnah; dengan sabarnya dia jalani nasibnya; akhirnya dia dipanggil buat menjadi Menteri Besar.
Bertahun Ayub menderita penyakit , sehingga tersisih dari anak isteri; akhirnya penyakitnya disembuhkan Tuhan dan setelah pulang ke rumah didapatinya anak yang 10 telah menjadi20, karena semua sudah kawin dan sudah beranak pula. Ibrahim dapat menyem­purnakan kalimat-kalimat ujian Tuhan karena sabar. Demikianlah Musa de­ngan Bani-Israil. Ismail membangun angkatan Arab yang baru. Isa Almasih dengan Hawariyin semuanya dengan sabar.
Ada Nabi yang nyaris kena hukuman karena tidak sabar; yaitu Nabi Yunus. Ditinggalkannya kaumnya karena seruannya tidak diperdulikan. Maka buat melatih jiwa dia ditakdirkan masuk perut ikan beberapa hari lamanya. Tetapi keluar dari sana dia membangun diri lagi dengan kesabaran.
Sebab itu sabarlah perbentengan diri yang amat teguh.
Sabar memang berat dan sabar memanglah tidak terasa apa faedahnya jlka bahaya dan kesulitan belum datang. Apabila datang suatu marabahaya atau suatu musibah dengan tiba-tiba, dengan tidak disangka-sangka, memang tim­bullah perjuangan dalam batin. Perjuangan yang amat hebat. Tarik menarik di antara kegelisahan dengan ketenangan.
Kita gelisah, namun hati kecil kita sendiri tidaklah senang akan kegelisahan itu. Suatu waktu orang yang belum juga menang ketenangannya atas kegelisa­hannya bisa jadi memandang gelap hidup ini, sehingga dari sangat gelapnya mau rasanya mati saja. Mungkin dengan mati kesulitan itu akan habis, lalu dia membunuh diri.
Seseorang yang tengah diperiksa polisi karena suatu tuduhan kejahatan, padahal dia merasa tidak bersalah, ada yang silap sehingga dia ingin hendak membunuh diri. Katanya setelah saya mati nanti, mereka akan dapat membuktikan juga bahwa saya tidak salah dalam hal ini. Lantaran itu dalam sangatnya pemeriksaan itu, polisi menjaga benar-benar supaya barang-barang yang tajam, sampai pisau silet penculcur janggut, dijauhkan daripadanya.
Sudah kita katakan, hati kecil yang di dalam tidaklah suka akan kegelisahan itu. Maka hati kecil yang di dalam itulah yang harus ditenangkan. Sebab itu dalam saat yang demikian sabar tadi tidak boleh dipisahkan dengan shalat! Ingat Tuhan! Hati kecil yang telah dikepung oleh kegelisahan dan kekacauan itu harus dibebaskan dari kepungan itu. Lepaskan dia menghadap Tuhan; Allahu Akbar! Allah Maha Besar !
Mengapa aku mesti gelisah? Padahal buruk clan baik adalah giiiran masa yang pasti atas diriku, bukankah dahulu dari ini aku disenangkanNya? mengapa aku demikian bodoh, sampai terangan-angan dalam perasaan hendak mem bunuh diri? Bukankah dengan membunuh diri keadaanku di akhirat, di sebe­rang maut itu, akan lebih lagi menghadapi kemurkaan Tuhan?
Allahu Akbar! Allah Maha Besar!
Segala urusan dunia ini adalah kecil belaka. Kesulitan yang aku hadapipun soal kecil saja bagi Tuhan, akupun akan memandangnya kesulitan yang kecil saja. Aku memandangnya soal besar, sebab aku tidak insaf bahwa jiwaku kecil. Aku gelisah lantaran kesulitan. Aku mesti mencari di mana sebabnya, kemu­dian ketahuanlah sebabnya. Yaitu ada sesuatu selain Allah yang mengikat hatiku. Mungkin hartabenda, mungkin kemegahan dunia, mungkin pangkat dan kedudukan dan mungkin juga yang lain. Sehingga aku lupa samasekali tujuan hidupku yang sebenarnya, yaitu Tuhan dengan keredhaanNya, sebab itu aku mesti shalat.
Maka apabila ketenangan telah diperteguh dengan shalat, kemenangan pastilah datang. Sabar dan shalat; keduanya mesti sejalan. Apabila kedua resep ini telah dipakai dengan setia dan yakin, kita akan merasa bahwa kian lama hijab dinding kian terbuka. Berangsur-angsur jiwa kita terlepas dari belenggu kesulitan itu sebab Tuhan telah berdaulat dalam hati kita.
Waktu itupun baru kita ketahui bahwa kita terjatuh ke dalam kesulitan tadi, ialah karena pengaruh yang lain telah masuk ke dalam jiwa; terutama syaitan, Yang ingin sekali kita hancur. Maka berangsurlah naik sari cahaya iman kepada waja. Barulah berarti kembali segala ayat-ayat yang kita baca, sampai huruf-huruf dan baris dan titiknya. Kita telah kuat kembali dan kita telah tegak. Kita telah mendapat satu kekayaan, yang langit dan bumipun tidak seimbang
buat menilai harganya. Di sinilah terasa ujung ayat:
إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang sabar." (ujung ayat 153).
Apakah yang engkau takutkan kepada hidup ini, kalau Allah telah men­jamin bahwa Dia ada beserta engkau? Orang yang ditimpa oleh suatu percobaan yang membuat jiwa jadi gelisah, kemudian berpegang teguh kepada ayat ini, membenteng diri dengan sabar dan shalat, dengan berangsur timbullah fajar harapan dalam hidupnya. Kelihatan dari luar dia dalam kesepian, padahal dia merasa ramai, sebab dia bersama Tuhan. Belenggu biar dipasang pada tangannya, namun jiwanya merasa bebas. Pagar besi membatasi jasmaninya dengan dunia luar, tetapi ayat-ayat al-Quran membawa jiwanya membumbung naik melintas ruang angkasa dalam dia mengerjakan shalat. Lantaran ini ketakutanpun hilanglah dan keberanian timbul.
Kalau mati dalam menegakkan cita-cita, ataupun terbunuh, hati bimbang tidak ada lagi. Sebab bagi orang yang telah merasa.dirinya dekat dengan Allah, batas di antara hidup dengan mati tidak ada lagi. Hidup itu sendiri tidak ada artinya kalau jauh dari Tuhan.
Maka datanglah sambungan ayat:
(154) Dan janganlah kamu katakan ter­hadap orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi kamu tidak merasa.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_154.png
 وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِيْ سَبيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَ لَكِنْ لاَّ تَشْعُرُوْن
"Dan janganlah kamu katakan terhadap orang yang terbunuh pada jalan Allah bahwa mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi, kamu tidak merasa." (ayat 154).
Dengan ayat ini, kemenangan jiwa karena sabar dan shalat tadi diberi lagi pengharapan baru. Pengharapan yang langsung diberi Tuhan. Jangan takut dan jangan gelisah jika terbunuh atau mati karena menegakkan jalan Allah, karena yakin bahwa yang ditempuh adalah jalan yang benar. Jangan gelisah. Sebab orang yang mati pada menjalani jalan Allah itu bukanlah mati, tetapi hidup terus. Cuma kamu juga yang tidak merasa. Tetapi kalau kamu pelajari dengan seksama, akhirnya kamupun akan merasakan bahwa mereka masih hidup; hidup terus.
Bermacam tafsir ahli tafsir tentang makna hidupnya orang yang terbunuh atau menjadi kurban dari menegakkan jalan Allah itu.
Kata setengahnya, walaupun badannya telah hancur dalam kubur namun namanya tetap hidup. Namanya itu memberikan ilham atau inspirasi kepada pejuang yang meneruskan citanya. Kata setengahnya pula, badannya yang mati, namun fikiran dan citanya, terus hidup. Karena apalah arti hidup kalau bukan karena cita-cita ? Jasmaninya hilang namun isi citanya terus hidup dan dilanjutkan oleh yang datang di belakang. Bukankah manusia itu datang silih berganti, dan yang mereka perjuangkan ialah cita-cita yang tidak pernah mati?
Ada pula yang menafsirkan bahwa Roh manusia itupun mempunyrai bentuk halus serupa dengan bentuk tubuhnya. Maka jika tubuh telah hancur Roh itu tetap ada dalam kehidupannya yang menyerupai ether. Maka bentuk Roh yang bersifat ether itu tidak berubah, tidak berganti-ganti dan tidak musnah. Sedang tubuh kasar manusia, walaupun sebelum dia mati tetap berganti dan berubah. Kekuatan ether itu kata ahli ilmu alam dapat mempengaruhi tubuh yang lain, baik yang kasar ataupun yang halus; sedangkan ruang yang luas ini diisi selalu oleh ether. Sehingga dengan perantaraan ether itulah cahaya bisa menembus dari matahari ke dalam tingkat-tingkat udara.
Demikian kata ahli-ahli tafsir modern Dalam satu Hadits riwayat.Muslim ada pula mengatakan bahwa Roh orang-orang yang syahid itu diletakkan dalam tenggorokan burung yang hijau dalam syurga, artinya dipelihara baik-baik.
Demikianlah bunyi penafsiran. Tetapi apabila kita berpegang teguh dengan mazhab Salaf, tidaklah layak kita menetapkan salah satu dari tafsir itu. Bahkan kita langsung memegang apa yang dikatakan al-Quran; orang yang terbunuh pada.jalan Allah tidaklah mati, melainkan hidup. Malahan di ayat lain, yaitu Surat ali Imran (Surat 3) ayat 160, ditegaskan lagi bahwa mereka terus diberi rezeki.
Bagaimana hidupnya? Di mana dia sekarang? Bagaimana pula macam rezekinya? Tidaklah dapat kita ketahui, tetapi kita percaya.
Ahli-ahli Tasauf mencoba juga memecahkan soal ini dengan jalan ridha; Imam Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah menerangkan pengalaman seorang ayah yang shalih yang anaknya mati syahid dalam satu peperangan. Pada suatu hari dia mengalami, puteranya itu datang dan singgah ke rumahnya dalam keadaan dia setengah bermimpi. Ayahnya bertanya mengapa pulang? Anak itu menjawab bahwa dia hanya singgah sebentar ke rumah menziarahi ayahnya, sebab dia beberapa teman Syuhada,. turun ke dunia kita ini karena ikut bersama-sama menyembahyangkan jenazah Khalifah Umar bin Abdu! Aziz. Dan akan segera kembali ke alamnya. lbnul Qayyim banyak juga men­ceritakan hal-hal serupa ini dalam kitabnya yang bernama al-Arwah.
Pendeknya hal yang begitu telah termasuk alam lain, yang.kita percayai. Tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah di dekat kita ini penuh dengan Roh-roh Syuhada, atau ether. Roh orang mati syahid, kita tidak tahu. Karena hidup kita yang sekarang ini masih terkongkong oleh alam Syahadah, alam nyata.
Kemudian itu Tuhan teruskan lagi peringatanNya kepada kaum mu'min:
(155) Dan sesungguhnya akan Kami beri kamu percobaan dengan se­suatu dari ketakutan dan kelaparan dan kekurangan dari harta­ benda dan jiwa-jiwa dan buah buahan; dan berilah khabar yangmenyukakan kepada orang yang sabar.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_155.png
 وَ لَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ
"Dan sesungguhnya akan Kami beri kamu percobaan dengan sesuatu." (pangkal ayat 155).
Dengan sesuatu, yaitu dengan aneka warna,
 مِّنَ الْخَوْفِ
"dari ke takutan," yaitu ancaman-ancaman musuh atau bahaya penyakit dan sebagai­nya, sehingga timbul selalu rasa cemas dan selalu terasa ada ancaman. Yang berlaku di zaman Nabi ialah ancaman orang musyrik dari kota Makkah, ancaman kabilah-kabilah Arab dari luar kota Madinah yang selalu bermalaud hendak menyerang Madinah, ancaman fitnah orang Yahudi yang selalu meng­intai kesempatan dan ancaman orang munafik, dan ancaman bangsa Rum yang berkuasa di utara waktu itu.
 وَ الْجُوْعِ
"Dan kelaparan" termasuk kemiskinan sehingga persediaan makanan sangat berkurang.
 وَ نَقْصٍ مِّنَ الْأَمَوَالِ
"Dan kekurangan dari hartabenda."
Sebab umumnya sahabat-sahabat Rasulullah yang pindah dari Makkah ke Madinah itu hanya batang tubuhnya saja yang keluar dari sana; hartabenda tidak bisa dibawa;
 وَ الْأنْفُسِ
"dan jiwa-jiwa, "
ada yang kematian keluarga, anak dan isteri dan bapak, sehingga hidup melarat terpencil kehilangan keluarga di tempat kediaman yang baru;
 وَ الثَّمَرَاتِ
"dan buah-buahan," karena tidak lagi mempunyai kebun­ kebun yang luas, terutama pohon kurma, yang menjadi makanan pokok pada masa itu. Semuanya itu akan kamu derita ! .
Demikian sabda Tuhan. Tetapi derita itu tidak lain ialah karena menegak­kan cita-cita.
 وَ بَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
"Dan berilah khabar yang menyukakan kepada orang-orong yang sabar." (ujung ayat 155).
Setelah di ayat 153 tadi dinyatakan kepentingan sabar dan shalat, di ayat ini diulangi lagi bahaya-bahaya, percobaan dan derita yang akan mereka tempuh. Disebut pahitnya sebelum manisnya. Orang yang akan menempuh derita itu hendaklah sabar.
Hanya dengan sabar semuanya itu akan dapat diatasi. Karena kehidupan itu tidaklah membeku demikian saja. Penderitaan dirasai dengan merata. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri dalam peperangan Uhud kehilangan pamannya yang dicintainya Hamzah bin Abdul Muthalib. Maka apabila mereka sabar menahan derita, selamatlah mereka sampai kelak ke seberang cita-cita. Tidak ada cita-cita yang akan tercapai dengan tidak memberikan pengorblnan. Berilah khabar kesukaan kepada mereka yang sabar itu.
(156) (Yaitu) orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepadaNya­lah kita semua akan kembali.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_156.png
 اَلَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
"(Yaitu) orang -orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kita ini dari Allah, don sesungguh­nya kepadoNyolah kita semua akan kembali." (ayat 156).
Ucapan yang begini mendalam, tidaklah akan keluar dari dalam lubuk hati kalau tidak menempuh latihan. Khabar kesukaan apakah yang dijanjikan buat mereka ? 
(157) Mereka itu, akan dikurniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat petunjuk.        
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_157.png
 أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَ رَحْمَةٌ
"Mereka itu, akan dikurniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka, dan rahmat. "(pangkal ayat 157).
Inilah khabar kesukaan untuk mereka. Pertama mereka akan diberi kurnia anugerah: dalam bahasa aslinya shalawat. Dari kata shalat. Kalau kita makhluk ini yang mengerjakan shalat terhadap Allah, artinya telah berdoa dan shalat. Kalau kita mengucapkan shalawat kepada Rasul, ialah memohon, kepada Allah agar Nabi kita Muhammad s.a.w. diberi kurnia dan kemuliaan. Tetapi kalau Tuhan Allah yang memberikan shalawatNya kepada kita, artinya ialah anugerah perlindungan­Nya. Kemudian itu menyusul Rahmat, yaitu kasih-sayang.
 وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
"Dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat petunjuk." (ujung ayat 157).
Maka dengan ketabahan hati menghadapi, lalu mengatasi kesukaran dan kesulitan dan derita, untuk menempuh lagi penderitaan lain, perlindungan Tuhan datang, rahmatNya meliputi dan petunjukpun diberikan. Jiwa bertambah lama bertambah teguh, karena sudah senantiasa digembleng dan disaring oleh zaman.
Dengan ini diberikan ketegasan kepada kita, apakah keuntungan yang akan kita dapat kalau kita tahan menderita dan sanggup mengatasi penderitaan itu, atau lulus dari dalamnya dengan selamat? Pertama Tuhan memberikan ShalawotNya kepada kita, artinya bahwa kita dipelihara dan dijamin. Kedua kita diberi limpahan Rahmat, yaitu kasih-sayang yang tidak putus-putus. Tidak cukup hanya sehingga diberi Shalowat dan Rahmat, bahkan dijanjikan lagi dengan yang lebih mulia, yaitu diberi petunjuk di dalam menempuh jalan bahagia ini, sehingga sampai dengan selamat kepada yang dituju.
Ini telah terjadi pada kehidupan Nabi-nabi, setiap mereka lepas dari satu ujian Mihnah , mereka naik guna mencapai anugerah Minhah yang baru Demikian juga kehidupan ulama-ulama yang menerima warisan Nabi-nabi.
Semua ayat ini rnasihlah dalam rangka peralihan kiblat itu; intisarinya tuntunan dalam perjuangan. Dan Islam tidaklah akan tegak, kalau Roh jihad ini tidak selalu diapikan pada diri dan pada ummat. Dan kesulitan, kesukaran, kekurangan sebagai Yang disebutkan Allah itu akan selaluiah ada. Bahagialah urnmat yang dapat mengambil pedoman daripada ayat-ayat ini.
Mungkin timbul rasa musykil dari pertanyaan orang: "Mungkinkah kita mengelakkan diri dari perasaan sedih atau susah karena ditimpa musibah?" Jawabnya sudah pasti, yaitu rasa sedih dan susah mesti ada. Sedangkan Nabi s.a.w. kematian puteranya Ibrahim bersedih juga dan titik juga airmata beliau. Bahkan tahun kematian isteri beliau yang tua, Khadijah, beliau namai Tahun Duka. Rasa yang demikian tidaklah dapat dihilangkan, karena dia adalah sifat jiwa. Dia timbul dari rasa belas-kasihan, atau rahmat.
Maka perasaan yang demikian, kalau tidak dikendalikan, itulah yang kerapkali membawa jiwa mera­na. itulah yang diperangi dengan sabar, sehingga akhirnya kesabaran menang, dan kesedihan itu tidak sampai merusak diri. Adapun kalau ada orang yang mati anaknya* tidak sedih hatinya, dan dia gembira-gembira saja, itu adalah orang yang tidak berperasaan. Orang yang berperasaan ialah yang memang tergetar hatinya karena suatu malapetaka, tetapi dengan sabar dia dapat mengendalikan diri, dan diapun menang. Inilah yang dirnaksudkan.
Kadang-kadang berkesan pada wajahnya peperangan batin itu, entah kurus badannya, bahkan sampai setengah buta matanya, sebagai Nabi Ya'kub kehilangan Yusuf, dan kemudian hilang pula Benyamin, namun beliau tetap berkata:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_153-157_files/image004.jpg
"Sabar yang indah, dan Allahlah tempat memohon pertolongan." (Yusuf: 83)
Berperang dalam batin, dan menang dalam peperangan itu. Itulah dia bahagia.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_158.png
(158) Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua. Maka barangsiapa yang naik haji kerumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya. Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan, maka sesungguhnya Allah ada­lah Pembalas terimakasih, lagi Maha Mengetahui.
Sa'i Di Antara Shafa Dan Marwah
 Menurut Syaikh Muhammad Abduh dalam pelajaran tafsirnya , ayat ini masih urutan dari masalah peralihan kiblat juga. Meskipun pada tafsir-tafsir yang lain seakan-akan telah terpisah. Menyebutkan dari hal Sa'i di antara Shafa dan Marwah setelah memperingatkan menyuruh sabar dan shalat, guna mene­rima segala penyempurnaan nikmat Tuhan kelak, dan supaya tahan menderita segala macam percobaan, maka dengan ayat ini dibayangkanlah pengharapan, bahwa akan datang masanya mereka akan berkeliling di antara bukit Shafa dan Marwah. Betapapun besarnya kesulitan yang tengah dihadapi sekarang namun pengharapan mesti selalu dibayangkan. Apatah lagi kalau yang membayangkan pengharapan Allah Ta'ala sendiri:
 إِنَّ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ
"Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua."( pangkal ayat 158).
Bahasa kita Indonesia telah kita perkaya juga dengan memakai kalimat syi'ar. Kita telah selalu menyebut syiar Islam. Syiar artinya tanda. Kata jamaknya ialah sya'air. Sya'airallah artinya tanda-tanda periba­datan kepada Allah. Ketika mengerjakan haji banyaklah terdapat syiar itu. Unta-unta dan lembu yang akan dikurbankan waktu habis haji ditukai tengkuk­nya, sebagai tanda Melukai itupun dinamai syi'ar. Shalat di makam lbrahim adalah termasuk syiar ibadat. Tawaf keliling Ka'bah, wuquf di Arafah dan di ayat ini disebut berjalan atau Sa'i di antara Shafa dan Marwah itupun satu di antara syiar-syiar (sya'air) itu pula, dan melempar Jamrah di Mina. Syiar-syiar demi­kian adalah termasuk ta'abbudi, sebagai imbangan dari ta'aqquli( Dalam istilah Ushul Fiqh: Ma'qulul-ma'na ).
Ta'abbudi artinya ialah ibadat yang tidak dapat dikorek-korek dengan akal mengapa dikerjakan demikian.
Ta'aqquli ialah yang bisa diketahui dengan akal. Kita mengetahui apa hikmahnya mengerjakan shalat; itu namanya ta'aqquli. Tetapi kita tak dapat meng-akali mengapa zuhur empat rakaat dan subuh dua rakaat. Itu namanya ta'abbudi. Kita dapat mengetahui hikmah rnengerjakan haji se­kurangnya sekali seumur hidup (ta'aqquli), tetapi kita tidak dapat mengetahui mengapa ada perintah melontar Jamrah dengan batu kecil 7 kali (ta'abbudi). Maka syiar-syiar itu termasuklah dalam ta'abbudi.
 فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
"Maka barangsiapa yang naik haji atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya."
Rumah itu yang dimaksud di sini ialah Baitullah (Ka'bah) itu. Adapun haji ialah pada waktu tertentu dimulai 9 Zulhijjah sampai selesai berhenti di Mina sekeliling tanggal 12 atau 13 Zulhijjah. Tetapi umrah adalah kewajiban di waktu lain, selain waktu haji, yang tidak memakai wuquf di Arafah dan berhenti di Muzdalifah dan di Mina. Tetapi haji dan umrah sama-sama memakai pakaian ihram, sama-sama memakai tawaf keliling Ka'bah dan sama­-sama memakai sa'i di antara kedua bukit Shafa dan Marwah.
Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit kecil, atau menunggu di dekat Masjidil Haram. Jarak di antara kedua bukit itu ialah 760 1/2 (tujuhratus enam­puluh setenggah) hasta. Setelah perbaikan Masjidil Haram yang terakhir (1957) kedua bukit itu telah termasuk dalam lingkungan mesjid. Maka dalam rangka mengerjakan haji dan umrah termasuklah sa'i, yaitu berkeliling pergi dan kembali di antara kedua bukit itu 7 kali. Dikerjakan setelah mengerjakan tawaf. Sehabis sa'i itulah boleh tahallul, yaitu mencukur rambut dan menanggalkan pakaian ihram . Dengan tahallul nusukpun selesai.
Menurut Hadits Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas , syiar sa'i ini adalah kenangan terhadap Hajar (isteri muda Ibrahim) seketika Ismail yang dikandung­nya telah lahir , sedang dia ditinggalkan di tempat itu oleh Ibrahim seorang diri, sebab Ibrahirn melanjutkan perjalanannya ke Syam , maka habislah air persediaannya dan nyaris keringlah air susunya, sedang sumur untuk mengarnbil air tidak ada di iempat itu. Anaknya Ismail telah menangis-nangis kelaparan, hingga hampir parau suaranya. Maka. dengan harap-harap cemas setengah berlarilah (sa'i) Hajar itu di antara kedua bukit ini mencari air , sampai 7 kali pergi dan balik. Anaknya tinggal dalam kemahnya seorang diri di lembah bawah.
Tiba-tiba kedengaran olehnya suara dan kelihatan burung terbang. Padahal tangis anaknya kedengaran pula meminta susu. Selesai pulang balik 7 kali itu diapun berlarilah kembali ke tempat anaknya yang ditinggalkannya itu. Dilihat­nya seorang Malaikat telah menggali-gali tanah di ujung kaki anaknya, maka keluarlah air.
Dengan amat cemas dipeluknya air itu seraya berkata: Zam! Zam! yang artinya; berkumpullah, berkumpullah! Kebetulan di masa itu datang kafilah orang Jurhum yang tengah mencari air. ltulah sumur Zamzam dan itulah asal "lembah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan" itu diramaikan men­jadi negeri. ltulah asal Makkah.
Maka perkelilingan Hajar itu dimasukkanlah dalam rangka syiar ibadat haji dan umrah, dan diakuilah , dia oleh ayat yang tengah kita tafsirkan ini , bahwa dia memang syiarlah adanya daripada ibadat kepada Allah. Salah satu dari tanda peribadafan. Barangsiapa yang naik haji atau umrah tidaklah ada salahnya jika dia berkeliling pula di antara kedua bukit itu sebagaimana lazimnva.
Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, pada suatu hari Urwah bin Zubair menyatakan pendapatnya di dekat Ummul Mu'mi­nin Siti Aisyah, bahwa demikian bunyi ayat tidaklah wajib sa`i di antara Shafa dan Marwah itu. Karena kalau disebut tidaklah mengapa berkeliling di antara keduanya, niscaya tidak berkelilingpun tidak mengapa. Pendapat Urwah ini ditegur dengan baik oleh Aisyah: "Bukan sebagai yang engkau fahamkan itu wahai anak saudaraku." * Adapun sa`i di antara Shafa dan Marwah itu adalah termasuk dalam rangka syiar ibadat: Maka ayat itu menyebut tidak mengapa, . ialah karena di sana di zaman jahiliyah kalau ada orang Anshar pergi beribadat haji atau umrah ke Makkah , mereka mesti bertemu dengan berhala manata yang besar dan seram yang terletak di antara kedua bukit itu. Setelah mereka menjadi Muslim semua musykillah dalam hati mereka bagaimana mereka akan sa'i juga di antara kedua bukit itu , padahal di sana masih berdiri berhala manata itu. Maka ayat ini menjelaskan bahwa tidak mengapa jika mereka sa'i di sana , walaupun di sana masih berdiri berhala itu.
Demikian kita tuliskan maksud dari Hadits Bukhari dan Muslim itu.
Lanjutan ayat:
 وَ مَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
"Dan barangsiapa yang menarnbah kerja kebaikan, maka sesungguhnya Allah adalah pembalas terimakasih, lagi Maha Mengetahui." (ujung ayat 158).
Mengerjakan haji atau umrah yang wajib hanya sekali seumur hidup. Tetapi jika orang ingin menambah lagi dengan tathawwu' , menambah haji lagi dan menambah umrah lagi , entah berapa kali dia ke Makkah, maka Allah mensyukuri amalnya itu dan membalas budinya itu dengan baik. Dan semua amalnya yang ikhlas diketahui oleh Allah.
Maka terasalah bahwa ayat ini masih bertali dengan perintah peralihan kiblat dan pengharapan akan kemenangan di zaman depan: Satu waktu kelak merekapun akan dapat mengerjakan umrah. Meskipun di antara bukit Shafa dan Marwah itu masih ada berhala dan di dinding Ka'bah masih bersandar patung-patung , tidak mengapa mereka meneruskan ibadat mereka, karena ibadat itu tidak ada sangkut-pautnya dengan berhala itu. Maka pada beberapa masa kemudian bermimpilah Rasulullah bahwa dia dan sahabat-sahabatnya pergi ke Makkah mengerjakan umrah, lalu mereka pergi bersama-sama, sesuai dengan yang dimimpikan.
Tetapi sampai di Hudaibiyah pada tahun keenarn Hijriyah, mereka dihalangi orang Quraisy clan terjadilah perdamaian Hudai­biyah. Tidak jadi mereka naik tahun itu. Pada tahun mukanya , tahun ketujuh , barulah terjadi Umratul Qadha. Mereka telah mengerjakan umrah dengan baik dan selesai , mereka tawaf keliling Ka'bah yang masih berhala, dan mereka sa` i di antara Shafa dan Marwah yang masih ada berhala manata di sana, tetapi mereka tidak singgung menyinggung dengan itu. Syiar ibadat mereka lakukan dengan sempurna. Dan kelak pada tahun kedelapan setahun kemudian, karena orang Quraisy telah mengkhianati janji , negeri Makkah telah ditaklukkan dan segala berhala telah disapu bersih. Dan semuanya itu mereka capai dengan didahului oleh berbagai penderitaan , kekurangan hartabenda , kekurangan kawan-kawan yang syahid di medan jihad, tetapi akhirnya ialah penyempurnaan
---------------------------------------------------------------------------------------------
*Urwah bin Zubair adalah anak dari Zubair bin Awwam, salah seorang dari sahabat mulia yang sepuluh, yang bergelar Hawari Rosulullah Saudara dari Abdullah bin Zubair bin Urwah ialah Asma bintu Abu Bakar yang bergelar "Yang empunya dua ikat pinggang" sebab satu dari dua ikat pinggangnya itu tempat penyembunyian makanan yang diantarnya kepada Rasulullah dan ayahnya ketika sembunyi di gua Tsaur. Asma adalah kakak dari Aisyah. ltu sebabnya maka beliau mengatakan kepada Urwah "Wahai anak saudaraku." Dan Urwah membahasakan Aisyah Kholati saudara perempuan ibuku.
---------------------------------------------------------------------------------------------
dari nikmat yang telah dijanjikan Allah. Dan Allah membalas segala amal dan usaha mereka dengan kemenangan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Adapun tentang Sa'i di antara Shafa dan Marwah itu, telah ijma'lah sekalian Ulama ikutan kita menyatakan bahwa dia itu memang termasuk rnanasik haji. Cuma mereka berbeda pendapat tentang hukumnya menurut ketentuan Fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa dia termasuk Rukun pada Haji. Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk wajib haji.
(159) Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah pernah Kami turunkan dari keterangan - keterangan dan petunjuk, setelah Kami terangkan dianya kepada manusia di dalam Kitab , mereka
itu akan dilaknat oleh Allah dan merekapun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat.

http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_159.pngAyat-ayat ini masih menyangkut dengan sikap ahlul kitab, terutama Yahudi yang ada di Madinah seketika Rasululiah memulai da'wahnya ini. Mereka telah mengetahui bahwa kiblat yang diajakkan oleh Rasul itu adalah benar. Di ayat 146 di atas telah diterangkan pula bahwa mereka mengenal siapa Rasulullah s.a.w. itu sebagairnana mereka mengenal anak kandung mereka sendiri , sebab sifat-sifatnya cukup tertera di dalarn Kitab yang mereka terima (Taurat), tetapi sebahagian besar di antara mereka sengaja menyemburryikan kebenaran itu. Sekarang datanglah ayat ini, (159) menerangkan orang-orang yang menyem­bunyikan kebenaran itu:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَ الْهُدَى
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah pernah Kami turunkan, dari keterangan-keterangan dan petunjuk. " ( pangkal ayat 159 ).

Keterangan-keterangan itu ialah tentang sifat-sifat Rasul Akhir Zaman yang akan diutus Tuhan itu, yaitu Nabi Muhamrnad s.a.w. yang demikian jelas sifat sifatnya itu diterangkan , sehingga mereka kenal sebagaimana rnengenal anak mereka sendiri. Dengan menyebut keterangan-keterangan , nyatalah bahwa penjelasan ini bukan di satu tempat saja dan bukan satu kali saja, melainkan di berbagai kesempatan. Dan yang dirnaksud dengan petunjuk atau hudan ialah intisari ajaran Nabi Musa , yang sama saja dengan intisari ajaran Muhammad s.a.w. yaitu tidak mempersekutukan yang lain dengan Allah , tiada membuatnya patung dan berhala:

مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ
"Setelah kami terangkan dianya kepada manusia di dalam Kitab."
Artinya, segala keterangan dan petunjuk itu jelas tertulis di Kitab Taurat itu sendiri , dan sudah disampaikan kepada manusia, sehingga tidak dapat disembunyikan lagi:

أُولَئِكَ يَلعَنُهُمُ اللهُ وَ يَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُوْن
"Mereka itu akan dilaknat oleh Allah dan merekapun akan dilaknat oleh orang orang yrang melaknat." (ujung ayat 159).

Orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan itu adalah orang yang tidak jujur, orang-orang yang curang , yang telah melakukan korupsi atas kebenaran , karena mempertahankan golongan sendiri , Orang yang sernacam itu pantaslah rnendapat laknat Tuhan dan laknat manusia. Kecurangan ter­hadap ayat suci di dalam Kitab-kitab Tuhan, hanya semata-mata untuk mem­pertahankan kedudukan, adalah satu kejahatan yang patut dilaknat.

Di dalam Kitab Ulangan fasal 18 ayat 15 telah ditulis perkataan Nabi Musa demikian bunyinya:

"Bahwa seorang Nabi dari tengah-tengah kamu dan antara segala saudaramu , dan yang seperti aku ini; yaitu yang akan dijadikan oleh Tuhan Allahmu bagi kamu, maka akan dia patutlah kamu dengar."

Kemudian pada ayat berikutnya , ayat 18 lebih dijelaskan lagi sebagai sabda Tuhan Allah kepada Musa disuruh menyampaikan kepada Bani Israil:

"Bahwa Aku akan menjadikan bagi mereka seorang Nabi dari antara segala saudaranya, yang seperti engkau, dan Aku akan rnemberi segala firmanKu dalam mulutnya dan iapun akan mengatakan kepadanya segala yang aku suruh akan dia."

Di ayat berikutnya (ayat 19) Iebih dijelaskan lagi;

"Bahwa sesungguhnya barangsiapa yang tidak mau dengar akan segala firmanKu, yang akan dikatakan olehnya dengan namaKu, niscaya Aku menuntutnya kelak kepada orang lain."

Setelah itu pada ayat 20 dijelaskan lagi perbedaan di antara Nabi yang benar-benar Nabi dengan Nabi palsu. Demikian firman Tuhan dengan per­antaraan Nabi Musa.

"Tetapi adanya Nabi yang melakukan dirinya dengan sombong dan me­ngatakan firman dengan namaKu, yang tiada Kusuruh katakan, atau yang berkata dengan nama dewa-dewa , niscaya orang nabi itu akan mati dibunuh hukumnya."
Kernudian pada ayat berikutnya (ayat 21) dijelaskan lagi:

"Maka jikalau kiranya kamu berkata dalam hatimu demikian; dengan apakah boleh kami ketahui akan perkataan yang bukannya firman Tuhan adanya?"

Ayat 22 seterusnya menjelaskan tanda itu demikian:

"Bahwa jikalau Nabi itu berkata demi nama Tuhan, lalu barang yang dikatakannya itu tiada jadi atau tiada datang, jatuhlah perkataan yang bukan firman Tuhan adanya , maka Nabi itupun telah berkata dengan sombongnya, janganlah kamu takut akan dia."

Ayat-ayat ini terpancang dengan jelasnya di dalam Kitab Ulangan tersebut, yang menurut keyakinan orang Yahudi, kitab itu adalah salah satu dari rang­kaian Kitab Taurat.
Orang Kristenpun mengakuinya. Kumpulan kitab yang sebelum Nabi Isa a.s. mereka namai "Perjanjian Lama".
Ayat 20 tersebut sesuai bunyinya dengan al-Quran Surat al-Haqqah (Surat 69), ayat 44, 45 dan 46; yaitu jikalau Nabi Muhammad s.a.w. berani mengatakan suatu perkataan yang bukan wahyu dikatakannya wahyu, diapun akan di­bunuh: "Akan Kami putusken urat lehernya."
Dari antara segala saudara itu, ialah saudara yang satu keturunan yaitu Bani Israil adalah keturunan dari Ishak dan orang Arab adalah keturunan dari Ismail.

Keduanya anak kandung Nabi Ibrahim , maka dari kalangan Bani lsrail itupun akan diutus Tuhan seorang Nabi yang seperti engkau, yaitu seperti Nabi Musa juga.

Demikianlah bunyi firman Tuhan itu, yang sampai sekarang tetap ter­pancang didalam Kitab Ulangan tersebut.
Tetapi orang Yahudi sengaja me­nyembunyikan kebenaran itu. Dan orang Nasrani menafsirkannya kepada Nabi Isa bukan kepada Nabi Muhammad. Padahal kalau difikirkan dengan tenang dan jujur, lebih serupalah Nabi Musa dengan Nabi Muhammad, daripada dengan Nabi Isa. Dan kalau difikir secara jujur pula, jauhlah perbedaan Musa dengan Isa. Lebih banyak keserupaan Musa dengan Muhammad. Musa dan Muhammad sama-sama lahir sebagai manusia biasa, yaitu berbapa. Bapa Musa keturunan Bani Israil clan Bapa Muhammad keturunan Bani Ismail.

Tetapi kebenaran dan kenyataan firman ini mereka sembunyikan. Di zaman Rasulullah s.a.w. masih hidup, benar-benar naskah itu,tidak mereka bolehkan jatuh ketangan orang-orang yang beriman. Tetapi di zamari sekarang dengan kemajuan cetak-mencetak dan telah disalinnya Kitab-kitab itu ke dalam segala bahasa , tidaklah dapat mereka sembunyikan lagi.

Sungguhpun begitu mereka berkeras memberikan tafsir yang lain. Orang.Yahudi mengatakan bahwa Nabi yang disebutkan itu bukanlah Muhammad, melainkan Nabi yang lain masih ditunggu. Dan orang Nasrani berkeras juga mengatakan bahwa Nabi yang disebut itu ialah Isa Almasih; sebab kata mereka Isa Almasih itu keturunan Daud. Padahal Yusuf yang kawin dengan Maryam sesudah Isa lahirlah yang keturunan Daud bukan Isa. Silsilah keturunan Yusuf dari Daud itulah yang ditulis Matius dalam Injilnya fasal 1 ayat 1 sampai ayat 17. Bukan keturunan lsa Almasih, sebab dia bukanlah anak dari Yusuf tersebut, Isa tidak berbapak.

Dan segala puji bagi Tuhan. Nabi kita Muhammad s.a.w. bukanlah mem­buat-buat wahyu sendiri dan bukan menyerukan dewa-dewa. Sebab itu bukan­lah beliau mati dihukum bunuh, dengan diputus urat lehernya. Seorang perempuan Yahudi yang jahat telah mencoba meracuni beliau seketika beliau menaklukkan benteng Khaibar. Tetapi cepat beliau tahu. Sahabatnya Abu Bakar termakan juga sedikit racun itu. Sejak termakan racun itu kesihatan Abu Bakar sangat mundur. Salah satu penyakit yang membawa ajalnya ialah bengkak dalam perut, bekas racun tersebut.

Seketika ditanyakan kepada perempuan tersebut mengapa dia berbuat demikian keji, dengan terus-terang perempuan itu berkata bahwa kalau dia memang Nabi, niscaya dia akan tahu racun itu.

Maka yang dimaksud dengan ayat yang akan kita tafsirkan ini ialah penyembunyian kebenaran yang telah mereka lakukan itu; karena tidak mau percaya kepada Utusan Tuhan, sampai hatilah mereka menyembunyikan. Berani mereka berlangkah curang terhadap yang mereka sendiri mengakui Kitab Suci. Tentu laknat kutuk Allahlah yang akan menimpa orang yang demikian. Dan manusiapun akan mengutuk selama manusia itu masih ingin akan kebenaran. Apatah lagi tulisan itu tidak dapat dihilangkan, melainkan bertambah tersebar di muka bumi ini. Orang yang datang di belakang tentu hanya menurut tafsiran yang telah ditentukan oleh orang yang dahulu.

Ayat yang tengah kita tafsirkan ini adalah celaan keras atas perbuatan curang terhadap kebenaran. Sebab itu janganlah kita hanya menjuruskan perhatian kepada sebab turunnya ayat, yaitu pendeta Yahudi dan Nasrani tetapi menjadi peringatan juga kepada kita ummat Muslimin sendiri. Apabila orang-orang yang dianggap ahli tentang agama tentang al-Quran dan Hadits telah bersikap pula menyembunyikan kebenaran, misalnya karena segan ke­pada orang yang berkuasa, atau takut pengaruh akan hilang terhadap pengikut­pengikut mereka, maka kutuk-yang terkandung dalam ayat inipun akan me­nimpa mereka.

Terutama dari hal Amar Ma'ruf , Nahi Munkar, menganjur-anjurkan berbuat yang baik-baik dan mencegah daripada mungkar, menjadi kewajiban­lah bagi orang-orang yang telah dianggap ahli dalam hal agama. Apatah lagi karena sabda Nabi:

"Ulama-ufama adalah penjawat waris Nabi-nabi." Dirawikan oleh Abu Daud, Termidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dari Hadis Abu Darda'.

Lantaran itu dalam Islam ulama mempunyai dua kewajiban, yaitu menuntut ilmu agama untuk mengajarkanriya pula kepada orang yang belum rahu, sehingga diwajibkan bagi yang belum tahu itu bertanya kepada yang tahu. Kewajiban yang kedua menyampaikan atau mentablighkan. Ulama dalam Islam bukanlah hendaknya sebagai sarjana yang duduk di atas istana gading, men­jauhkan diri dari bawah dan melihat-lihat saja dari atas. Lantaran itu maju mundurnya agama di suatu negeri amat bergantung kepada aktif tidaknya ulama di tempat itu dalam menghadapi masyarakat. Kalau mereka telah menyembunyikan pula ilmu dan pengetahuan , keterangan keterangan dan petunjuk , kutuk laknat Tuhanlah yang akan menimpa dirinya. Dan manusiapun mengutuk pulalah , sehingga kadang-kadang jika terdapat banyak maksiat di satu negeri, maka bertanyalah orang: "Tidakkah ada ulama di sini?"

Imam Ghazali menceritakan bahwa shufi yang besar itu, Hatim si Tuli (al-Asham) datang ke satu negeri Islam dan bermaksud hendak berdiam lama di sana. Tetapi baru tiga hari dirobahnyalah niatnya , dia hendak segera berangkat meninggalkan negeri itu. Maka bertanyalah orang kepadanya , mengapa tidak jadi niatnya diteruskari hendak menetap di negeri itu ? Beliau menjawab: "Sudah tiga hari saya di sini, tidak pernah saya mendengar suatu pengajianpun dalam negeri ini. Tidak ada rupanya ulama di sini yang sudi mencampungkan dirinya kepada orang awam buat mengajar mereka. Maka kalau aku tahan lama-lama di sini akan matilah aku."

(160) Kecuali orang-orang yang ber­taubat darr berbuat perbaikan dan mereka yang memberikan penjelasan. Maka mereka itulah yang akan Aku beri taubat atas mereka ; dan Aku adalah Pemberi taubat lagi Penyayang.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_160.png
إِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا
"Kecuali orang-orang yang bertaubat."(pangkal ayat 160)
Taubat artinya kembal:. Yaitu kembali kepada jalan yang benar. Karena jalan menyembunyi­kan kebenaran itu adalah jalan yang sesat.

وَ أَصْلَحُوْا
"Dan berbuat perbaikan. "
Maka langkah yang salah selama ini diperbaiki kembali, lalu mereka jelaskan ke benaran dan tidak ada yang disembunyi-sembunyikan lagi. Atau , mana-mana keadaan yang salah dalam masyarakat segera diperbaiki, sediakan seluruh waktu buat ishlah.
وَ بَيَّنُوْا
"Dan mereka yang memberikan penjelasan. "
Terangkan keadaan yang sebenar-benarnya, jangan lagi berbelok-belok, karena kedustaan tidaklah dapat dipertahankan lama.

فَأُولَئِكَ أَتُوْبُ عَلَيْهِمْ
"Maka mereka itulah yang akan Aku beri taubat atas mereka. "
Inilah penegasan dari Tuhan, bahwa apabila orang te!ah kembali ke jalan yang benar, telah insaf, dan keinsafan itu dituruti dengan kegiatan menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang telah keruh, mern­perbaiki yang telah rusak dan tidak bosan-bosan memberikan penjelasan, segeralah Tuhan akan memberikan taubatnya. Dan segeralah keadaan akan berubah, sebab yang berubah itu ialah orang yang bersalah sendiri.

وَ أَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
"Dan Aku adalah Pemberi taubat, lagi Penyayang." (ujung ayat 160).
Apabila orang telah insaf akan kesalahannya itu, dan segera dia berbalik ke jalan yang benar, maka Tuhanpun cepatlah menerima taubatnya. Kelalaian yang sudah-sudah segera diampuni. Dan Tuhanpun Penyayang; niscaya akan diberiNya pimpinan, bimbingan dan bantuan kepada orang yang telah mulai menempuh jalan yang benar itu.
Lantaran itu maka terhadap ayat ini janganlah kita terlalu berpegang kepada Asbabun-Nuzul.(sebab turun ayat). Karena sudah ditakdirkan Allah didalam hikmatNya yang tertinggi bahwa perlombaan golongan-golongan agama akan masih tetap ada di dunia ini, untuk oramg berlomba berbuat yang baik. Maka ayat ini menjadilah hasungan bagi kita yang telah menyambut al-Quran supaya menghindarkan diri daripada menyembunyikan kebenaran. Mari kita kembali ke jalan Tuhan dan membuat ishlah dan memberikan penjelasan.
(161) Sesungguhnya orang-orang yang tidak mau percaya , dan mati , padahal mereka masih di dalam kufur. Mereka itu , atas mereka adalah laknat Allah dan Malaikat dan manusia sekaliannya.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_161.png
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا
"Sesumgguhnya orang-orangyang tidak maumpercaya."(pangkal ayat 161),
padahal segala keterangan telah diterimanya , dan dia masih berkeras kepala mernpertahankan yang salah dan tidak mau berganjak daripadanya.
وَ مَاتُوْا وَ هُمْ كُفَّارٌ
"Dan mati padahal mereka masih di dalam kufur,"
sehingga kesempatan yang selalu diluangkan Tuhan bagi mereka, tidak mereka pergunakan. mereka itu,

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللهِ وَ الْمَلآئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْن
"atas mereka adalah laknat Allah dan Malaikat dan manusia sekaliannya."(ujung ayat I61).

Kebenaran sudah datang, masih saja tidak mau menerima. Alasan buat menariknya tidak ada selain dari keras kepala atau ta'ashshub, mempertahankan yang salah. Niscaya kutuk laknatnya yang akan menimpa mereka terus menerus. Sebenarnya kutuk dari Allah sajapun sudah cukup; tetapi oleh karena kebenaran Allah itu turut juga dipertahankan oleh Malaikat, yang selalu me­nyembah Allah clan mensucikanNya,'tentu terganggulah perasaan Malaikat melihat kebenaran disanggah. Tidak pelak lagi, MaTaikat itupun mengutuk. Dan umumnya manusiapun menghendaki kebenaran clan tidak menyenangi kecu­rangan clan kekerasan kepala. Niscaya nranusiapurr turut mc:ngutuk pula. Maka laknat Allah dan Malaikat serta manusia itu akan didapatnya terus-menerus:
(162) Kekal mereka di dalamnya; tidak akan diringankan azab atas mereka, dan tidaklah mereka akan di perdulikan.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_162.png
خَالِدِيْنَ فِيْهَا
"Kekal mereka di dalamnya" (pangkal ayat 162).
Kekal dalam kutukan, walaupun telah hancur tulangnya dalam kubur. Ingatlah nama-nama sebagai Fir'aun, Karun, Haman dan Abu Lahab yang tersebut dalam al-Quran, walau pun telah beribu tahun mereka mati , kutuk Allah dan kutuk Malaikat serta kutuk manusia masih rnereka terima. Bahkan jika timbul manusia lain mem­bawakan kekufuran sebagai mereka, terkenang lagi orang akan mereka dan mengutuk lagi: "Orang ini seperti Fir'aun! Orang ini jahat sebagai Abu Lahab." Dan sebagainya.
لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ
"Tidak akan diringankan azab atas mereka."
Yaitu azab akhirat di samping kutukan di dunia.

وَلاَ هُمْ يُنْظَرُوْ
"Da» tidaklah mereka akan diperduli­kan." (ujung ayat 162).
Akan dibiarkan mereka berlarut-larut dalam siksaan akhirat.
Di dalam permulaan Surat al-Baqarah sudah juga diterangkan tentang kufur -atau orang kafir. Puncak kekafiran adalah mengingkari adanya Allah , atau mempersekutukanNya dengan yang lain, atau tidak mau percaya kepada adanya hari kemudian (Kiamat) atau tidak mau mengakui wahyu , atau berkata tentang Allah dengan tidak ada pengetahuan. Pendeknya segala sikap menalak kebenaran yang dijalankan agama dan mempertahankan yang batil, yang telah diterangkan batilnya oleh agama.

(163) Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_163.png
Mengenal Allah Dengan Memperhatikan Alam
Sesudah Tuhan Allah memberikan peringatan yang demikian keras, bahwa kutuk laknat Allah dan Malaikat serta manusia akan datang timpa bertimpa ke atas diri orang yang tidak mau percaya, yang sampai matinya tetap dalam kufur. Tuhan pada ayat ini mengemukakan pokok ajaran agama tentang Tuhan. Dengan demikian orang diperingatkan lagi; janganlah hendaknya mereka sam­pai bertahan dalam kekafiran dan mati dalam kufur.
وَ إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
"Dan Tuhan kamu itu, adalah Tuhan Yang Maha Esa, "(pangkal ayat 163).
Dialah ilah, Tuhan Pencipta. Berdiri sendiri Dia dalam kekuasaan dan pencipta­anNya, tidak bersekutu Dia dengan yang lain. Mustahil berbilang Tuhan itu; sebab kalau Dia berbilang, pecahlah kekuasaan. Mustahillah alam yang telah ada ini diciptakan oleh kekuasaan yang berbilang. Dia adalah Esa dalam sifatNya sebagai Ilah, sebagai Tuhan Pencipta. Dan Dia adalah Esa dalam sifatNya sebagai Pemelihara, sebagai Rabb

لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
"Tidak ada Tuhan melainkan Dia. "

Apabila telah diakui TunggalNya dalam penciptaanNya, maka hanya Dialah yang wajib disembah dan dipuja. itulah yang bernama Tauhid Rububiyah. Dan setelah diakui bahwa Tunggal Dia dalam pemeliharaanNya atas alam, maka hanya kepadaNya sajalah tempat memohon pertolongan. Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah. Tersimpul keduanya di dalam ucapan: "Hanya kepada Engkau saja Kami menyembah; dan hanya kepada Engkau saja kami memohon pertolongan."
الرَّحْمَنُ الرَّحِيْم
"Yang Maha Murah, Yang Maha Penyayang," (ujung ayat 163).
Yang Maha Murah arti dari Ar-Rahman; maka Ar-Rahman adalah satu di antara sifatNya yang berhubungan dengan diriNya sebagai Ilah, sebagai Tuhan Pencipta. Ar-Rahman adalah sifat tetap pada dirinya: Sehingga untuk kejelasan sifat tetap Ar-Rahman itu, sifat ini selalu dimulai dengan memakai Alif-lam (AI). Ar-Rahim ialah sifatNya dalam keadaanNya sebagai Rabb, sebagai Tuhan Pemelihara. Maka membekaslah Ar-Rahim Tuhan pada pemeliharaan.

Inilah pokok pendirian agama. Bila pokok yang pertama ini sudah dipegang oleh seorang hamba, berarti dia telah memasuki pintu gerbang kepercayaan. Maka dihimpunkanlah dia ke dalam ucapan syahadat pendek La Ilaha Illallah.

"Tidak ada Tuhan melainkan Allah."
Tidak ada Tuhan yang patut aku sembah melainkan Allah. Tidak ada Tuhan tempat aku meminta tolong melainkan Allah.

Menarik perhatian kita pada ayat ini ialah karena terlebih dahulu dia menerangkan Allah dalam keesaanNya: "Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Artinya bahwasanya dalam menciptakan alam ini Dia tidak bersekutu dengan yang lain; "La llaha illa Huwa. "Tidak ada Tuhan melainkan Dia sendirinya. Sebab itu tidak ada yang layak buat dipuja dan disembah, me­lainkan Dia.

Kalau Allah yang menciptakan alam, bukanlah kepada berhala kita meminta terimakasih.
"Yang Maha Murah lagi Maha Penyayang. "
Terasalah kemurahanNya dan kasih-sayangNya di dalam seluruh alam ini. SATU, tiada berserikat dan Pemurah serta Pengasih. Maka ayat ini selain menanamkan rasa Tauhid, adalah pula menanamkan rasa cinta. Rasa cinta adalah lebih mendalam jika kita selalu suka menikmati keindahan alam sekeliling kita. Tuhan Allah bukanlah diakui oleh akal saja adanya, bahkan juga dirasakan dan diresapkan dalam batin, dalam kehalusan dan keindahan. Itulah sebabnya maka lanjutan ayat ini adalah ayat yang menerangkan sebagian dari keindahan alam, yang lebih diketahui apabila pengetahuan tentang alam bertambah mendalam.
(164) Sesungguhnya pada kejadian semua langit dan bumi dan perubahan malam dan siang d an kapal yang berlayar di lautan membawa barang yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit dari ada air, maka dihidupkanNya dengan (air) itu bumi, sesudah matinya , seraya disebarkanNya padanya dari tiap-tiap jenis binatang, dan peredaran angin, dan awan yang diperintah di antara langit dan bumi; adalah semua­nya itu tanda-tanda bagi kaum yang berakal.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/Dataayat/2_164.png
Maka datanglah ayat selanjutnya, lihatlah alam sekeliling ini:
إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ
"Sesungguhnya pada kejadian semua langit dan bumi." (pangkal ayat 164).
Pertama sekali diperhatikanlah kejadian semua langit dan bumi; meng­hadap dan menengadahlah ke langit yang tinggi itu. Berlapis-lapis banyaknya, cuma mata kita dalam tubuh yang kecil ini hanya dapat melihatnya sedikit sekali. Sungguhpun sedikit yang dapat dilihat sudahlah sangat mengagumkan; Langit itu membawa perasaan kita menjadi jauh dan rawan sekali. Mengagum­kan dia pada malam hari dan menakjubkan dia pada siang hari.

Di sana terdapat berjuta-juta bintang hanya sedikit yang dapat dilihat dengan mata, dan lebih banyak lagi yang.tidak terlihat. Bumi adalah salah satu dari bintang-bintang yang banyak itu. Kita yang berdiam di bumi ini merasa bumi sudah besar, padahal dia hanya laksana sebutir pasir saja di antara bintang berjuta. Wahai, alangkah dahsyatnya kekuasaan Tuhan di langit.

Tidak mungkin semuanya itu terjadi dengan sendirinya. Suatu masa lantaran kagumnya manusia pada bintang ­bintang, ada yang menyangka itulah Tuhan. Ini menjadi bukti bahwa akal dan perasaan manusia sejak zaman purbakala telah merasakan bahwa tidaklah alam itu terjadi dengan sendirinya.

Bertambah tinggi pengetahuan manusia tentang ilmu falak , bertambah manusia kagum tentang sangat teraturnya perjalanan cakrawala langit itu. Adanya peraturan memastikan fikiran sampai kepada adanya yang mengatur.

Setelah lama kita menengadah ke langit , marilah menekur ke bumi; pada kejadian bumipun adalah hal yang menakjubkan. Ta'jub yang tidak akan selesai ­selesainya selama umur masih ada , selama akal masih berjalan dan selama bumi itu masih terkembang.

Dia hanya satu di antara berjuta bintang, tetapi alangkah banyaknya rahasia yang terpendam di dalamnya. Perhatian atas kejadian bumi adalah perhatian yang kedua. Bumi itu, hanya seperempat daratan, yang tiga perempatnya adalah lautan. Dalam-daratan yang seperempa: itu berapa ba­nyaknya rahasia kekayaan Ilahi yang terpendam dan berapalah baru yang diketahui oleh manusia. Dan dalam lautan yang tiga perempat itu , baru berapa yang terukur dan baru berapa yang diketahui. Tiap terbuka rahasia yang baru , ternyatalah bahwa di belakangnya berlapis-lapis lagi rahasia kejadian yang lain. Untuk mengetahui itu , hanya akal manusia jua yang berguna. Beribu-ribu universitas didirikan bagi penyelidikan rahasia bumi, maka semuanya menga­gumkan. Mungkinkah semuanya itu terjadi dengan kebetulan? Apakah adanya belerang, minyak tanah, emas, perak dan segala macam logam, garam dan lain ­lain itu terjadi tidak teratur? llmu telah mengatakan bahwa-semuanya itu teratur. Kalau tidak teratur, tidaklah dia menjadi ilmu !

Kemudian itu masuk kepada perhatian yang ketiga.

وَ اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ
"Dan perubahan malam dan siang."

Pergiliran bumi mengelilingi matahari dalam falaknya sendiri yang menimbulkan hisab atau hitungan yang tepat, sampai dapat membagi tahun, bulan, hari dan jam dan minit serta detik. Sampai dapat mengetahui peredaran musim dalam setahun, sampai manusia hidup di dunia mencocokkan diri dengan edaran malam dan siang itu, sampai manusia mencatat apa yang dinamakan sejarah; baik sejarah ummat manusia seluruhnya, atau sejarah bangsa naik dan bangsa yang punah, atau sejarah orang seorang, mulai lahirnya, hidup dan matinya.

Teratur edaran malam dan siang itu karena teratur peredaran bumi dan perjalanan matzhari, sampai orang dapat menerka akan terjadi gerhana matahari 1,000 tahun lagi, bahkan 100,000 tahun lagi. Dapat manusia memastikannya dengan ilmu, bukan urusan tenung yang ghaib, karena sangat teraturnya. Mungkinkah peraturan yang seperti ini terjadi sendirinya dengan tidak ada yang mengatur?

Kemudian itu masuk kepada perhatian yang keempat:

وَ الْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ
"Dan kapal yang berlayar di lautan membawa barang yang bermanfaat bagi manusia. "
Sesungguhnya sejak zaman purbakala manusia telah tahu membuat kapal. Makanya manusia berani membuat kapal, walaupun pada mulanya sangat sederhana sekali, ialah karena kepada manusia telah diberikan pengetahuan tentang peredaran angin dan kegunaan laut.

Dengan kapal itu manusiapun mengenal akan manusia di pulau dan benua lain dan terjadilah perhubungan antara manusia karena pertukaran keperluan hidup. Supaya ada pertukaran kepen­tingan hidup sehari-hari. Apabila tadi diterangkan, hanya seperempat bahagian daratan, dan tiga perempat bahagian adalah lautan .

Beribu kali kapal diteng­gelamkan taufan dan ombak yang besar, namun keinginan manusia hendak berlayar tidaklah padam. Di dalam al-Quran, selain daripada ayat ini terdapat tidak kurang dari 23 kali sebutan kapal. Malahan di zaman Nabi Nuh telah dipergunakan kapal untuk pengangkutan besar-besaran. ini menjadi bukti bahwa al-Quran telah membayangkan kesanggupan manusia membuat yang lebih sempurna. Sehingga di zaman sekarang berlayar dengan kapal-kapal sebagai Empress of Britain, Queen Elizabeth, Queen.Mary; United States dan lain-lain, adalah laksana berlayar dalam sebuah negeri. Sampai ada kapal yang mempunyai bioskop sendiri, pemandian besar, suratkabar harian sendiri, tele­visi sendiri, dan sebagainya.

Kemudian telah berpindah pula ke udara dengan berbagai ragam penerbangan, sesudah terlebih dahulu menyelam ke dasar laut dengan kapal selam, dan sekarang telah ada kapal selam yang dijalankan dengan tenaga atom. Bagairnana rnanusia akan mencapai kemajuan yang sepesat ini dalam perkapalan, sehingga hubungan dengan bahagian-bahagian dunia yang begini jauh sudah demikian rapatnya ? lalah karena kepada manusia diberikan ilrnu tentang pelayaran. Dengan mendapat ilmu itu mengertilah manusia akan sebahagian kecil daripada rahasia alam. Dan kembalilah mereka kepada pokok pangkal, yaitu bahwa semuanya ini tidaklah terjadi dengan sia-sia atau kebetulan. Pasti ada pengaturannya.

Kemudian itu masuk pula kepada perhatian yang kelima:

وَ مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاء مِنْ مَّاء فَأَحْيَى بِهِ الْأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَ بَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَآبَّةٍ
"Dan apa yang diturunkan Allah dari langit daripada air, maka dihidupkanNya dengan (air) itu bumi sesudah matinya, seraya disebarkanNya padanya dari tiap-tiap jenis binatang."

Di sini secara pendek diterangkan kepentingan air hujan, meng­hidupkan bumi yang telah mati. Bila hujan datang bumi itupun hidup kembali. Tumbuhlah segala macam tumbuh-tumbuhan karena adanya air. Hujan itu ada yang meresap ke bawah tanah, kelak menjadi telaga. Ada yang mengalir menjadi sungai-sungai bandar berkali untuk mengairi sawah dan ladang , dan alirannya yaAg terakhir melalui tempat yang rendah ialah ke laut. Kelak dari laut akan menguap lagi ke udara, untuk menyusun diri lagi untuk menjadi hujan. Dengan adanya hujan atau turunnya air dapatlah segala-galanya hidup, baik tumbuh-tumbuhan atau binatang berbagai jenis, termasuk manusia sendiri. Dan berusahalah manusia membuat irigasi, bendungan air, dam-dam besar. Malahan satu bendungan besar telah dikenal dalam negeri Saba' 1,000 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan ada ayat yang khas membicarakannya dalam al-Quran, bagaimana kemakmuran negeri itu ketika bendungan air masih dipelihara baik-baik, dan bagaimana pula bangsa itu menjadi punah setelah bendungan itu tidak dipelihara lagi, sampai mereka mengembara kian ke mari dibawa nasib.*

Perhatian yang keenam ialah:

وَ تَصْرِيْفِ الرِّيَاحِ
"dan peredaran angin."

Yang kita sebut di zaman kita ini peredaran cuaca. Bahkan kepandaian manusia di zaman moden, dalam rangka penyelidikan geofisika telah dapat mengetahui peredaran ke timur dan ke baratnya, ke utara dan ke selatannya, menentukan pada jam sekian akan keras angin, pada jam sekian udara agak panas sedikit, dan jam sekian akan turun hujan. Bagaimana usaha manusia akan dapat mengetahui sepasti itu, menjadi ilmu pengetahuan kalau bukan lantaran teraturnya. Siapa­kah pengatur itu? Niscaya adalah Tuhan!.

Perhatian yang ketujuh:
وَ السَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ
"Dan awan yang diperintah di antara langit dan bumi."

Pada ayat ini di antara angin dengan awan dipisahkan perhatiannya; karena angin boleh dikatakan dekat kepada manusia setiap hari dan awan beredar pada cakrawalai.yang lebih tinggi. Dia diperintah atau diatur beredar ke sana dan beredar ke mari, membagi-bagikan hujan dan pergantian suhu pada bumi. Bertambah moden hidup manusia bertambah penting perhatian kepada pergeseran awan itu, untuk menentukan penerbangan kapal terbang di udara.

Dan di ujung sebagai kuncinya Tuhan bersabda:

لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
"Adalah semuanya itu tanda-tanda bagi kaum yang berakal." (ujung ayat 164).

Fikirkanlah dan renungkan ketujuh soal yang dikemukakan Tuhan itu! Dia menghendaki kita mempergunakan akal. Dia menghendaki manusia menjadi sarjana dalam lapangan masing-masing. Mencari Tuhan setelah mempelajari alam. Itu §cbabnya maka di dalam surat Fathir (Surat 35 ayat 28), dengan tegas Tuhan berkata:

"Sesungguhnya yang akan takut kepada Allah, hanyalah orang-orang yang berpengetahuan." (Fathir: 28)
Di ayat ini disebutkan ulama, menurut artinya yang asli, yaitu orang yang berilmu. Dengan ayat ini dapatlah kita fahamkan bahwasanya mencari Tuhan
* Surat Saba' surat 34, ayat 15 sampai ayat 21.

dalam ajaran Islam ialah dengan memperdalam penyelidikan tentang alam. Maka Tuhan Allah yang didapat dari sebab ilmu itu, jauh lebih mendalam pengaruhnya atas jiwa dan budi daripada apa yang ditentukan ilmu sifat 20 , atau susunan manusia atau ilmu theologi orang Kristen yang memberi bentuk Tuhan itu sebagai manusia , atau Tuhan menjelmakan diri sebagai manusia.

Penyelidikan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah demikian tinggi pada abad kita ini rupanya telah membawa para sarjana kepada keimanan akan adanya Tuhan menurut , sistem yang diajarkan oleh al-Quran ini. Beberapa buku tentang kepercayaan kepada adanya Allah Yang Maha Kuasa, ditinjau dari segi ilmu telah banyak dikeluarkan orang. Satu di antaranya karancan Prof. Cresson telah disalin ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Tidak Hidup Sendirian. Satu buku yang lain yang berjudui Telah Jelas Allah Di Zaman Ilmu Pengetahuan. Beberapa orang ahli telah menulis dalam buku itu dan dari bidangnya masing-masing tentang hal ini.*/Buku ini telah disain oleh Dr. Damardasy Abdulmajid Sarhan ke bahasa Arab.

Dari tulisan Dr. Frank Allan yang dimu!ai di halaman 7 dapat dikutip di antaranya begini: "..... pastilah asal-usul alam ini ada penciptanya, yaitu yang dahulu tidak ada permulaan Yang Maha Tahu dan Maha Meliputi PengetahuanNya itu atas segala-galanya. Maha Kuat, yang kekuasaanNya tidak terbatas. Pastilah seluruh yang ada ini Dia yang menciptakan .....
"Dan Dia adalah akal yang tidak berkesudahan, Dia Allah dengan sendiri­nya, dengan hikmat Yang Maha Sempurna mencipta bahagian bahagian dari proton itu, sehingga bisa menjadi penetapan dari hidup. Maka Dia bangunkan dan Dia beri bentuk dan diberiNya anugerah rahasia hidup."

Di halaman 41 didapat pula tuiisan Dr. George Earl David: "Bertambah maju kendaraan ilrnu pengetahuan dan bertambah jauh terbelakang segala dongeng khurafat kuno, bertambahlah pula penilaian manusia terhadap agama dan penyelidikan keagamaan.

"Mungkin banyak sebabnya yang mendorong; manusia supaya meninjau kembali soal-soal agama, tetapi kita percaya bahwa semuanya itu pulangnya kepada satu sebab jua, yaitu keinginan manusia yang sangat jujur hendak sampai kepada kebenaran.

"Maka hendaklah kita pisahkan dalam hal ini di antara melawan agama atau keluar dari agama dengan atheist ( tidak bertuhan). Dan kita akui bahwa orang yang keluar dari sebagian fikiran-fikiran kuno beragama yang diterima dari ajaran setengah agama, karena hendak percaya kepada satu ujud Yang Maha Kuasa dan Maha Agung belumlah dituduh bahwa orang itu telah atheist , tidak mempercayai Tuhan . Orang semacam ini mungkin tidak memeluk suatu agama, tetapi dia percaya bahwa Tuhan Allah ada. Bahkan boleh jadi imannya kepada adanya Tuhan Allah berdiri atas sendi sendi yang amat kokoh."

Maka kalau kita turutkan pelajaran mencari Tuhan yang ada dalarn al­Quran dengan seksama, akan bertemulah kita dengan kenyataan bahwa mencari Tuhan secara ilmiah moden ini telah mendekati kepada yang di­kehendaki al-Quran.
Amat menarik lagi apa yang telah ditufis oleh Dr. Wolter Oscar Lindberg, yang dimulai di halaman 33 di antaranya demikian:
"Kegagalan beberapa sarjana di dalam memahami dan menerima pokok-pokok dasar pendirian tentang pengakuan adanya Tuhan dari segi ilmu pengetahuan adalah dari beberapa sebab. Dua di antaranya hendak kita sebutkan:

Pertama: Maka orang sampai tidak percaya kepada adanya Allah, ialah karena langkah yang ditempuh oleh setengah organisasi atau gerakan inter­nasionai yang berdasarkan atheist, menurut program politik tertentu, yang bertujuan menyebarkan faham tidak bertuhan dan memerangi kepercayaan kepada Allah. Sebab mereka pandang bahwa kalau kepercayaan kepada Tuhan masih ada, -sangatlah bertentangan dengan dasar gerakan itu.

Kedua: Walaupun telah bebas akal manusia dari ketakutan , tidak juga mudah membebaskannya dari fanatik dan sentimen. Di dalam sekalian gerakan agama Kristen selalu ditanamkan kepercayaan, sejak dari masa kanak-kanak bahwa Tuhan itu ialah berupa manusia, sebagai pengganti dari kepercayaan bahwa manusia itu adalah Khalifah Allah di bumi ini. Dan setelah akal ber­tumbuh selanjutnya dan dilatih mempergunakannya dalam metode-metode ilmu pengetahuan, maka rupa yang ditanamkan sejak masa kanak-kanak itu tidak jugalah dapat mereka sesuaikan dengan jalan berfikir teratur atau logika yang dapat diterima. Akhirnya setelah gagal segala usaha menyesuaikan fikiran keagamaan yang kuno itu dengan metode berfikir ilmiah dan logika , kita dapati ahli-ahli fikir yang demikian mencoba melepaskan dirinya dari kesulitan itu dengan membuang habis fikiran tentang Allah.

Setelah mereka sampai ke dalam keadaan yang begini di dalam persangkaan bahwa mereka telah me­lepaskan diri dari pada kekacauan fikiran agama bersamaan dengan hasil-hasil yang menyebabkan kekacauan dalam jiwa, maka tidaklah mereka mau lagi kembali memikir-mikirkan soal ini, bahkan mereka tantang setiap fikiran baru yang ada hubungannya dengan memperkatakan tentang Tuhan."

Menarik pula tulisan Dr. George Herbert Blunt, di antaranya di halaman 84:

"Semata-mata telah percaya tentang adanya Tuhan, belumlah menyebab­kan seorang telah dapat disebut beriman. Karena setengah manusia takut akan ikatan-ikatan yang dibelenggukan kepada kemerdekaan fikirannya karena mengakui bahwa Allah itu ada. Ketakutan itu bukan tidak berdasar. Karena kita saksikan kebanyakan sekte-sekte Kristen, sampaipun kepada sekte yang boleh disebut besar, kerap memaksakan suatu macam fikiran kepadanya secara diktator. Tidak syak lagi bahwa kediktatoran fikiran ini lain tidak hanyalah bikinan manusia saja, bukan suatu keharusan dari agama. Misalnya Kitab injil sendiri; Dia memberi orang kebebasan berfikir seketika dia berfikir bersama-­sama."

Dan.sebagai kuncinya kita salinkan perkataan Dr. John Adolf Bohler dari halaman 104 dan 105:

"Dan pastilah kita dapat merasakan kodrat Allah pada sekalian peraturan yang Dia jadikan dan undang-undang yang tunduk kepada sekalian yang ada. Mungkin manusia ini sanggup menafsirkan segala yang sulit karena telah mendapat rahasia dari peraturan-peraturan yang mengaturnya itu. Tetapi manusia lemah tak sanggup untuk membuat sendiri undang-undang itu, sebab undang-undang itu adalah ciptaan Allah semata-mata. Kepandaian manusia hanyalah membongkar-bongkar rahasia itu untuk dipakainya mencapai rahasia alam yang belum dia ketahui. Setiap undang-undang dan peraturan yang didapat oleh manusia sebenarnyalah akan memperdekatkannya kepada Allah, dan kemampuan untuk mencapaiNya. Itulah dia tanda-tanda yang dengan dia Allah itu bertambah nyata. Mungkin buat mengenal Allah bukan ini saja jalan satu-satunya. Mungkin juga Allah dapat kita kenal dari Kitab-kitab Suci misal­nya. Tetapi kejelasan ada Allah yang disaksikan pada penciptaanNya atas alam yang kita saksikan ini bolehlah dikatakan yang sepenting-pentingnya dipandang dari segi kita."

Banyak lagi kata-kata lain dalam buku itu yang tidak dapat lengkap kalau hanya kita salin saja. Yang lebih baik ialah bila ditelaah seluruh isi buku itu, akan mernberikan kesan pada kita, bahwa dalam kalangan sarjana-sarjana alam yang besar di zaman moden ini telah timbul suatu kepercayaan Yang murni terhadap adanya Allah, ialah sebagai akibat daripada mendalamnya, ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tehnik dan fisika atau apa yang disebut ilmu pengetahuan eksakta.

Renungkan kembali ayat yang kita tafsirkan ini dan baca kesan dari ahli-ahli dan sarjana itu, sampai kita kepada kesimpulan: "Dengan mempelajari keadaan alam, kita akan sampai kepada kepercayaan akan adanya Allah."

Sistem yang dianggap moden ini telah dimulai oleh al-Quran sejak 14 abad Yang lalu.
Dan dengan ini kita mendapat kesan pula bahwasanya suatu ilmu pengeta­huan moden yang menjauhkan diri daripada kepercayaan akan adanya Allah, sudah terhitung kolot, atau dikacaukan oleh ambisi-ambisi politik golongan tertentu.
(165) Dan setengah dari manusia ada. Yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan, yang mereka cintai mereka itu sebagai mencintai Allah. Tetapi orang-orang yang beriman terlebih cintalah mereka akan Allah. Padahal, kalau mengertilah orang-orang yang zalim itu, seketika mereka melihat azab, bahwasanya kekuatan adalah pada Allah, dan bahwasanya Allah adalah sangat pedih siksa­Nya.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_165_167_files/image004.gifDi Antara Pengikut Dengan Yang Diikut
Ayat yang telah Ialu menyatakan dasar untuk mengenal Tuhan Allah dan menanamkan Roh Tauhid di dalam hati sanubari. Mengenal Allah dari bekas perbuatanNya. Apabila renungan terhadap alam telah mendalam tidaklah mungkin akan ada perasaan bahwa yang lain bersekutu dengan Allah. Maka sekarang datanglah lanjutan ayat menerangkan dari hal manusia yang tidak mengerti Tauhid itu, lalu mempersekutukan yang lain dengan Allah: 
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَاداً يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
"Dan setengah dari manusia ada yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan, yang mereka cintai mereka itu sebagaimana mencintai Allah," (pangkal ayat 165).
Di dalam ayat disebut tandingan-tan­dingan itu dengan kata andadan dari kata mufrad niddun. Kita pilih artinya dalam bahasa kita tandingan-tandingan, karena maksud kita andadan itu amat luas. Bukan saja dengan andadan itu orang mempersekutukan Allah dengan memuja dan menyembah, malahan lebih luas. Misalnya ada perintah lain atau undang-undang lain yang lebih dipentingkan daripada perintah atau undang-­undang Allah, maka yang lain itu telah menjadi andadan.
Mereka cintai yang lain itu sebagaimana mencintai Allah. Lantaran itu cinta mereka telah terbagi. Kalau cinta telah terbagi, bukanlah Tauhid lagi namanya. Dan lantaran Tauhid tidak ada lagi, niscaya iman telah retak pula:
   وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا ِللهِ
"Tetapi orang-orang yang beriman, terlebih cintalah mereka akan Allah."
Meskipun orang yang beriman itu mencintai yang lain juga, namun cintanya kepada yang lain itu, tidak lain hanyalah karena didorong oleh cintanya kepada Allah. Misalnya mereka mencintai tanahair. Mereka mencintai tanahair sebab tanah airnya itu adalah pemberian Allah. Mereka mencintai anak isteri, harta­benda dan lain-lain, karena semuanya itu dipandang sebagai amanat Allah yang tidak boleh disia-siakan. Oleh sebab itu jika ditilik cinta mereka, nyatalah bahwa cinta itu hanya satu jua, tidak terbagi. 
Lantaran itu jelaslah betapa hebatnya ujian bagi Tauhid itu pada setiap waktu. Kepentingan-kepentingan lain bisa saja menarik kita dengan tidak kita sadari, sehingga berangsur-angsur keluar dari garis Tauhid:
وَ لَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ ِللهِ جَمِيْعًا وَ أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ
"Padahal kafau mengertilah orang-orang yang zalim itu, seketika mereka melihaf azab, bah­wasanya kekuatan adalah pada Allah, don bahwasanya Allah adalah sangat pedih siksaNya." (ujung ayat 165).
Kalau mengertilah orang yang zalim itu bahwa kelak di akhirat akan ternyata bahwa segala tandingan-tandingan itu tidak ada kekuatannya sama­sekali, walaupun apa macamnya dan siapapun orangnya, niscaya dari masa hidup di dunia ini mereka tidak akan mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah. Dan lantaran dengan tandingan-tandingan itu mereka telah. musyrik, niscaya azab yang pedihlah yang akan mereka rasai waktu itu, dan tidak ada satupun tandingan itu yang dapat menolong. Itulah sebabnya orang yang memecah cinta itu disebutkan zalim, aniaya. Menganiaya diri sendiri jauh lebih kejam daripada menganiaya orang lain. Sebagai pepatah orang tua-tua, orang yang zalim kepada dirinya sendiri itu disebut: "Diraut ranjau, dihamburi."
Sebahagian besar orang menjadi zalim kepada dirinya sendiri adalah karena menuruti ajakan orang lain. Mereka itu telah kehilangan perimbangan peribadi. Mereka turut-turutan, mereka hanya taqlid, menurut dengan tidak memakai pertimbangan diri sendiri kepada pendapat dan ajakan orang lain itu sehingga perimbangan akal budi menjadi hilang. Kita telah lihat ayat-ayat yang tersebut terlebih dahulu. Yakni untuk mengetahui adanya Tuhan pakailah akal sendiri merenungi alam. Kalau akal telah mendapat adanya Allah, mengapa seterusnya akal itu hanya diserahkan kepada orang lain, tidak menurut per­aturan Tuhan?
Dalam Islam sekarang bisa juga datang keruntuhan agama seperti yang menimpa ummat-ummat yang dahulu. Kerusakan agama ummat yang dahulu ialah karena aturan agama sudah sangat dicampuri oleh kepala-kepala agama, oleh pendeta, uskup, rabbi dan sebagainya. Pemuka-pemuka agama itu yang menentukan halal-haram, menambah-nambah agama, sehingga hilang yang asli dibungkus oleh tambahan. Sehingga berkuasalah pemuka agama mencampak­lcan orang dari dalam agama, yang dalam agama Kristen Katholik misalnya, disebut pengucilan, artinya suatu pendapat fikiran yang berbeda dari yang diputuskan oleh gereja, dapatlah dihukum, dikeluarkan dari agama.  
Maka keputusan itu tetaplah berlaku, tidak dapat dibantah. Terkenallah suatu masa ada orang yang dibakar, disula,- digunting lidah, dimasukkan ke dalam tong pakai paku, lalu diguling-gulingkan sampai mati. Dan semua hukum itu, kata­nya, adalah atas kehendak Tuhan!
Nafsu-nafsu manusia dalam Islam tentu tidak pula kurang dari nafsu manusia yang lain. Kalau sekiranya ada sajalah sedikit lobang tempat masuk untuk kekuasaan ahli agama tentang menentukan agama, tentu mereka akan berbuat demikian pula. Syukurlah al-Quran mencela keras yang demikian, masih ada yang dapat membuka suara menegakkan kembali kehendak al­Quran.
Kemudian sambungan,ayat:
(166) Yaitu tatkala melepaskan diri orang-orang yang diikut daripada orang-orang yang mengikut, dan mereka lihatlah azab, dan putuslah dengan mereka segala harapan.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_165_167_files/image006.gifإِذْ تَبَرَّأَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا
"(Yaitu) tatkala melepaskan diri orang-orang yang diikut daripada orang­-orang yang mengikut."(pangkal ayat 166).
Demikianlah di akhirat kelak. Orang yang hanya beriman ikut-ikutan, sehingga mencari tandingan Allah dengan yang lain, yang zalim atas dirinya, ketika ditanya, mengapa mereka memilih jalan yang lain, selain yang ditentukan Allah? Mereka akan menjawab: "Sebab kami mengikut kepada si fulan dan kepada guru anu. Dialah yang telah menyesatkan kami!" Tetapi orang-orang yang diikut itu berlepas diri. Sebab merekapun sedang menghadapi perkara mereka pula dengan Tuhan. Yang diikut memang salah, dan kesalahannya itu akan mereka pertanggung jawab­kan di hadapan Allah. Tetapi yang mengikut salah pula, sebab mereka tidak memakai akal sendiri.
وَ رَأَوُا الْعَذَابَ وَ تَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
"Dan mereka lihatlah azab, dan putuslah dengan mereka segala harapan." (ujung ayat 166).
Azabpun berdiri di hadapan mata, tempat mengelak yang lain tidak ada. Segala harapan telah putus, hukuman mesti dijalani. Maka timbullah sesal:
(167) Dan berkatalah orang-orang yang mengikut itu: Kalau sekira­nya ada bagi kami (kesempatan) kembali (ke dunia), maka kami­pun akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka telah berlepas diri dari kami. Demikianlah Allah memperlihat­kan kepada mereka akan amal-­amal mereka, yang membawa keluhan-keluhan atas mereka. Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dart neraka.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_165_167_files/image008.gifوَ قَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً
"Dan berkatalah orang-orang yang mengikut itu: Kalau sekiranya ada bagi kami (kesempatan) kembali (ke dunia)."(pangkal ayat 167).
Niscaya kami akan beramal yang baik, kami akan merobah hidup kami dan membetulkan kembali jalan kami, dan memilih apa yang disukai oleh Allah, tidak akan kami tandingkan lagi Allah dengan yang lain. Maka kalau kami diberi kesempatan lagi kembali ke dunia dan bertemu kami kembali dengan orang-orang yang diikut itu.
فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُوْا مِنَّا
"Maka kamipun akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka telah berlepas diri dari kami."
Wahai ! itu semuanya hanya penyesalan. Masakan setelah tiba di akhirat akan dibolehkan lagi kembali kepada masa lampau.
كَذَلِكَ يُرِيْهِمُ اللهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ
"Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka akan amal-amal mereka Yang membawa keluhan-keluhan (penyesalan) atas mereka."
Karena siksaan yang mereka terima tidaklah ada yang di luar dari keadilan. Itulah sebabnya maka penyesalan itu semua hanya bersifat keluhan. Di waktu itu kelak tidak dapat diperbaiki lagi.
وَ مَا هُم بِخَارِجِيْنَ مِنَ النَّارِ
"Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka." (ujung ayat 167).
Sebab itu masa buat memperbaiki diri bukanlah pada waktu itu, melainkan di masa sekarang ini, sedang kesempatan masih ada.
Dan dengan ayat ini jelaslah bahwasanya pimpinan yang diikut selain dari pimpinan Allah atau pemuka-pemuka yang menentukan pula peraturan halal dan haram, lain dari peraturan Allah, dan diikut pula peraturan itu menyerupai mengikut peraturan Allah, sudahlah menjadikan pemuka itu tandingan-tan­dingan Allah, sudahlah mempersekutukan mereka itu dengan Allah.
Lantaran itu maka mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukan­lah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja. Melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka rnembuat peraturan, lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah, maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik; mempersekutukan pemuka-pemuka itu dengan Allah.
(168) Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal lagi baik, dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia bagi kamu adalah musuh yang sangat nyata.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image004.jpg 
Karena Cari Makan
Setelah menerangkan bahaya ikut-ikutan, datanglah seruan Allah kepada seluruh manusia agar mengatur makanan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَ
"Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal !agi baik dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan." (pangkal ayat 168).
Penting sekali peringatan ini dan ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya. Kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit adalah hubungannya dengan perut asal berisi: Berapa perbuatan Yang curang terjadi di atas dunia ini oleh karena memper­tahankan syahwat perut.  
Maka apabila manusia te!ah mengatur makan minum­nya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman moden ini dinamai korupsi, maka jiwa akan terpelihara daripada kekasarannya. Dalam ayat ini tersebut yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam al-Quran, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang baik meskipun halal.  
Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal tetapi tidaklah baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan menyegan. Karena segan diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan. Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik; yaitu harta dicuri, atau seumpamanya. Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik; yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari mara­bahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah pembayar harga: meskipun tidak najis namun itu adalah penghasilan yang tidak baik.
Supaya lebih kita ketahui betapa besarnya pengaruh makanan halal itu bagi rohani manusia, maka !tersebutlah dalam suatu riwayat yang disampaikan oleh Ibnu' Mardawaihi daripada lbnu Abbas, bahwa tatkala ayat ini dibaca orang di hadapan Nabi s.a.w., yaitu ayat: "Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi ini, yang halal lagi baik," maka berdirilah sahabat Rasulullah yang terkenal, yaitu Sa'ad bin Abu Waqash. Dia memohon kepada Rasulullah supaya beliau memohon kepada Allah agar apa saja permohonan doa yang disampaikannya kepada Tuhan, supaya dikabulkan oleh Tuhan. Maka berkatalah Rasulullah s.a w :
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image006.jpg
"Wahai Sa'ad! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang makbul doanya. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya. "
Artinya, Sebih baik makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia belum apa-apa jika dibandingkan dengan api neraka. biar hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang haram.
Kemudian diperingatkan pula pada lanjutan ayat supaya jangan menuruti langkah-langkah yang digariskan oleh syaitan. Sebab syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Kalau syaitan mengajakkan satu langkah, pastilah itu langkah membawa ke dalam kesesatan. Dia akan mengajarkan berbagai tipu­daya, mengicuh dan asal perut berisi , tidaklah perduli dari mana saja sumber­nya syaitan akan bersedia menjadi pokrol mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat. Keinginan syaitan ialah bahwa engkau jatuh , jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik. Dengan demikian maka rusaklah  hidupmu.
Tentang langkah-langkah syaitan itu, menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim ­dan tafsiran ibnu Abbas:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image008.jpg
"Apa sajapun yang menyalahi isi al-Quran itu adalah langkah-langkah syaitan."
Menurui tafsiran dari Ikrimah, langkah-langkah syaitan ialah segaia rayuan syaitan. Menurut Qatadah: "Segala maksiat yang dikerjakan adalah itu dari langkah langkah yang ditunjukkan syaitan.° Menurut Said bin Jubair ialah segala perbuatan buruk yang dibagus-baguskan oleh syaitan. 
Menurut riwayat Abd bin Humaid dari Ibnu Abbas: "Bahkan segala sum­pah-sumpah yang timbul karena sedang marah, adalah termasuk langkah ­langkah syaitan juga. Kaffarah (denda) sumpah karena marah itu ialah denda sumpah biasa." Malahan menurut Ibnu Mas'ud, misalnya kita haramkan untuk diri kita sendiri suatu makanan yang dihalalkan Allah, itupun termasuk menu­ruti langkah-langkah syaitan. Dan menurut suatu riwayat dari Abd bin Humaid dari Usman bin Ghayyast, bahwa dia ini bertanya kepada Jabir bin Zaid (sahabat Nabi) tentang seseorang yang bernazar akan menghiasi hidungnya dengan subang emas, maka menurut fatwa Jabir bin Zaid, nazar orang itu adalah satu di antara langkah-langkah syaitan. Dia akan tetap dipandang durhaka kepada Allah selama subang emas yang dipakai di hidung itu masih dipakainya, dan dia wajib menebus (kaffarah) sumpah. Menurut Hasan al­Bishri, orang bersumpah hendak naik haji ke Makkah dengan merangkak, itupun termasuk menuruti langkah-langkah syaitan. Sebab dengan merangkak. tidaklah haji dapat dilaksanakan.    
   Maka datanglah lanjutan ayat:
(169) Yang disuruhkannya kepada kamu hanyalah hal yang jahat dan hal yang keji, dan supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu kefahui.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image010.jpg 
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَ الْفَحْشَاءِ
"Yang disuruhkannya (Yakni yang disuruhkan oleh syaitan) kepada kamu hanyalah hal yang jahat dan yang keji."
Yang jahat ialah segala macam maksiat, pelanggaran dan kedurhakaan, baik merugikan sesama manusia, atau merugikan diri sendiri, apatah lagi merugikan hubungan Allah. Yang keji ialah segala perbuatan yang membawa kepada zina. Kalau disambungkan kembali dengan suku ayat yang sebelumnya, ialah bahwa loba serakah kepada harta benda, menyebabkan kesempatan yang seluas-iuasnya akan berbuat segala macam kedurhakaan ; segala macam keja­hatan , yang diakhiri dengan segala macam kemesuman hubungan laki-laki dengan perempuan , yang menyebabkan kacaunya kehidupan dan keturunan. Semua termasuk mengikuti langkah-langkah syaitan-syaitan.
Dan ujung ayat menerangkan lagi:
وَ أَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
"Dan supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui."(ujung ayat 169)
Sampai ke sanalah syaitan akan membawa larat. Asalnya ialah karena tidak menjaga diri dalam hal makan, dalam hal syahwat perut. Akhirnya berlarut-Iarut menjadi kafir. Ketika telah gagal, karena tentu satu waktu akan gagal, maka keluarlah perkataan terhadap Allah dengan tidak berketentuan, sehingga ada yang mengatakan Allah tidak adil. Dan kalau orang telah kaya-raya karena harta tidak halal, lalu ada orang yang memberikan nasihat, namun karena petunjuk syaitan, dia akan berkata pula tentang Allah: "Apa Allah ! Apa agama ! Mana dia Tuhan itu belum pernah aku melihatnya, aku tidak percaya bahwa Dia ada."
Syaitan masuk ke dalam segala pintu menuruf tingkat orang yang di­masuki. Dan kebanyakannya ialah karena mencari makanan pengisi perut. Paling akhir syaitan berusaha supaya orang mengatakan terhadap Allah apa yang tidak mereka ketahui. Kalau orang yang dia sesatkan sampai tidak mengakui lagi adanya Allah, karena telah mabuk dengan maksiat maka syaitan­pun dapat menyelundup ke dalam suasana keagamaan, sehingga lama kelamaan bukan dari Allah. Mengatakan agama, padahal bukan agama. Lama lama orangpun telah merasa itulah dia agama. Asalnya soal makanan juga.
Satu misal; baru saja seorang mati, orang di dalam rumah keluarganya telah repot. Bukan repot hendak segera menguburkan si mati; tetapi berbelanja ke pasar, membeli sayur-mayur, membeli lada garam, mencari kambing yang agak besar, bahkan kadang-kadang lembu atau kerbau untuk makan besar. Kata guru yang ada di kampung itu wajiblah si mati itu sebelum diangkat ke kubur - didoakan terlebih dahulu, agar selamat dia berpulang ke akhiraL Untuk berdoa mereka itu makan besar! Kadang-kadang makan besar sebelum berangkat, atau makan besar pulang dari kubur.
Apakah ini dari agama?
Terang-terang Hadits menerangkan bahwa perbuatan ini adalah haram, sama dengan meratap. Tetapi kalau di kampung itu juga ada orang kematian .tidak mengadakan jamuan makan besar itu dituduhlah dia menyalahi peraturan agama. Dikatakan bahwa arang yang telah mati itu tidak diselamatkan, sebagai mati anjing saja.
Kemudian tidaklah putus makan-makan itu di hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, hari memarit (menembok) kubur, hari keempatpuluh setelah matinya, hari keseratus dan penutup hari yang keseribu.
Dan ketika jenazah masih terbujur tadi juga, seketika orang di dekat jenazah orang memperkatakan beberapa tahun si mati meninggalkan shalat: Shalat yang dia tinggalkan selama hidup itu bisa dibayar fidyahnya kepadi "pengurus-pengurus agama" yang hadir ketika itu. Kadang-kadang terjadi tawar-menawar.
Sejak bila mereka menerima perwakilan Allah buat menerima beras yang dinamai fidyah itu ? Padaha! tidaklah masuk akal bahwa shalat sebagai tiang aqama dapat dibayar dengan beras, dengan tawar-menawar. Bukan saja tidak masuk akal, tetapi tidak ada sama sekali dalam syara'. Demikian pintarnya syaitan, sehingga kalau ada orang yang berani menegur, mereka yang menegur itulah yang akan dituduh kaum muda yang mengubah-ubah agama dan mem­bongkar-bongkar masalah khilafiyah.
Belum cukup hingga itu saja:seketika jenazah itu telah diantarkan ber­sama-sama ke kubur, orang membaca salawat atau bacaan-bacaan yang lain dengan suara keras mengiringi jenazah itu , di hadapan terbanglah payung, di samping itu ada pula pedupaan yang asap kemenyan menjulang ke langit. Padahal semuanya itu bukan agama. Tetapi siapa yang menegur akan disalah­kan mengubah-ngubah agama.
Belum cukup hingga itu saja, sesampai di kubur terjadilah apa yang dinamai talqin mayat. Tentang talqin itu sendiri memang ada khilafiyahnya. Tetapi di beberapa tempat telah membawa bahaya besar jika hal itu dibuka-buka. Sebab ada orang yang mengharapkan makan dan pakaian dari talqin itu. Di dekat kuburan setelah kubur itu ditimbun dibentangkanlafi kasur kecil, beralaskan tikar indah. Di situ duduk tukang membaca taiqin clan membacakannya dengan suara yang merdu:
Disediakan pula satu cerek yang mahal untuk penyiram kubur kelaknya, dan disediakan pula sehelai kain sarung untuk dipakai tukang talqin seketika membacakannya. Sehabis upacara talqin itu semua barang tadi adalah untuk si pembaca talqin. Dan atas rayuan syaitan orang berkeras mengatakan bahwa itu adalah agama  Siapa yang tidak mengatakan dari agama , dia akan dituduh memecah persatuan ! .
Bukan itu saja. Bahkan pada kubur-kubur orang yang dianggap keramat, kubur ulama atau kuburan keturunan Saiyid yang tertentu diadakan haul sekali setahun; makan besar di sana sambil membaca berbagai bacaan. Rakyat yang awam dikerahkan menyediakan makanan , bergotong-royong menyediakan segala perbekalan. Kalau kita katakan ini bukanlah agama, ini adalah me­nambah-nambah dan mengatakan atas Allah barang yang tidak diketahui , maka kitalah yang akan dituduh merusak agama .
Bukan itu saja. malahan ada orang yang digajikan buat membaca Surat Yasin di satu kubur tiap-tiap pagi hari Jum'at. Kalau kita katakan bahwa ini bukan agama, akan mendapatlah kita tuduhan merusak agama­
Inilah beberapa contoh kita kemukakan bahwa penambahan terhadap agama, yang kadang-kadang dimasukkan oleh syaitan kerapkali rapat hubung­annya dengan soal makan ! .
Penulis"Tafsir" ini pernah berpengalaman; pada satu kota besar di Indo­nesia ini meninggal dunia seorang sahabat penulis. Maka pergilah saya ta'ziah dan akan mengiringkan jenazah bersama-sama ke kuburan. Ketika akan menyembahyangkan mayat, sayapun segera mengambil wudhu' hendak turut menyembahyangkan. Tiba-tiba tangan saya ditarik oleh seorang teman seraya katanya: "Saudara tak usah ikut menyembahyangkan. Karena sudah disedia­kan orang-orang yang akan menyembahyangkan."
Kemudian fahamlah saya bahwa teman !tu memandang tidak layak saya turut menyembahyangkan. Sebab sudah teradat bahwa yang menyembah­yangkan itu kelak akan diberi sedekah kain, uang, beras dan lain lain.  
Hal-hal yang diterangkan di atas adalah nasib dari orang yang telah mem­perturutkan langkah-langkah syaitan yang asalnya daripada makanan, sehingga agamapun telah dikorupsikan.
Tetapi ada lagi orang yang telah dipengaruhi syaitan dalam lain bentuk, yaitu dirayu syaitan supaya tetap memegang pendirian yang salah. Ini terdapat pada lanjutan ayat:
(170) Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutlah apa yang ditu­runkan Allah! Mereka katakan: Bahkan kami (hanya) mau me­ngikut apa yang telah terbiasa atasnya nenek-moyang kami. Bagaimana kalau keadaan nenek-moyang mereka itu tidak mengerti suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk ?
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image012.jpg 
وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutlah apa yang diturunkan Allah." (pangkal ayat 170).
Yaitu supaya kamu tujukan hidupmu kepada satu tujuan saja, yaitu taat dan patuh kepada Allah, mengerjakan apa yang di­perintahkan dan menghentikan apa yang dilarang. Janganlah kamu mengikuti - langkah-langkah syaitan. Janganlah kamu mencari tandingan-tandingan yang lain lagi bagi Allah. Janganlah kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang kamu tidak tahu.
Tetapi apa jawaban mereka terhadap ajakan yang demikian? Karena perdayaan syaitan juga:
قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
"Mereka berkata: Bahkan kami (hanya) mau mengikut apa yang telah terbiasa atasnya nenek-moyang kami."
Benar ataupun salah, adafah nenek-moyang kami. Kami akan mempertahankan pusaka me­reka, yang tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Jawab begini menunjukkan bahwa fikiran tidak berjalan beres lagi, atau berkeras memper­tahankan adat lama pusaka usang.
Bukan akal lagi yang berkuasa, melainkan hawa nafsu. Maka timbul pertanyaan Tuhan, untuk dibalikkan kepada mereka:
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُوْنَ
"Bagaimanakah kalau keadaan nenek-moyang mereka itu tidak mengerti suatu apa dan tidak mendapat petunjuk2" (ujung ayat 170).
Lantaran nenek-moyang tidak mengerti suatu apa, maka pusaka yang mereka tinggalkanpun tidak berarti suatu apa. Fikiran yang sihat dan akal yang masih tetap berjalan , niscaya pasti akan meninjau kembali pusaka nenek moyang itu. Mana yang buruk atau ditolak oleh akal. Barulah berhenti pe­nolakan itu kalau aka! telah diberhentikan bekerja: Artinya kalau si anak-cucu itu membodoh. Kalau akal itu bekerja, niscaya dia akan bertanya: "Mengapa nenek-moyang ini menyembah berhala patung-patung dari kayu dan batu ? Adakah benar-benar dapat berhala itu menolong? Padahai dialah yang dijagai, bukan dia yang menjaga. Dialah yang diperbuat oleh manusia, bukan dia yang membuat manusia. Dan akalpun akan berfikir apakah sikap nenek-moyang yang seperti ini atas petunjuk dari Tuhan? Mungkinkah Tuhan akan me­ngajarkan ajaran yang sesat kepada mereka ?
Anak-cucu yang hanya turut-turutan bertahan pada pusaka nenek-moyang yang sa!ah. Sebab itu merekapun menjadi serba-salah , apatah lagi tidak pula suka tunduk kepada kebenaran. Karena pengaruh syaitan telah masuk. Me­reka menjadi membeku dan membatu:
 (171) Dan perumpamaan orang-orang yang tidak mau percaya itu ialah seumpama orang yang menghimbau kepada barang yang tidak mendengar kecuali panggilan dan seruan; tuli, bisu, buta. Oleh sebab itu tidaklah mereka ber­akal.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image014.jpg 

http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_168_171_files/image016.jpgوَ مَثَلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا كَمَثَلِ الَّذِيْ يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَع
"Dan perumpamaan orang-orang yang tidak mau percaya itu ialah se­umpama orang yang menghimbau kepada barang yang tidak mendengar.” *  Yakni: Binatang.
 (pangkal ayat 17I).
Meskipun ada nafas dalam diri mereka, meskipun mereka hidup, tetapi karena alat penerima tidak ada di dalam, segala seruan tidak mendapat sambutan:
ُ إِلاَّ دُعَاءً وَ نِدَا
"kecuali panggilan dan seruan ".
Artinya, paraulah suara memangqil, koyaklah mulut . menghimbau, tidaklah akan mereka perdulikan Sebab mereka telah "tuli, bisu, buta." Mereka menjadi tuli walaupun telinga mendengar, dan bisu walaupun mulut bisa bercakap, dan buta walaupun mata mereka bisa melihat. Mereka menjadi tuli, bisu dan buta, karena jiwa merekalah yang sebenarnya tuli, bisu dan buta; kelam yang di dalam;
ٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْن
"Oleh sebab itu tidaklah mereka berakal." (ujung ayat 171).
Dimisalkan di sini laksana orang yang menghimbau, ialah bila gembala mengembalakan binatang-binatang ternaknya. Kerja binatang-binatang itu ha­nya makan, memamah biak. Sedang memakan rumput mulutnya mengunyah, walaupun tidak sedang memakan rumput, namun mulutnya mengunyah juga. Walaupun dia dihalau ke mana saja, tidaklah dia perduli. Yang penting baginya iaiah mengunyah. Mudharat atau mantaat tidak ada dalam perhitungan mereka,
Sebab mereka telah terbiasa digembala orang. Walaupun sudah datang waktu buat meninggalkan tempat itu, mereka tidak akan berganjak kalau tidak dihalau.
Maka orang-orang yang menjadi pak Turut, atau yang disebut Muqallid samalah dengan binatang di padang pengembalaan itu. Tidak ada kegiatan dari diri mereka sendiri. Tidak ada yang diharapkan daripada pendengaran, atau suara atau penglihatan mereka. Matanya tidak bersinar selain dari sinar ke­bodohan, sinar yang kosong dari isi. Ingatlah lembu yang telah dihalau ke pembantaian akan dipotong.
Walaupun telah bergelimpangan bangkai teman­nya karena disembelih, namun yang masih tinggal sepak-menyepak dan tan­duk-menanduk juga sesama mereka. Karena tidak mereka ketahui bahwa yang mereka hadapi adalah penyembelih mereka juga. Mereka tidak sempat berfikir bahwa giliran akan tiba juga pada mereka.
Apabila diperhatikan susunan ayat, dapatlah kita maklumi bahwa ke­hendak Tuhan hendaklah kita beragama dengan mempergunakan akal sendiri. Sejak dari memikirkan alam, semua langit dan bumi, peredaran siang dan malam, kapal berlayar di lautan membawa yang manfaat bagi manusia, dan seterusnya sebagai yang tersebut dalam ayat 164 di afas; kita selalu disuruh mempergunakan akal.
Dengan demikian daerah akal diperluas dan dia dilatih berfikir yang mendafam. Kemudian tentang memilih pendirian hidup, hendak­Iah diteruskan penggunaan fikiran itu. Bukanlah setiap yang didengar atau diterima dari nenek-moyang langsung dilulur saja. Orang yang telah sanggup berfikir tentang alam, janganlah sampai menjadi pak Turut dalam soal-soal kepercayaan dan pendirian.
(172) Wahai orang-orang yang ber­iman! Makanlah daripada yang baik-baik apa yang telah Kami karuniakan  kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika­lau memang hanya kepadaNya kamu menyembah.
5oa1 Makanan
Kalau telah ada seruan kepada seluruh manusia agar memakan makanan yang halal dan baik, niscaya kepada kaum yang beriman perintah ini lebih ditekankan lagi. Karena sebagai telah dijelaskan dahulu makanan sangatlah berpengaruh kepada jiwa dan sikap hidup. Makanan menentukan juga kepada kehalusan atau kekasaran budi seseorang. Oleh sebab itu datanglah ayat: .
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
" Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah daripada yang baik-baik; apa yang telah Kami karuniakan kepada kamu." (pangkal ayat 172)
Makanan yang baik-baik itu senantiasa disediakan oleh Tuhan asal kamu suka meng-. usahakannya. Buah-buahan Iengkap tumbuh, binatang-binatang ternakpun demikian pula. Asal kamu berusaha mencari dan memilih mana yang baik-baik itu, pastilah kamu tidak akan kekurangan makanan.
وَ اشْكُرُوْا ِللهِ
"Dan bersyukurlah ke­pada Allah. "
Karena segala sesuatunya telah lengkap Dia sediakan buat kamu. Dan menurut penyelidikari ahli-ahli gizi , berbagai makatan itu mengandung beberapa macam vitamin zat putih telur, zat besi , zat asam , kalori dan hormon dan sebagainya, yang semuanya itu akan memperkuat tubuh manusia. Sebab itu bersyukurlah kepada Allah,
إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
"jikalau memang hanya kepadaNya kamu menyembah."(ujungayat 172).
Memang sudahlah patut kita mengerti, bahwa tidak ada selain Allah yang telah menyediakan makanan yang baik itu buat kita. Dan terasalah dalam agar ini bahwasanya kita boleh makan asal yang baik. Dan kita makan dengan bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan yang memberi kita makan.
Sebab itu memang hanya kepadaNya kita menyembah. Makannya orang yang beriman bukanlah semata-mata soal petut berisi. Tetapi makan buat menguatkan badan, yang dengan badan kuat dan sihat itu, pikiranpun terbuka dan syukur kepada Tuhan bertambah mendalam.
Dan dengan ayat inipun nyata bahwa soal makanan dalam Islam tidaklah dilarang-larang. Dalam agama zaman dahulu ataupun sampai sekarang dengan pimpinan ketua-ketua agama kadang-kadang peribadatan kepada Tuhan di sangkut-sangkutkan dengan berbagai pantang makanan. Mesti memperbanyak lapar, menghentikan makan ini dan makan itu. Melarang makan daging dan sebagainya. Dengan maksud agar tubuh menjadi lemah. Dengan kelemahan tubuh, kata mereka, jiwa akan mendapat kekuatannya.
Kadang-kadang bukan saja daging, malahan segala yang bernyawa tidak boleh dibunuh apa lagi dimakan dagingnya. Kalau demikian halnya niscaya kegiatan buat hidup men­jadi kendur, karena hanya mementingkan rohani, lalu jasmani tempat berdiam­nya rohani itu menjadi lemah. Maka di dalam peraturan yang dituntunkan kepada orang yang beriman ini disuruh memakan makanan yang baik-baik, yang sesuai untuk menyihatkan jiwa dan badan. Dengan makanan yang teratur dan tidak banyak pantang dan larangan itu dapatlah Iebih bersyukur me­nyembah kepada Tuhan. Sehingga Nabi s.a.w. mengajarkan memulai makan dengan m'embaca Bismillah dan sehabis makan mensyukurinya dengan ucapan:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_172_176_files/image004.jpg
"Segala pujian untuk AlIah yang telah memberikan makan dan minum dan menjadikan daku salah seorang yang berserah diri kepadaNya."
Tentu ada juga yang dilararig, yaitu makanan yang tidak termasuk baik. Sebab makanan yang tidak baik akan merusakkan kesihatan dan merusakkan juga bagi budi. Orang yang beriman tentu makanannya teratur. Sebab itu pula ayat selanjutnya diterangkanlah makanan yang tidak baik itu.
Menurut penafsiran daripada Said bin Jubair, yang dimaksud dengan sabda, Tuhan: "Makanlah yang baik-baik apa yang Kami rezekkan kepada kamu," ialah dari yang halal. Menurut riwayat Ibnu Jarir dari ad-Dhahhak, ialah rezeki yang halal. Menurut penafsiran dari Umar bin Abdul Aziz, yang di­maksud oleh ayat ini ialah segala macam usaha yang halal, bukan semata-mata makanan saja.
Sebab segala usaha pada hakikatnya ialah mencari makari:
Tersebut dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim, Termidzi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim:
"Dari Abu Hurairah, berkata dia, berkata Rasulullah s.a.w.: Sesungguhnya Tuhan Allah itu adalah baik , dan Diapun tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Tuhan Allah memerintahkan kaum Mu’minin sebagaimana Dia memerintah kepada Rasul-rasul jua. Maka bersabda­lah Tuhan: Wahai sekalian Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan amalkanlah yang shalih , sesungguhnya Aku atas yang kamu amalkan adalah me­ngetahui."(al-Mu'min: 51). Dan sabda Tuhan pula : Wahai orang-orang yang beriman makanlah olehmu daripada yang baik-baik apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu." Kemudian itu Rasulullah mengingatkan dari hal seorang laki-laki yang telah musafir berlarat-larat, kusut-masai badannya,Selalu menadahkan tangannya ke langit (menyeru): Ya Tuhan, ya Tuhariku! Padahal yang dimakannya makanan yang haram, yang diminumnya minuman haram, pakaiannya pakaian haram, dan disuburkan badannya dengan yang haram. Maka bagaimanalah akan dapat diperkenankan apa yang dimohonkannya itu."
Hadits ini memperkuat beberapa keterangan yang telah kita berikan di atas tadi Sampai Rasulullah berpesan kepada Sa’adbin Abu Waqas, kalau dia ingin doanya makbul di sisi Tuhan, hendaklah dia menjaga makanannya, jangan sampai termakan yang haram.
Bahkan beberapa orang ulama ahli kerohanian Mengatakan , berkat pengalaman mereka, bahwasanya makanan itupun ber­pengaruh kepada mimpi. Untuk menghindarkan mimpi-mimpi yang buruk, dan supaya beroleh mimpi yang benar (Ru'yatun Shadiqatun), hendaklah jaga makanan. Perut yang penuh dengan makanan haram, akan mempengaruhi jiwa dan menyebabkan selalu berjumpa mimpi yang buruk. Dan Hadits inipun memberi petunjuk kepada kita untuk menyelidiki sendiri kalau banyak doa kita tidak mustajab di sisi Tuhan- Periksalah di mana salah kita, akan pekerjaan kita, adakah kita berusaha di dalam hidup ini hanya sekedar perut akan berisi. Bagaimana orang yang kotor batinnya akan dapat bersih doanya ? .
Perhatikanlah hal ini. Mula-mula pada ayat yang di alas tadi, kita bertemu seruan Tuhan kepada seluruh manusia, baik yang memeluk Islam atau bukari, supaya memakan rezeki yang halal dan yang baik. Karena kelancangan berbuat dusta dan kecurangan, lain tidak adalah karena perintah perut ! Setelah itu dijadikan seruan utama kepada orang-orang yang beriman sendiri, agar iman mereka terpelihara. Kemudian bukan saja kepada orang yang beriman, bahkan kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, diserukan pula supaya mereka makan dari yang halal. Karena dengan makan dari harta yang halal itu, akan sucilah hati dan dapatlah mengamalkan amal yang saleh:  -
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَ الدَّمَ وَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْم
(173) Sesungguhnya tidak ada yang Dia haramkan atas kamu selain bangkai dan darah dan daging babi dan apa yang disembelih untuk yang selain Allah. Tetapi barangsiapa yang terpaksa, bu­kan melanggar dan bukan me­lampaui batas, maka tidaklah ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Makanan Yang Haram,
Kemudian daripada itu datanglah ayat yang selanjutnya menerangkan apa apa makanan yang haram, yang tidak ada lagi selisih padanya
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَ الدَّمَ وَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
"Sesungguhnya tidak ada yang Dia haramkan atas kamu, selain bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih untuk yang selain Allah, " (pangkal ayat 173).
Bangkai ialah sekalian binatang bernyawa yang mati karena tidak di­sembelih. Entah mati karena terjatuh, entah mati karena terjepit, entah mati karena berlaga, atau mati karena sakit. Darah ialah sekalian macam darah, walaupun darah binatang yang mati karena disembelih. Daging babi, sudahlah sama kita maklumi , yaitu seluruh yang dapat dimakan daripada tubuh babi, baik dagingnya atau lemaknya, ataupun tulangnya yang dicencang bersama daging­nya. Baikpun babi liar (celeng), ataupun daging babi yang jinak dipelihara. Menurut keterangan ahli tafsir al-Qurthubi, adalah ijma (sefaham) di antara ulama bahwa seluruh babi haram, kecuali bulunya. Sebab bulu itu tidaklah dimakan orang.
Akal murnipun dapatlah menerima bahwa bangkai memang keji dan jijik. Sekarang datang agama memberitahukan bahwa dia tidak baik dimakan. Tentang bangkai binatang; memang ahli-ahli kesihatan sangat menyuruh kita hati-hati tentangnya. Sebab penyakit yang membawanya mati mungkin me­nular. Meminuni darah atau memakan darah yang telah dibekukan, digulai atau digoreng adalah kebiasaan orang yang belum maju dalam cara makan; masih seperti manusia yang hidup di gua batu di zaman purba.
Daging babipun patutlah juga diharamkan bila mengingat bahwa di antara segala binatang, babilah yang paling kotor dan najis , sehingga bekas dari makahan kotor itulah yang mempergemuk badannya, dan tidaklah patut jika badan kita sendiri dipergemuk pula dengan itu. Di dalam badan babi itulah bisa berjangkit cacing pita yang terkenal. Dan menurut keterangan ahli, daging babipun menyebab­kan meningkatnya syahwat, yang akan menyusahkan pengendalian diri. Ada­pun larangan terhadap binatang-binatang yang disembelih untuk berhala, atau atas nama berhala, atau untuk pujaan bagi berhala, dilarang, adalah semata ­mata menjaga kemurnian Tauhid. Sebab itu maka sifatnya semata-mata ke­agamaan.
Pernah seorang pemuda zaman moden bertanya kepada penulis, mengapa daging babi diharamkan, padahal daging babi itu enak sekali. Ada orang berfatwa, kata pemuda itu, daging babi diharamkan karena dia terlalu suka makan yang kotor dan makan najis manusia. Dia berkata: "Ayampun suka makan najis manusia. Mengapa ayam tidak diharamkan? Ikan dalam tebatpun dibesarkan dengan najis manusia, mengapa ikan tidak diharamkan?" Demikian dia bertanya: Dan katanya pula: "Kata orang babi diharamkan oleh Islam sebab di tubuhnya ada semacam cacing, yang baru bisa mati setelah dimasak daging itu sekian derajat panasnya, sepuluh kali lipat dari pahas biasa. Bagaimana kalau kita masak dia dengan panas yang demikian? Niscaya sudah masak dagingnya dan sudah mati cacingnya, maka hilanglah serba haramnya."
Kepada redaksi Gema Islam di Jakarta pernah datang pertanyaan, apa sebab Nabi Muhammad mengharamkan daging babi, sebab daging babi itu terlalu enak ? Apa benarkah Nabi Muhammad itu suka sekali memakan daging babi, sehingga kalau bertemu sahabat-sahabatnya , beliau selalu minta disajikan daging babi ? Dan pada satu ketika beliau minta diberi daging babi, orang tidak mau menyediakan, lalu beliau marah, sampai beliau haramkan? Karena demi­kian menurut keterangan seorang guru SMP di tempat kami dan guru itu memeluk agama Kristen .
Sebenarnya kalau pangkalan berfikir kita masih di atas iman, kalau Allah telah menentukan bahwa daging babi haram dimakan, kitapun menerimanya dengan penuh kepercayaan , dan tidak akan mencari lagi sebab-sebab dia diharamkan. Jika kita mencari sebab-sebab dia diharamkan bukanlah karena hendak merubah hukum yang telah nyata, tetapi untuk menguatkan hukum tadi. Kaum Adventist, salah satu sekte Kristenpun berpendirian bahwa daging babi haram dimakan , persis sebagai faham orang Islam. Merekapun me­ngemukakan hanya dalil-dalil kesihatan yang mereka tulis dalam sebuah buku propaganda agama mereka yang bernama Buku Kesihatan.
Adapun keterangan guru SMP yang dinyatakan orang kepada redaksi Gema Islam itu adalah suatu propaganda agama yang sangat murah dan curang , yang tidak ada dasarnya samasekali. Memang dalam mempropagandakan agama mereka, kerapkali mereka tidak berkeberatan memakai juga kata-kata yang bohong. Padahal kalau kita hendak bersikap jujur, orang harus mengakui bahwa kotor dan kejinya ,daging babi itu telah dijelaskan sejak Nabi Musa a.s. Sebab itu maka orang Yahudipun mengharamkan daging babi. Di dalam Perjanjian Lama " Kitab Imamat Orang Levi ",
Fasal 11, ayat 7-8 ada tertulis demikian:
"Dan lagi babi, karena sesungguhnya kukunya terbelah dua, iaitu bersi­ratan kukunya, tetapi tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu (7). "Janganlah kamu makan daripada dagingnya dan jangan pula kamu men­jamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu." (8).
Maka orang Kristen sekte Adventist yang ingin kembali kepada asli hukum Taurat tentang peraturan makanan memegang teguhlah akan peraturan ini. Dan Nabi Isa Almasih a.s. menegaskan bahwa satu noktahpun daripada Taurat tidak hendak beliau robah. (Matius Fasal 5; ayat 18).
Tentang kekejian babi berkali-kali Nabi Isa Almasih mengambilnya jadi perumpamaan, malahan dua orangyang dirasuk syaitan di Gadara, syaitan-­syaitan yang merasuknya itu telah diusir oleh Nabi Isa dari dalam tubuh orang itu dan disuruh masuk ke dalam tubuh babi, dan setelah syaitan-syaitan itu masuk ke dalam tubuh babi itu, berlompatanlah babi itu dari tempat curam masuk ke dalam tasik dan habis mati semua di sana. /* Bacalah Matius Fasal 8, ayat 30 sampai 32: Lukas, Fasal 8, ayat 32-33; Markus, Fasal 5, ayat 1I sampai 14./*
Dengan demikian payahlah untuk mencari tafsir yang lain, bahwa Nabi Isa atau ajaran agama beliau yang asli membolehkan makan babi yang keji itu. Yaitu babi tempat menghalau syaitan itu. Dengan ini pula teranglah tidak jujurnya mereka yang mengatakan bahwa hanya Islam yang mengharamkan daging babi. Cuma babi masih dimakan oleh orang Kristen setelah agama ini dipeluk oleh orang Romawi, karena memang banyak hukum Taurat yang didinginkan saja oleh pembawanya ke Romawi, sebab orang Romawi memang tidak suka menjalankannya, di antaranya bersunat.
"Tetapi barangsiapa yang terpaksa bukan melanggar dan bukan melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya."
Terpaksa karena tidak ada lagi makanan yang lain, sehingga kalau tidak dimakan akan membawa kematian, pada waktu itu diadakanlah rukhshah yaitu keizinan memakan yang terlarang itu. Yaitu semata-mata karena mempertahankan nyawa. Malahan kalau tidak dimakan sehingga membawa kematian karena lapar, dihukumlah oleh agama sebagai orang yang menyia-nyiakan nyawa. Dan lagi tidak melampaui batas. Artinya kalau sudah hilang lapar segeralah hentikan dan jangan dimakan lagi.
"Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun" atas orang yang terpaksa karena itu lalu memakannya, dan
"Maha Penyayang."(ujung ayat 173). Karena sayang kepada hambaNya tidak suka Allah, hambaNya itu mati kelaparan padahal jalan buat mempertahankan hidup masih ada.
Di sini kita mendapat pedoman bahwasanya sekeras-keras hukum, namun pengecualian mesti ada. Tidak suatu diri diberati memikul beban yang tidak kuat jiwanya memikulnya. Dan menjadi haram pulalah hukumnya menjatuh kan diri ke dalam kebinasaan. Bahkan wajiblah mempertahankan hidup dengan segenap usaha. Itulah sebabnya maka diadakan azimah yaitu kekuatan wibawa hukum, tetapi di samping itu diadakan pula rukhshah, pengecualian atau dispensasi.
Adapun bagaimana batas-batas di antara azimah dan rukhshah, apabila masanya diperbolehkan rukhshah, meskipun banyak juga menjadi pembicara­an di kalangan ulama Fiqh, oleh karena sejak beberapa ayat yang sebelumnya kita sudah dididik memperguna kan akal , dan memperhalus perasaan dengan mengingat bahwa Allah Pengampun dan Penyayang, terserahlah kepada diri kita, iman di mana batas-batasnya itu. Sebab yang dipanggil di sini nyatalah orang yang beriman! Niscaya orang yang beriman itu halus perasaannya dan dapat merasakan mana yang diredhai Tuhan dan mana yang dicelaNya.
Menyembunyikan Kebenaran
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dari Kitab, dan mereka jual dia dengan hargayang sedikit, itulah mereka yang tidak ada yang dimakannya di dalam perutnya selain dari api neraka." (pangkal ayat 174).
Kalau dari hal makanan yang halal dan yang baik telah dianjurkan kepada seluruh manusia dan makanan yang baik-baik telah disuruh makan kepada orang-orang beriman, dan supaya mereka iringi dengan syukur kepada Allah, maka dalam ayat ini diperingatkan lagi satu macam penghasilan yang akan dimakan yang terlalu jahat. Yaitu sengaja menyembunyikan kebena­ran Kitab atau memutar-mutar artinya kepada yang lain karena mengharapkan harga yang sedikit. Maka harga usaha mereka memutar-mutar isi Kitab yang bolefi dikatakan telah menjadi mata pencarian untuk makan baginya, adalah sebagai menyalakan api neraka dalam perutnya.
Meskipun Asbabun Nuzul niscaya pendeta-pendeta Yahudi di Madinah yang sengaja memutar arti ayat Kitab, yaitu Taurat, yang mencoba menyem­bunyikan isiTaurat karena isi itu menjelaskan kenabian Nabi Muhammad s-a.w. namun kita berpeganglah kepada pokok pendirian ulama Ushul Fiqh yang­terkenal:
"Yang meniadi  perhatian adalah umum tujuan kata , bukan khusus sebab ferjadinya."
Dalam segala agama dan segala masa, ada saja orang yang amat pintar, sampai dapat disebut sarjana dalam hukum-hukum agama. Tetapi karena ilmunya itu tidak diikat oleh iman, mudah saja baginya memutar-mutar atau menyembunyikan maksud ayat atau suruhan atau larangan untuk menenggang kemauan orang yang diseganinya atau untuk memperkuat pengaruh. 
Imam  Ghazali  banyak sekali menyebut tentang ulama-ulama yang datang mengambil muka kepada orang-orang yang berkuasa , dan mudah sajalah baginya kelak menyembunyikan hukum yang sebenarnya karena mencari kedudukan atau karena takut. Untuk itu mereka dibayar. Kadang-kadang dengan diberi gelar yang indah-indah bunyinya , ataupun pangkat , ataupun ke­besaran, ataupun uang emas berpundi-pundi. Maka terpujilah dia oleh orang-­orang yang berkuasa, dikatakan ulama yang pandai menyesuaikan diri, yang maju fikirannya, yang tidak terikat oleh suatu ketentuan dan sebagainya. Dia­pun bersenang-hatilah, padahal agamanya telah terjual.
Khabarnya konon adalah orang menegur ulama yang demikian dalam suatu negeri. Lalu dengan enaknya dia menjawab:
"Di dalam al-Quran hanya tersebut larangan menjual dengan harga yang sedikit. Kalau telah dijual dengan harga yang banyak, tentu tidak terlarang lagi."
Alangkah besar pengaruh syaitan atas dirinya, sehingga sampai hati dia berbicara demikian. Padahal berapapun terjual agama itu, selama masih di dunia ini juga, tetaplah sedikit harga itu. Sebab segala macam yang bernama benda, walaupun bumi seisinya, tidaklah dapat mengganti kerugian iman yang telah kosong dari dalam hati. Isi perut orang yang menyembunyikan kebenaran itu ialah api neraka yang akan membakar dirinya sendiri. Kalau dalam hati sanubarinya masih ada sisa-sisa iman, dia akan menyesal terus-menerus karena kejahatan perbuatannya. Dan kalau perasaan itu sudah tidak ada lagi karena memang telah digantinya dengan kebendaan emas perak atau pangkat, namanya telah pupus dari da(tar hamba Allah yang setia memegang amanat. Dengan tidak disadarinya dia telah jauh dari garis yang ditempuh oleh Rasul dan orang-orang ikhlas.
Segala harga yang diambil untuk menjual kebenaran adalah sedikit, walau­pun tertimbun emas sebesar gunung. Sebab ada sesuatu yang hilang dan tidak dapat diganti lagi. Itu sebabnya maka setiap penjual kebenaran payah menentang mata orang yang bersikap jujur. Kegagahan sikapnya hanya untuk me­nyembunyikan kelemahan batinnya. Meskipun penjual kebenaran kelihatan senang hidupnya , berumah rancak , bermobil baqus, dipuja-puja, walaupun sampai matinya dia dalam keadaan yang demikian, masih itu sedikit dan sangat pendek. Sebab dia kehilangan suatu kekayaah yang tidak tepermanai, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman jiwa dan nikmat akhirat. Berapalah lama dunia dibanding dengan akhirat ? Berapalah banyaknya harga di dunia jika akhimya hanya tiga lapis kafan ?
إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ الْكِتَابِ وَ يَشْتَرُوْنَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
(174) Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang di-turunkan Allah dari Kitab, dan mereka jual dia dengan harga yang sedikit, itulah mereka yang tidak ada yang dimakannya dalam perutnya selain dari api neraka. Dan tidaklah akan ber­cakap Allah dengan mereka di hari kiamat, dan tidaklah Dia akan membersihkan mereka, dan untuk mereka adalah azab yang pedih.
"Dan tidaklah akan bercakap Allah dengan mereka di hari kiamat, dan tidaklah Dia akan membersihkan mereka, dan untuk mereka-adalah azab yang pedih." (ujung ayat 174).
Hidup didunia hanya sebentar dengan keuntungan yang hanya sedikit. Hari akhirat mesti datang. Semasa di dunia , karena ingin "dipandarg orang," kebenaran telah disembunyi kan. Maut datang, akhirat menanti. Maka Tuhan Allah "tidak memandang" kepada mereka, sebagai ungkapan bahasa "tidak  dipandang sebelah mata." Apalagi harga diri kalau Allah tidak berkenan memandang ? Sedangkan di dunia ini saja di mana-mana orang menonjolkan diri agar dapat dipandang oleh orang yang disegani. Merasa sangat hiba hati jika beliau tidak berkenan memandang.
Sedangkan ketika bersalam dengan orang besar-besar, kecil rasanya diri kalau sedang bersalam itu beliau melihat ke tempat lain; bagaimana kalau di akhirat Tuhan tidak mau memandang? Belum masuk neraka sudah mendapat hukum yang getir.
"Dan tidaklah Dia akan membersihkan mereka , "
dengan memberikan ampunan. Sebagai di dunia inipun dapat dirasakan; seorang yang dituduh melakukan kesalahan, kemudian ternyata bahwa kesalahannya tidak terang. Dia tidak dihadapkan ke muka pengadilan. Ketika dia dibebaskan dari tuntutan karena tidak bersalah itu, namanya dibersihkan dari segala tuduhan. Dia direhabilitasi. Pembersihan yang demikian tidak akan berlaku di akhirat terhadap si penjual atau si penyembunyi­kan kebenaran.
" Dan untuk mereka adalah azab yang pedih. "(ujung ayat 174).
Sebab kesalahannya amat besar, ialah:
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى وَ الْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَآ أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
(175) Itulah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan pe­tunjuk, clan azab dengan ampunan. Alangkah sabarnya mereka atas neraka
"Itulah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk. (pangkal ayat 175).
Selama ini dia hidup dalam petunjuk; yang halal tetap halal, yang haram tetap haram, lalu syaitan memperdayakannya; "kalau engkau lurus-lurus saja, hidupmu itu tidak akan berubah! Lihatlah orang lain yang pandai menyesuaikan diri , hidupnya sudah senang sekarang." Lantaran perda­yaan demikian berusahalah dia memutar balik kebenaran. Maksudnya berhasil , hidup duniawinya senang, tetapi telah memilih jalan kesesatan. Padahal dahulu hidupnya sederhana, tetapi jiwanya tenteram, sebab dia hidup dalam petunjuk. "Dan azab dengan ampunah." Ampunan atas kealpaan berdikit-dikit tetapi di dalam tujuan yang mulia, yakni mempertahankan kebenaran, telah mereka tinggalkan. Sekarang yang mereka pilih adalah azab, siksa, siksaan batin dalam dunia, azab neraka di akhirat  Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat.
"Alangkah sabarnya mereka atas neraka!" (ujung ayat 175).
Sabar ataupun tidak sabar, namun mereka akan menjadi ahli neraka. Tetapi di sini Tuhan memakai suatu ungkapan yang tinggi, yang kalau kita tafsirkan ke dalam bahasa kita, dapat didekati dengan susunan: "Alangkah sampai hatinya dia melemparkan kebenaran, dan alangkah sampai hatinya dia jadi ahli neraka."
Kenapa sampai demikian kerasnya azab yang mesti mereka terima?
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَ إِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِي الْكِتَابِ لَفِيْ شِقَاقٍ بَعِيْدٍ
(176) Yang demikian ialah karena se­sungguhnya Allah telah me­nurunkan Kitab dengan ke benaran. Dan sesungguhnya yang masih berselisih dari haI kitab itu adalah di dalam pecah­belah yang jauh.
"Yang demikian  ialah karena sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab dengan kebenaran." (pangkal ayat 176).
Sedangkan kebenaran Allah itu satu, tidak ada kata dua. Kebenaran tidak bisa diputar-putar dan didalih-dalih, dan dibelah-belah. Apabila orang mencoba melawan atau memutar balik ke­benaran, betapapun dia memuaskan dirinya, namun tidak berapa lama kemu­dian, kebenaran itu pasti timbul kembali. Manusia mempunyai batas kekuatan, sedang kebenaran tidak dapat dibatasi. Manusia akan mati, kebenaran tetap hidup. Roda zaman selalu berputar, kecurangan selalu terbuka. Orang dapat merasai menang sementara, karena menentang kebenaran, akhimya kelak kebenaran itu akan mentertawakannya juga, Sebagai pantun Melayu:
Jangan ditutuh bunga tanjung,
bunga cempaka rampak jua;
Jangan disepuh emas lancung,
Kilat fembaga nampak juga.
"Dan sesungguhnya orang-orang yang masih berselisih dari hal kitab, adalah di dalam pecah-belah yang jauh."(ujung ayat 176).
Tentu! Sebab kalau masing-masing telah membawakan tafsiran Kitab mengandung kebenaran itu menurut kemauan sendiri, tentu akan timbul perpecahan. Kian lama perpecahan itu tidak dapat dipertautkan lagi. Karena bukan Kitab yang salah, tetapi permutar balikkan Kitab itu yang salah. Orang telah lebih mementingkan kehendak hawanafsunya daripada kehendak Allah. Dan masing-masing mau menang sendiri. Bagi penyembunyi-penyembunyi kebenaran ini, Kitab hanya membawa celaka, bukan membawa bahagia.
Seruan yang berkumandangdi zaman kini dalam kebahgunan ummat Islam ialah agar kita semua kembali kepada Kitab dan Sunnah, atau al-Quran dan Hadits. Karena salah satu sebab dari kepecahan ummat Islam ialah setelah al Quran ditinggalkan dan hanya tinggal menjadi bacaan untuk mencari pahala, sedang sumber agama telah diambil dari kitab-kitab ulama. Pertikaian mazhab mambawa perselisihan dan timbulnya golongan-golongan yang membawa fa­ham sendiri-sendiri. Bahkan dalam safu mazhabpun bisa timbul selisih dan perpecahan karena kelemahan-kelemahan sifat manusia.
Orang-orang yang diikut, sebab mereka adalah manusia, kerapkali dipengaruhi oleh hawanafsu, berkeras mempertahankan pendapat-sendiri, walaupun salah dan tidak mau meninjau lagi. Sehingga masalah-masalah ijtihadiyah menjadi pendirian yang tidak berobah-robah lagi. Bukan sebagai Imam Syafi’i Yang berani merubah pendapat, sehingga ada pendapatnya yang Qadim (lama) dan ada yang Jadid (baru). Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dalam Fi ihdaqaulaihi (pada salah satu di antara dua katanya).
Dalam hal orang yang diikut itu berkeras pada suatu pendapat, si pengikut­pun berkeras pula dalam taqlid. Sebab dengan sadar atau tidak mereka telah menjadikan guru ikutan menjadi tandingan-tandingan Allah, atau andadan .
Sekarang timbullah angin baru dalam dunia Islam kembali kepada al-Quran dan Hadits, janganlah kita lupa bahwa berla inan pendapat mesti timbul juga. Kalau kita telah dibolehkan berijtihad atau mengasah fikiran dan ada kebebasan menyatakan fikirari itu, perlainan pendapat pasti ada. Itu bukanlah alamat kemunduran, tetapi itulah alamat kemajuan. Tetapi perlainan pendapat karena kebebasan berijtihad bukanlah mesti mengakibatkan perpecahan dan per­musuhan, sebab timbulnya adalah dalam suasana merdeka dan salingmengerti. Bekas dari kebebasan fikiran zaman dahulu itu sampai sekarang masih dapat kita lihat pada kitab-kitab karangan orang-orang dahulu.
Apabila seorang ulama menyatakan pendapat dalam satu soal, tidak ketinggalan dia menerangkan pendapat ulama yang lain, walaupun yang berjauhan fahamnya, dengan tidak mencela pendapat yang berbeda itu. Sehingga dibukanya kesempatan buat orang lain untuk menimbang dan meninjau.
Setelah datang zaman Mutaakhirin, ( ulama-ulama yang datang kemudian ), barulah kita berjumpa kata-kata yang mempertahankan golongan sendiri, misalnya perkataan. Wal ashahhu 'indana (yang lebih sah di sisi kita, yaitu mazhab kita adalah begini).
Pendeknya kembali kepada al Quran dan Hadits adalah perkara yang mudah. bahkan kadang-kadang nyata sekali bahwa bahasa aI Quran dan Hadits itu jauh lebih mudah difahamkan daripada bahasa yang dipakai ulama yang datang di belakang itu .
Memang, menjauh dari al-Qur’an dan Hadits bukan saja merusak faham bahkan juga merusak bahasa. Dan lagi pokok utama dalam kembali kepada al-Quran dan Hadits itu mudah pula, yaitu niat yang suci dan ikhlas. Niat sama menjunjung kebenaran. Sebab tadi dalam ayat sudah diterangkan bahwa kebenaran hanya satu dan yang menentukannya ialah Tuhan. Yang empunya kebenaran, bukan Kiyai Fulan atau Tuan Syaikh Anu. Kita semuanya hanyalah hamba belaka daripada kebenaran. Dan segala hasil usaha orang yang terdahulu; ijihad, qiyas , tarjih dan istinbath dapat pula dijadikan bahan oleh kita yang di belakang, unluk memudahkan usaha kita.
Berkata Imam Malik r.a.:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_172_176_files/image006.jpg
"Tidaklah akan jadi baik akhir dari ummat ini , melainkan dengan kembali kepada apa yang membaikkan ummat Yang dahulu."
       http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image002.jpg
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image004.gif
(177) Bukanlah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timur dan barat. Akan tetapi  kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari Yang akhir dan Malaikat dan Kitab dari Nabi-nabi. Dan memberikan harta atas cinta kepadanya, kepada keluarga yang hampir dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan anak perjalanan dan orang-orang yang meminta dan penebus hamba sahaya. Dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan orany orang yang akan memenuhi janji mereka apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar di waktu kepayahan dan kesusahan dan seketika peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Dahulu telah dijelaskan benar-benar bahwasanya ke mana sajapun kita menghadap kan muka, di sana adalah wajah Allah. Penentuan arah kiblat bukanlah berarti bahwa di tempat yang dijadikan kiblat itu bersemayam Tuhan Allah. Kiblat hanya sekedar penyatuan arah seluruh orang yang shalat tanda­nya mereka mengikuti satu disiplin. Sekarang diberi lagi keterangan lebih mendalam:

"Bukanlah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timur dan barat. Akan tetapi kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan malaikat dan kitab dan Nabi-nabi."(pangkal ayat 177)

Artinya, meskipun telah kamu hadapkan mukamu ke timur dan ke barat ke Baitullah yang di Makkah atau ke Baitui Maqdis dahulunya, belumlah berarti bahwa pekerjaan menghadap itu telah bernama kebajikan, sebelum dia diisi dengan iman. Terutama bagi kamu orang Islam, menghadapmu ke timur atau ke barat, menurut tempat kamu berdiri seketika kamu mengerjakan shalat. Misalnya kita orang Indonesia arah ke barat dan orang Amerika arah ke timur, belumlah itu berarti suatu kebajikan, kalau imanmu kepada yang mesti diimani masih saja goyah. Atau hendaklah menghadapmu ke arah timur dan ke arah barat didorong oleh iman.

Dimulai terlebih dahulu dengan iman kepada Allah dan iman kepada hari akhirat, sebab di sinilah letak kunci iman. Dan keduanya itu benar-benar menghendaki iman atau kepercayaan. Apatah lagi Allah tidak nampak oleh mata dan tidak pula ada orang yang telah pulang dari alam akhirat buat menceritakan keadaan di sana. Mana yang telah mati tidak ada yang kembali hidup buat berceritera kepada kita tentang keadaan di sana. Sebab itu maka keimanan kepada Allah benar-benar timbul dari keinsafan batin, demi setelah melihat bekas nikmatNya atas diri dan bekas kuasaNya atas alam.

Pintu gerbang iman pertama ialah percaya kepada Allah dan yang percaya itu bukan saja akal atau ilmu, tetapi menimbulkan dalam jiwa, taat, cinta dan setia, menghamba kan diri dan patuh. Timbul cemas kalau-kalau amal tidak diterima, dan timbul keinginan dan kerinduan akan diberiNya kesempatan melihat wajahNya di hari akhirat itu.

Iman kepada Allah dan hari akhirat menjadi pendorong untuk berbuat kebajikan. Moga-moga amal kita diridhai, iman kita diterima. Dia timbul dari­pada ma'rifat. Dia menimbulkan cahaya di dalam hati (Nur). Dan dia menimbul kan semangat. Dia menimbulkan pengharapan buat hidup, buat bekerja dan berjasa. Iman menimbulkan dinamika dalam diri, sehingga bekerja tidak karena mengharapkan puji sanjung sesama manusia.

Dengan sendirinya iman kepada Allah dan hari akhirat menimbulkan iman kepada apa yang berhubungan dengan itu. Yaitu iman kepada Malaikat, sebagai kekuatan yang telah ditentukan Allah melaksanakan tugas di dalam alam ini. Apatah lagi Tuhanpun menyatakan dalam sabdaNya bahwa Malaikat itu akan turun memberikan sokongan, sehingga kita tidak merasa takut atau dukacita di dalam hidup ini, sebagai tersebut dalam surat Ha Mim as-Sajdah (Surat 41, ayat 30).

Dan dengan sendirinya menim bulkan kepercayaan akan kitab, yaitu al-Quran yang telah datang sebagai wahyu akan menjadi tuntunan di dalam menempuh jalan yang lurus , yang diridhai Allah. Dan dengan sendirinya kepercayaan kepada kitab menyebabkari pula percaya kepada Nabi-nabi se­muanya , yang nama mereka telah disebutkan di dalam kitab itu. Kepercayaan hati atau iman ini, bukanlah semata-mata hafalan mulut , tetapi pendirian hati.

Dia membekas kepada perbuatan , sehingga segala gerak langkah di dalam hidup tidak lain, melainkan sebagai akibat atau dorongan daripada iman. Seumpama apabila kita merasai dan mengunyah-ngunyah semacam daun kayu , kita mengenal rasanya dan mengetahui bahwa rasa yang ada pada daun itu, rasa yang demikian jugalah yang akan terdapat pada uratnya, pada kulit batangnya, pada dahan dan rantingnya, apatah Iagi pada buahnya. Sebab daripada batang barangan tidaklah akan hasil buah delima. Dan daripada batang tidaklah akan keluar buah padi.

Kepercayaan akan adanya Malaikat adalah salah satu tiang lagi dari iman. Kita mengetahui bahwa Rasul-rasul utusan Tuhan adalah manusia biasa, untuk menyampai kan wahyu Tuhan kepada Rasul itu adatah Malaikat sebagai Utusan Tuhan yang ghaib. Rasul-rasul itu sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak menerima wahyu itu dengan langsung dari Tuhan, melainkan memakai peran­taraan , itulah Malaikat. Yang disebut juga dengan nama Jibril. atau disebut juga Ruh, atau Ruhul Amin (Ruh yang dipercaya), sebagai Muhammad juga disebut Rusulul Amin. Dia disebut juga Ruhul Qudus, Roh Yang Suci. Dan lagi, kepercayaan kepada Malaikat menimbulkan pula kekuatan dalam jiwa kita sendiri.

Beberapa ayat di dalam al Quran menyatakan bahwa kepada manusia yang teguh imannya, kokoh pendiriannya di dalam mempercayai Allah, akan turun Malaikat. Sehingga bertambah kekuatan semangatnya menghadapi se­gala perjuangan hidup.

Meskipun Malaikat yang turun ke dalam diri ummat yang beriman itu tidaklah sama dengan Jibril yang turun kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Apakah hakikat Malaikat itu? Tuhan sendirilah yang tahu. Tetapi apabila kita selidiki peraturan dan perjalanan alam ini secara ilmiah, terutama tentang perseimbangan kekuatan dalam alam, perseimbangan daya berat, sehingga bintang-bintang yang berjuta-juta di atas lapangari cakrawala luas ini tidak pernah terjatuh dan kacau, dapatlah kita yakini tentang adanya daya-daya dan tenaga ghaib untukmengatur jalannya. Inipun dapat kita beri nama dalam bahasa agama, yaitu Malaikat . Orang yang mengakui percaya kepada adanya Malaikat, padahal dia pengecut, bukanlah dia percaya sungguh-sungguh dari hati. Dia hanya menganut kepercayaan hafalan. Sebab suatu kepercayaan membekas kepada hidup.

Demikian pula halnya dengan kepercayaan kepada Kitab. Yang dimaksud di sini ialah satu kitab, yaitu al-Qur’an. Dengan menyebut satu kitab, telah terbawa kitab-kitab yang lain, yaitu Taurat, Zabur dan Injil. Sebab isi yang hakiki dari segala kitab itu telah tersimpul kepada satu kitab, al-Quran. Percaya akan kitab ini artinya ialah mengetahui dan mengamalkan isinya, menerima segala suruhan dan larangannya , menjunjung tinggi hukum-hukum yang tertera di dalamnya. Dengan memegang teguh isi Kitab itu , keluarlah insan dari gelap­-gulita kepada terang-benderang petunjuk ilahi.Dengan demikian tercapailah kebajikan.

Kepercayaan kepada Kitab itu diiringi lagi dengan kepercayaan kepada Nabi-nabi Utusan Allah. Sebagai seorang Muslim kita menjunjung tinggi seka­lian Nabi, sejak Adam sampai kepada Muhammad s.a.w. Kepercayaan kepada Nabi-nabi menyebab kan kita harus mengetahui peri-hidup daripada Nabi nabi itu. Bahwasanya mereka menyampaikan da`wah kebenaran Ilahi tidak selalu menemui jalan yang datar, bahkan menempuh berbagai kesulitan dan kesuka­ran , menambah pula akan iman kita bahwa menegakkan amar perintah Ilahi di dalam alam ini tidaklah semudah hanya menghafalriya. Percaya kepada Nabi­-nabi menimbulkan cita cita di dalam hati kita hendak meneladani hidup Nabi­-nabi , pengorbanan mereka, penderitaan mereka di dalam menegakkan kebe­naran.

Rukun iman mudah saja menghafalnya. Tetapi dengan telah menghafal rukun iman belumlah berarti bahwa orang telah beriman. Iman itu bisa naik dan bertambah-tambah tidak ada batas, dan bisa juga menurun derjatnya dan hilang samasekali. Iman adalah perjuangan hidup. Sebab akibat dari iman ialah kesanggupan memikul cobaan. Tidak ada iman yang lepas dari cobaan. ltu kelak akan kita temui dalam penafsiran ayat-ayat pertama dari Surat al­'Ankabut (Surat 29).

Lanjutan ayat ialah ujian yang pertama dari Iman: "Dan memberikan harta atas cinta kepadanya."
Inilah ujian yang pertama dari iman yang tersebut tadi; ujian untuk me­nyempurnakan kebajikan. Mencintai harta adalah naluri manusia. Pada pokok asalnya manusia itu telah dijadikan Allah dalam keadaan loba akan mengumpul harta banyak banyak dan kikir sekali buat mengeluarkannya kembali. Ini ditegaskan Tuhan di dalam Surat 70 (al-Ma’arij, ayat 19). Maka kalau iman tidak ada, manusia ini akan diperbudak oleh harta karena nalurinya itu. Oleh sebab itu maka menurut penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud , banyak orang memberi­kan harta benda, berderma, berkurban, namun di dalam hati kecilnya terselip rasa bakhil, karena dia ingin hidup dan dia takut akan kekurangan. Menurut riwayat dari al-Baihaqi pernah seorang sahabat Rasulullah menanyakan mem­berikan harta di dalam hal sangat cinta kepadanya, sedang tiap-tiap kami ini memang mencintai hartabenda kami. Rasulullah s.a.w, menjawab. "Memang! Kamu berikan, sedang ketika kamu memberikan itu, hati kamu sendiri berkata, bagaimana kalau umur panjang, bagaimana kalau kita jatuh miskin?"

Oleh sebab itu maka bakhil adalah dasar jiwa manusia. Yang akan meme­rangi rasa bakhil itu lain tidak hanyalah iman. Ada kepercayaan dalam hati bahwa harta yang dikeluarkan itu pasti akan datang gantinya. Sebab harta yang telah ada itupun dahulunya tidaklah ada pada kita.
Kemudian itu disebutkan pula, ke mana saja harta yang amat dikasihi itu hendak diberikan Pertama-tama disebut "Kepada keluarga yang hampir."

Di sini kita bertemu lagi kehalusan al-Quran di dalam membimbing jiwa manusia menempuh jalan kebajikan. Sesudah dibuka rahasia hati manusia, bahwa sebenamya di dalam hati kecilnya manusia itu terlalu sayang akan mengeluarkan harta yang amat dicintainya itu , yang telah dikumpulkannya dengan susah-payah, maka supaya jangan terasa berat benar bercerai dengan harta itu , disebutlah orang pertama yang patut diberi  harta, hadiah, bantuan dan sokongan. Yaitu keluarga yang terdekat. Entah saudara kandung yang melarat, entah paman yang miskin.

Karena meskipun dua orang seibu dan seayah pada masa kecil hidup di bawah satu atap satu rumah, namun tatkala telah dewasa akan dibawa untung nasib masing-masing, ada yang.jaya dalam perjuangan hidup dan ada yang tiap bergantung tiap jatuh. Dahulukanlah mereka!
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image006.jpg
"Sedekah kepada orang miskin adalah semata-mata sedekah. Tapi ke­pada keluarga terdekat rahim dia jadi dua, yaitu sedekah dan menghubung tali kasih-sayang." (Dirawikan oleh Ahmad, Termidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, al Hakim dan al-Baihaqi dari Hadis Salman bin Amir).

Malahan tersebut pula di dalam suatu riwayat dari Zainab isteri Abdullah bin Mas'ud, bahwa Zainab ini seorang perempuan yang kaya, sedang suaminya (Ibnu Mas'ud) miskin, dan diapun memelihara pula beberapa anak yatim, mungkin dari suaminya yang dahulu. Zainab bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; adakah pahala untuknya, sebab dia kaya daripada suaminya, jika dia yang memberi nafkah untuk suaminya. Rasulullah s.a.w. menjawab:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image008.jpg
"Untuk engkau akan dapat dua pahala. Pertama pahala sedekah, kedua pahala qarabat (kekeluargaon)." (Hadits ini dirawikan oleh Bukhari dan Muslim).

Kemudian datanglah sambungan ayat, tentang siapa lagi yang patut di­bantu (yang kedua): "Dan anak-anak Yatim. Tentang anak yatim kelak akan ditemui banyak ayat di dalam al-Quran, baik terhadap anak yatim yang kaya, sebagai tersebut di ayat-ayat pertama dari Surat an-Nisa', ataupun anak yatim yang miskin. Sampai Nabipun pernah bersabda bahwa satu rumah tangga yang bahagia ialah rumah tangga yang memelihara anak yatim dengan baik. Rumah itu akan diliputi oleh rahmat Allah. Niscaya pula anak yatim dari keluarga terdekat (karib kerabat) lebih diutamakan dari yang lain.

Selanjutnya disebutkan pula yang ketiga: "Dan anak perjalanan." Menurut tatsiran Ibnu Abbas, menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim, anak perjalanan ialah tetamu yang singgah menumpang bermalam ke rumah kaum Muslimin. Menurut Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sama juga dengan itu, yaitu orang musafir, di dalam perjalanan , lalu singgah menumpang ke rumah kita, maka selenggarakanlah dia dengan baik. Beri makan dan tempat bermalam, dan kalau kita mampu berilah sokongan belanja perjalanannya.

Keempat: "Dan orang-orang yang meminta."

Dalam adab sopan Islam, kalau belum terdesak benar, janganlah minta bantu kepada orang; Sebab tangan yang di atas (memberi) lebih mulia dari tangan yang di bawah (meminta atau menadah). Sebab itu kalau iman seseorang telah mendalam, kalau tidak terdesak benar, tidaklah dia akan meminta. Oleh sebab itu bagi seorang yang mampu, yang ingin berbuat kebajikan menurut ajaran Allah, kalau telah sampai terjadi seorang meminta kepada kita, sekali-kali janganlah pengharapannya dikecewakan. Makanya dia meminta kepada kita, sedang harga dirinya sebagai mu'min merasa berat menadahkan tangan kepada sesama manusia meminta-minta, adalah karena dia,percaya bahwa permintaannya itu tidak akan di kecewakan. Maka janganlah sampai air mukanya jatuh karena harapannya dihampakan.
Khabamya korwn di negeri Islam Sudan rasa harga diri karena iman itu, walaupun dalam keadaan melarat, masih dipelihara oleh setengah orang ngan sebaik-baiknya. Pemah satu rumah tertutup saja sudah beberapa hari. Maka tetangga yang juga beriman melihat keadaan yang demikian, telah membuka pintu rumah itu dengan paksa. Mereka dapati seisi rumah, sejak dari kepala rumahtangga, sampai kepada isteri dan anak-anaknya didapati sudah hampir mati kelaparan. Mereka bersedia mati lapar daripada menadahkan tangan meminta-minta. Jiwa mereka belum jatuh karena kemiskinan .

Cerita seperti ini adalah hal yang jarang sekali terjadi. Adapun yang lebih banyak kejadian di zaman kini ialah karena fakir orang bisa menjadi kafir. Oleh karena kemiskinan perempuan muda pergi melacurkan diri dan orang laki-laki menjadi penghuni kolong jembatan. Bertambah jauh orang dari bimbingan agama, bertambah kusut kehidupan mereka, sehingga terjadilah di dalam masyarakat keadaan yang menyolok mata, perbedaan yang terlalu menyolok mata di antara orang yang mampu dengan orang yang miskin, Agama Islam mengajarkan betapa pentingnya shalat berjamaah, supaya di antara yang miskin dengan yang kaya selalu dapat bertemu, dan yang kaya dapat membantu. Hadits Nabipun dengan tegas mengatakan bahwa syarat daripada iman kepada Allah dan hari akhirat, satu di antaranya ialah hubungan yang baik di antara bertetangga.

Di sini dapat dilihat dengan jelas bagaimana besar perbedaan ajaran Islam dengan Sosialisme. Bagi Islam, untuk memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan sosial, hendaklah diperbaiki terlebih dahulu dasar sendi pertama sosial (masyarakat) itu. Dasar sendi pertama ialah jiwa seseorang. Ditanamkan terlebih dahulu di jiwa orang seorang rasa Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu mengakibatkan rasa kasih-sayang dan dermawan Kesadaran peribadi setiap orang dalam hubungannya dengan Allah, manusia, alam sekitar dan kedudukan dirinya di tengah semuanya, itu, di sanalah sumber Keadilan Sosial. Sebab itu pernah tersebut di dalam suatu Hadits, bahwasanya jika ajaran ini telah diamalkan, akan datang suatu masa tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat; karena semua orang wajib berzakat. Dan ini pernah tercapai dalam masyarakat Islam, sebagai disaksikan dalam sejarah Khalifah Umar bin Abdil Aziz.

Sosialisme ajaran Marx, tidak mengakui adanya Tuhan. Sebab itu tidak juga mengakui adanya jiwa atau nyawa atau roh.manusia. Bagi mereka orang seorang atau peribadi tidak ada. Yang ada adalah masyarakat, sosial. Tinggi atau bobrok moral bukan soal; yang soal ialah segala hajat keperluan setiap orang hendaklah diatur oleh masyarakat. Masyarakat itu ialah pemegang tampuk kekuasaan, atau pemerintah negara. Orang seorang akan senang hidupnya apabila alat produksi yang penting sudah dikuasai negara.

Sejak Revolusi Oktober 1917 ajaran Sosialisme semacam ini telah mulai dilancarkan di Rusia. Maka naiklah kekuasaan kaum buruh dan tani, soko gurunya proletar. Kekuasaan mesti dikuatkan dengan diktator . Setelah di Rusia (Perang Dunia Pertama) mengikutilah negara-negara sosialis yang lain sesudah Perang Dunia Kedua. Di Rusia telah 50 tahun sampai sekarang dan negara­-negara pengikutnya sudah ada yang 20 tahun. Yang nyata bukanlah keadilan sosial yang merata menurut teori Karl Marx itu, tetapi kemiskinan yang merata di antara rakyat banyak, di antara masyarakat seluruhnya dan kekuasaan mutlak pada partai yang berkuasa, yaitu kaum Komunis, dan tidak berhenti bunuh membunuh sesama sendiri di dalam merebut kekuasaan itu.

Seorang Komunis. bernama Milovan Jilas yang telah mengalami sendiri kegagalan ajaran sosiafisme itu menulis sebuah buku menguraikan bahwa hasil yang nyata dari sosialisme itu ialah timbulnya "Kelas Baru". Kelas Baru itu menurut Milovan Jilas ialah tuan-tuan besar penguasa Komunis yang telah sampai ke puncak kekuasaan dengan menindas orang banyak yang mereka namai rakyat , yang menurut kata mereka yang berkuasa itu, mereka naik ialah atas nama rakyat itu. Maka dalam negeri-negeri komunis, dibagi-ratalah kemis­kinan dengan adil terhadap rakyat. Adapun penguasa sendiri, saking adilnya, tidaklah mendapat apa-apa yang bernama kemiskinan. Mereka biarkan mene­rima kekayaan dan kemewahan dan berbagai fasilitas saja ! .

Apabila Islam memulai keadilan sosial itu terlebih dahulu dengan memper­baiki jiwa seseorang, menegakkan satu peribadi yang mu'min, percaya kepada Allah dan cinta kepada sesama manusia, dermawan dan sudi menafkahkan harta pada jalan Allah, bukan berarti bahwa pemerintah Islam tidak mengon­trolnya. Orang yang enggan mengeluarkan zakatnya bisa dirampas harta­-bendanya .

Ibnu Hazm, mujtahid Andalusia yang besar, dan salah seorang pemuka dari Mazhab Zahiri, mengeluarkan fatwa, bahwa apabila seorang terdapat mati kelaparan di dalam kampung Islam, maka lmamul A'zham (Penguasa Negara Tertinggi) harus menyelidiki seisi kampung, apa sebab maka ada orang mati kelaparan di sana. diselidiki siapa tetangganya, siapa keluarganya terdekat yang harus bertanggungjawab. Kalau tidak dapat juga dicari itu maka seluruh isi kampung dikenakan denda diyat, yaitu ganti nyawa. Dan faham Ibnu Hazm ini tidak dibantah oleh mujtahid yang lain.Ijtihad Ibnu Hazm inipun sudahlah satu dasar pemikiran keaditan sosial dalam Islam.
Kelima "Dan penebus hamba sahaya. "

Sebagaimana telah kita maklumi di dalam sejarah manusia hidup dalam dunia ini, sejak beribu-ribu tahun, telah terjadi ada manusia yang dirampas kemerdekaannya, lalu mereka itu disebut budak, atau hamba sahaya. Perbudakan pada zaman purbakala itu terjadi karena adanya peperangan dan penaklukkan suatu negeri. Penyerang yang menang menjadikan penduduk negeri yangditaklukkan itu menjadi budak.

Dan apa juga di zaman purbakala perbudakan timbul oleh karena seseorang terlalu banyak dan besar hutangnya kepada seseorang yang kaya, lalu dia menyerah­kan diri buat diperbudak sebagai pembayar hutangnya. Oleh sebab itu maka Nabi Muhaminad s.a.w. seketika diutus Tuhan membawa ajaran Islam telah mendapati perbudakan itu. Padahal pada hakikatnya, ajaran Islam yang berda­sar Tauhid dan kasih-sayang sesama manusia itu, tidaklah menyukai perbu­dakan. Tidaklah masuk di akal kalau agama yang suci menyukai pemerasan tenaga manusia oleh sesama manusia.

Oleh sebab itu membrantas perbudakan dan mengembalikan kemerdekaan manusia adalah salah satu maksud utama dari Islam. Cuma cara atau taktik di dalam mencapai maksud yang mulia itu, harus disesuaikan dengan keadaan ruang dan waktu, atau zaman dan makan (tempat). Di zaman Rasulullah s.a.w. perbudakan itu ada dalam seluruh masyarakat, ada dalam seluruh bangsa, diterima sebagai suatu kenyataan. Sebab peperangari-pepe­rangan tidak berhenti-henti.

Sejak sebelum Nabi s.a.w. diutus telah terjadi peperangan-peperangan yang tidak putus-putus di antara bangsa Romawi dengan bangsa Persia. Dan lantaran itu terjadi tawan-menawan, memperbudak atau diperbudak. Islam sendiripun mengalami demikian. Dia berperangdengan musuh-musuhnya, dia memerangi dan diperangi. Dia menawan dan ditawan. Maka kalau Nabi Muhammad s.a.w. menghapuskan perbudakan secara lang­sung di waktu itu dengan tindakan sepihak tentu merugikan Islam.

Tidak masuk difikiran sihat kalau musuh yang ditawan dibebaskan saja, padahal pihak kita yang ditawan musuh tidak akan mereka Iepaskan. Oleh sebab itu anjuran kebajikan yang dapat dilakukan pada zaman itu ialah menganjurkan kepada yang empunyd budak agar rrremerdekakan budaknya. Memerdekakan budak adalah termasuk budi dan akhlak tertinggi dalam Islam. Nanti pada ayat-ayat yang lain selanjutnya akan di dapat keterangan-keterangan yang lebih panjang tentang memerdekakan budak.

Banyak perbuatan salah menurut hukum, didenda dengan memerdekakan budak. Seumpama menebus sumpah (al. Maidah ayat 91), kaffarah (denda) zhihar, yaitu menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu, sehingga isteri tidak.dapat dipergauli Iagi (Surat al Mujadalah ayat 3), kaffarah membunuh dengan tidak sengaja dan kesilapan (Surat an-Nisa' ayat 91), baik yang terbunuh itu sesama orang Islam ataupun orang yang bukan Islam. Atau denda karena terlanjur bersetubuh dengan isteri di siang hari bulan puasa (menurut Hadits Shahih). Dan lain-lain sebagainya; denda dengan memerdekakan budak.
Adapun dalam ayat ini bukanlah denda, tetapi anjuran mempertinggikan perbuatan kebajikan dengan menyediakan harta untuk memerdekakan budak. Ada namanya budak yang mukatab: yaitu seorang budak mengikat janji' (kontrak) dengan tuan yang menguasainya, bahwa kalau dia dapat mengganti kerugian tuannya itu, dengan membayar sekian, diaakan dimerdekakan. Maka kalau ada seorang mu'min yang mampu mendengar berita itu, hendaklah dia menyediakan hartabendanya untuk membantu budak itu. Budak mukatab berhak menerima zakaf. Atau membeli seorang budak, lalu memerdekakan­nya. Ataupun memberi hadiah kemerdekaan kepada seorang hambasahaya sendiri oleh karena jasa-jasanya yang telah diperbuatnya.

Bahkan seorang budak perempuan, boleh dibayar maskawin (maharnya) dengan menghadiah­kan kemerdekaan kepadanya. Sehingga dengan pemberian kemerdekaan itu, si tuan yang telah menjadi suami itu tidak usah membayar mahar Iagi. Kemerdekaan adalah hadiah yang paling tinggi!
Secara resminya sejak 100 tahun yang akhir ini tidak ada perbudakan lagi, karena telah dihapuskan menurut undang-undang bangsa-bangsa. Tetapi peperangan-peperangan masih berlaku, namun budak masih ada. Tawanan-tawanan perang masih dikerahkan menjadi budak, sebagai yang dilakukan Rusia terhadap beribu tawanan perang Jepang yang dikirim ke Siberia. Sebab itu perbudakan belum hilang meskipun coraknya telah lain. Lantaran itu per­juangan bangsa-bangsa menuntut kemerdekaan manusia, atau bangsa-bangsa dari penjajahan, termasuklah kebajikan yang tertinggi jua adanya.
Setelah diterangkan dasar-dasar pada jiwa yang harus terlebih dahulu ditanamkan, barulah lanjutan ayat berikutnya yang keenam: "Dan mendirikan ' shalat."

Tegas di dalam ayat ini bahwasanya. shalat bukanlah semata-mata dikerjakan, melainkan didirikan. Artinya, timbul dari dasar iman dan kesadaran. Tidaklah lagi orang merasa keberatan mendirikan shalat itu, karena dia telah ditimbul daripada iman kepada Allah dan kasih-sayang kepada sesama manu­sia; tidak lagi shalat karena semata-mata menghadap muka atau beralih paling ke pihak timur atau ke pihak barat. Tidak lagi shalat karena turut-turutan, atau tunggang-tunggik ke atas ke bawah; berdiri, sujud, duduk dan lain sebagainya, padahal kosong daripada iman. Niscaya shalatnya itu menghadap kiblat; itu sudah terang. Tetapi karena iman dan kasih-sayang sudah terhunjam dalam jiwanya, maka bukan saja tagi mukanya yang dihadapkartnya kepada kiblat , melainkan batinnya yang terlebih dahulu dihadapkannya kepada Tuhan, seba­gai dinyatakan di dalam doa pembukaan shalat:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image010.jpg
"Aku hadapkan , wajahku kepada Dia. Yang mencipfakan semua Iangit dan bumi, muka yang lurus lagi menyerah, dan tidaklah aku termasuk orang­orang yang mempersekutu kan yang lain dengan Tuhan.  
Di sinilah baru berarti shalat yang dia kerjakan. Shalat yang hidup bukan shalat yang mati. Shalat yang khusyu’ bukan shalat yang hanya kulit perbuatan. Seorang pujangga Islam , Syaikh Mustafa al-Ghalayini berkata: "Suatu amal hendaklah dengan ikhlas, sebab ikhlas adalah jiwa amal. Amal yang tidak disertai ikhlas , adalah laksana bangkai . Ada kerangkanya tapi tidak ada nyawanya."

Di pangkal ayat sudah disebutkan bahwa memalingkan muka ke timur ataupun ke barat, belumlah bernama kebajikan. Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan iman, dibuktikan dengan kasih sayang kepada manusia, dan dengan demikian timbullah shalat. Sebab shalat hendaklah timbul dari iman dan cinta kasih.

Kemudian datanglah lanjutan ayat (ketujuh): "Dan mengeluarkan zakat "

Jaranglah terpisah di antara mendirikan shalat dengan mengeluarkan zakat. Terlaiu banyak kita bertemu dengan ayat yang kembar itu, shalat dan zakat. Sebab shalat adalah alamat kepatuhan kepada Tuhan dan zakat adalah kasih sayang dalam masyarakat.

Tadi, sebelum menerangkan bahwa iman yang kokoh itu menimbulkan shalat yang khusyu', terlebih dahulu diterangkan betapa besarnya pengaruh iman untuk menimbulkan kasih-sayang kepada sesama manusia, sehingga hati lapang dan hati pemurah mengeluarkan harta yang dicintai untuk membantu keluarga dan fakir-miskin dan anak yatim dan seserusnya.

Sekarang seteiah selesai menerangkan kepentingan mendirikan shalat sebagai bukti iman, di­ulang pula sekali lagi. Yaitu mengeluarkan zakat; seka!i lagi disebut kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai. Ada agaknya orang yang akan bertanya, apa perlunya lagi menyebutkan mengeluarkan zakat, padahal tadi di atas sudah dijelaskan bahwa alamat kebajikan ialah kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai? Jawabnya ialah bahwasanya ini bukan kata berulang. Mengeiuar­kan harta yang amat dicintai, untuk membantu keluarga terdekat dan fakir ­miskin tidaklah tergantung kepada zakat saja. Orang yang beriman dan berbuat kebajjkan, akan senantiasa mengeluarkan harta yang dicintainya, guna pem­bantu orang yang melarat, walaupun dia tidak wajib berzakat karena syarat­-syarat untuk berzakat, karena nishab harta dan bilangan setahun belum cukup.

Mengeluarkan zakat tiap tahun adalah minimum, ukuran paling rendah. Zakat adalah kewajiban tertentu tiap tahun, kewajiban routin Tetapi banyak lagi pintu lain di luar zakat , yang timbul dari hati yang dermawan Ada sadaqoh Tathaw­wu', sedekah sukarela yang tidak wajib menurut hukum Fiqh , tetapi wajib menurut perasaan halus budiman. Ada orang yang membagi sepiring nasi yang sedianya akan dimakannya sendiri, untuk fakir miskin yang mengharapkan bantuannya. Ada sedekah yang bernama hadiah, bernama hibah, bernama ihsan dan ada yang bernama wakaf. Semuanya itu adalah dalam golongan mengeluarkan harta yang dicintai tadi.

Orang Islam wajib mengeluarkan zakat fithrah seketika puasa Ramadhan telah selesai dikerjakan. banyaknya hanya sekitar tiga seperempat liter atau dua setengah kilo beras. Tetapi tidak ada halangan, malahan dianjurkan berfithrah satu karung beras !

Dari deretan dua kata senafas, yaitu mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, kita telah dapat intisari daripada ayat ini. Di pangkal ayat dikatakan bahwa semata-mata memalingkan muka ke timur ataupun ke barat, artinya semata-mata hanya shalat tunggang-tunggik, belum tentu seseorang berbuat baik. Dengan datangnya lanjutan ayat menyebut mendirikan shalat, sekali lagi menjadi jelas bahwa shalat tetap wajib. Khususnya shalat lima waktu, sebagai hasil dari iman. Kalau iman telah mendalam, dengan sendirinya orang tidak merasa puas hanya dengan shalat lima waktu. Orangpun hendak mengiringinya dengan shalat nawafil, shatat-shalat sunnat.

Dan dengan datangnya kata mengeluarkan zakat ternyata pula bahwasanya mengeluarkan harta yang dicintai dengan sukarela belumlah cukup. Hendaklah dia dipandangsebagai kewajiban, yang berdosa kalau tidak dikeluarkan. Kalau tidak akan sanggup mengeluarkan banyak, namun sekedar yang wajib karena nisabnya dan tahunnya telah sampai, hendaklah dikeluarkan. Di dalam sejarah pernah disebutkan seorang dermawan dan hartawan besar yang tidak sempat berzakat. Itulah Ma'an bin Zaaidah. Yang hidup menemui dua masa, yaitu ujung pemerintahan Bani Umaiyah dengan pangkal pemerintahan Bani Abbas. Dia masyhur kaya raya menurut ukuran zaman itu, dari perkebunan dan peternakan. Sumber kekayaannya amat besar..dan selalu dia memberi orang hadiah, murah tangan, sehingga setelah tahun habis, dia tidak dapat berzakat lagi. Karena harta yang akan dihitung nisabnya itu telah habis terlebih dahulu. Dan tahun berganti, dan kekayaannya tumbuh lagi, dan didermakannya lagi. Kemudian datanglah lanjutan ayat (kedelapan):

"Dan orang-orang yang memenuhi akan janji mereka apabila mereka telah berjanji."

Janji kita ada dua macam. Pertama.janji dengan Tuhan. Kedua janji dengan manusia. Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji. Mengakui sebagai hamba dari Allah, artinya akan menepati janji dengan Allah. Naik saksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, artinya ialah janji bahwa awak akan mematuhi segala perintah dan larangan Rasul. Kedua ialah janji dengan sesama manusia. Seluruh hidup kita ini adalah ikatan janji belaka. Mendirikan suatu negara adalah suatu janji bersama hendak hidup dengan rukun, kepentingan diriku terhenti bilamana telah bergabung dengan kepentingan kita bersama; itulah negara. Perang dan damai di antara negara dengan negara adalah ikatan janji. Bahkan akad-nikah seorang ayah ketika dia menyerahkan anak perempuan nya kepada seorang laki-laki untuk menjadi isteri orang itu, yang dinamai ijab , lalu disambut dan diterima oleh si laki-laki di hadapan dua saksi, yang dinamai qabul, adalah janji.

Seorang Khalifah atau Amirul-Mu'minin, gelar tertinggi dalam Daulah Islamiyah, ketika akan naik ke atas singgasana kekuasaan, lebih dahulu berjanji dengan rakyat yang mengangkatnya; yaitu janji yang dinamai ba'iat. Seorang banyak memegang tangan Khalifah lalu mengucapkan janji bahwa mereka akan taat-setia kepada beliau selama beliau masih menegakkan kebenaran dan keadilan yang digariskan Allah dan Rasul.

Dan diapun berjanji akan menjalankan itu dengan segenap tenaga yang ada padanya. Maka kalau yang mengangkat mungkin, Khalifah berhak menuntut pertanggung jawab mereka. Tetapi kalau Khalifah sendiri yang tidak setia memegang janji, Tuhan membuka kesempatan kepada yang mengangkat itu buat mema'zulkannya, menurut sabda Nabi . 
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image012.jpg
"Tidak ada ketaatan terhadap seorang makhlukpun pada sikap men­durhukai Kholiq."
Menilik hal ini dapatlah diambil kesimpulan bahwasanya Allah telah menganugerahkan Hak-hak Asasi kepada manusia, dengan memberikan akal ke­padanya, untuk menjadi Khalifah Allah di muka bumi, lalu manusia memilih suatu pemerintahan yang mereka sukai , lain mereka serahkan kekuasaan yang dianugerahkan Tuhan itu kepada salah seorang yang mereka percayai bisa memikul amanat yang mereka berikan. Dengan syarat bahwa orang itu akan tetap setia kepada Undang-undang Dasar Yang Maha Suci, yaitu perintah Allah dan Rasul.

Setelah orang itu menyerahkan kesediaannya, diapun dibai'at .
Lantaran itu nyatalah bahwa teori kenegaraan yang dinamai oleh Jean Jeaques Rousseau (1712-1778) "Contract Sosial", oleh pengikut Nabi Muhammad s.a.w. telah dipraktekkan pada tahun 632 M (11 H), dengan pengangkatan Khalifah Rasulullah yang pertama, Saiyidina Abu Bakar as­Shiddiq. Yaitu 1080 tahun sebelum Rousseau lahir.

Maka seluruh kehidupan manusia di dunia ini adalah mata rantai belaka daripada ikatan janji baik janji ke atas , yaitu kepada Tuhan , ataupun janji ke bawah kepada sesama makhluk. Maka orang yang mengakui beriman, belumlah dia mencapai kebajikan , meskipun dia telah shalat , telah dermawan , telah mengeluarkan zakat , kalau dia tidak teguh memegang janji.

Ada orang yang teguh memegang janjinya dengan manusia, tetapi rapuh janjinya dengan Tuhan. Seumpama satu perkumpulan agama yang sedang musyawarat mengatur siasat perjuangan Islam. Saking asyiknya rapat, teledor dia shalat ashar. Ada pula orang yang teguh janjinya dengan Tuhan, shalat di awal waktu, tetapi anaknya tidak diberikan pendidikan yang baik, atau isterinya tidak diberikan nafkah.
Oleh sebab itu mungkir janji dengan manusiapun berarti memungkiri janji dengan Allah.

Pemah terdengar berita bahwa di satu negara, pemimpin tertinggi negara itu dituduh melanggar Undang-undang Dasar negaranya. Lalu dia menjawab, bahwa dia hanya bertanggungjawab kepada Tuhan saja, memang! Orang bertanggungjawab kepada Tuhan saja, tetapi Tuhan pula yang memerintahkan dengan ayat yang tengah kita kaji ini, supaya dia mempertanggung jawabkan pelanggarannya itu kepada sesama manusia yang telah mengikat janji dengan­nya. Maka janji dengan sesama manusia pada hakikatnya adalah janji dengan Allah jua, selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Lanjutan ayat (kesembilan):

"Dan orang-orang yang sabar di waktukepa­yahan dan kesusahan dan seketika peperangan.”

Di sinilah kita bertemu kunci rahasia dari iman dan kebajikan. Di dalam membina iman dan kabajikan, syaratnya yang utama ialah sabar. Mulut bisa dibuka lebar buat menyerukan iman. Beribu-ribu orang tampil ke muka menyerukan iman, tetapi hanya berpuluh yang dapat melanjutkan perjalanan. Sebahagian terbesar jatuh tersungkur di tengah jalan karena tidak tahan menderita, karena tiada sabar. Di sini disebutkan ujian pertama ialah kepayahan ; termasuk di dalamnya kemiskinan dan serba kekurangan. Kurang sandang,kurang pangan. Kekurangan alat untuk berjuang, kekurangan.belarija untuk mengatasi kesulitan. Kadang­-kadang bagai gunung kesulitan yang ditempuh, namun kita mesti terus mene­gakkan iman. Kesulitan dan rintangan kedua ialah kesusahan. Kesusahan ialah lantaran penyakit. Baik penyakit rohani apatah lagi karena penyakit jasmani. Kadang-kadang seisi rumah yang tadinya hidup tenteram dan mempunyai rezeki yang lumayan , tiba-tiba tiang keluarga yang berusaha ditimpa sakit payah, ataupun langsung mati:

Rencana semuanya jadi gagal. Kesulitan yang ketiga ialah kesulitan yang dihadapi seketika peperangari. Susunan hidup yang lama berubah samasekali. Dahulu kita jarang merasai itu. Tetapi setelah sejak 1939, seketika bangsa Belanda mulai berperang , sampai tahun 1942 tentara Jepang merebut kuasa di negeri kita. Kemudian itu perjuangan kemerdekaan pada iahun 1945, sampai pada perjuangan selanjutnya, kita telah mengerti apa artinya suasana perang.. Betapa banyaknya manusia yang jatuh imannya karena tidak sabar.
Berapa banyaknya timbul apa yang dinamai:'orang kaya baru;' menangguk harta dari jalan yang tidak halal. Mengambil keuntungan dari kesusahan orang lain. Berapa banyaknya orang yang runtuh iman, hancur pendirian dan hilang lenyap nilai sebagai manusia. Maka orang yang tidak sabar menghadapi serba-serbi kesusahan itu, tidaklah mereka akan mengerti apa yang dinamai kebajikan.
Di dalam saat susah itulah iman diuji. Orang yang beriman berpandangan jauh. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa keadaan tidak akan selalu begitu-begitu saja. Sesudah susah mestilah akan timbul kemudahan. Bahkan iman mengajarkan bahwa di dalam susah itu selalu terdapat kemudahan. Tidak ada dalam dunia,satu saatpun yang hanya semata susah ataupun semata mudah. Pedoman kesusahan dan kemudahan tidaklah terletak di luar, melain­kan di dalam diri kita sendiri.

Lantaran itu dapatlah dikatakan bahwasanya jalan kebajikan yang telah digariskan dalam ayat, yaitu sejak daripada iman kepada Allah dan hari akhirat, kepada,Malaikat dan Kitab dan Nabi-nabi; sampai kepada kesudian berkurban, mengeluarkan harta benda yang dicintai untuk menolong orang-orang yang patut ditolong, sampai kepada mendirikan shalat dengan khusyu dan menge­luarkan zakat dengan hati rela, dan keteguhan memegang janji, semua susunan itu akan runtuh belaka kalau tidak ada sendi utamanya, yaitu sabar.

Kita di dunia mempunyai banyak keinginan dan cita-cita: Kadang-kadang kita mengharap kan sesuatu daripada Allah dengan sangat rindu. Tetapi ka­dang-kadang kita lupa kelema han kita, bahwa kita yang diatur oleh Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan. Kita meminta segera hendaknya kesusahan hilang, dan kita meminta segera hendaknya permintaan dikabulkan. Kalau kehendak kesegeraan itu tidak lekas dikabulkan, kitapun mendongkol. Kitapun tidak sabar lagi. Maka yang menggagalkan kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri.

Ketahuilah bahwasanya tidak kurang daripada 98 ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan keutamaan sabar. Sesudah semuanya itu diisi menurut tertibnya, barulah datang lanjutan ayat:
"Mereka ilulah orang-orang yang benar."

Artinya, isilah semuanya itu dengan tertib, mulailah dengan iman, turutilah dengan rasa cinta kepada sesama manusia, dan iringilah lagi iman kepada Allah dengan shalat yang khusyu`, lalu berzakatlah bila telah datang waktunya dan teguhlah memegang janji, karena binatang diikat dengan tali, sedang manusia diikat dengan katanya sendiri. Dan sabarlah memikul tugas hidup itu semuanya. Kalau ini semuanya sudah diisi, barulah pengakuan iman dapat diterima oleh Allah, dan barulah kita terhitung dan termasuk dalam daftar Tuhan sebagai seorang yang benar, yang cocok isi hatinya dengan amalannya. Lalu di ujung ayat menjelaskan lagi:

"Dan mereka. itulah orang-orang yang bertakwa." (ujung ayat 177).
Kita sudah tahu arti asli dari takwa , yaitu pemeliharaan. Itulah orang yang selalu memelihara hubungannya dengan AIlah. Mereka selalu berusaha, se­hingga martabat imannya bukan menurun; melainkan selalu mendaki kepada yang Iebih tinggi .

Dengan penutup ayat menyebut bahwa itulah orang-orarg yang bertakwa, menjadi lebih jelaslah bahwasanya setiap saat kita wajib memelihara hubungan kita dengan Allah. Tingkat iman kita harus diusahakan bertambah tinggi, jangan bertambah menurun. Pokok hidup adalah keteguhan jiwa, kekuatan peribadi. Jangan sampai kita mengerjakan agama hanya pada kulit saja. Shalat tunggak­ tunggik , tetapi jiwa gelap: Sebab hanya karena keturunan belaka. Banyak orang yang taat shalat , padahal tidak tahan kena cobaan. Ada orang yang taat shalat, padahal dia bakhil; saku-sakunya dijahitnya, tidak mau menolong orang lain. Banyak orang yang shalat, padahal pemungkir janji. Sebab ini kehidupan yang sejati tidak diisinya, yaitu takwa. Ada juga orang yang kelihatan taat selain shalat dan puasa, diapun berzikir, dia tekun i'tikaf dalam mesjid. Tetapi setelah ditanyakan mengapa dia setaat itu, dia menjawab karena dia mengharapkan pahala sekian dan sekian , untuk dirnya. Sebab itu cara berfikirnya ialah untuk kapentingan dirinya sendiri, baik di dunia ataupun di akhirat.

Setelah direnungkan ayat 177 ini dengan, seksama, teringatlah kita akan sebuah tatsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas , menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abbas berkata:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_177_files/image014.jpg
"Ayat ini diturunkan di Madinah. Tafsirnya ialah bahwa : Tuhan telah bersabda kebajikan itu bukanlah semata-mata telah mengerjakan shalat. Tetapi kebajikan ialah apa yang telah teguh (berurat berakar) di dalam hatimu, dari rasa taat kepada Allah.

Shalat lima waktu sudah nyata wajib. Dia adalah tiang agama. Kitapun dianjurkan menambah nya dengan shalat-shalat sunnat yang berasal dari ajaran Rasulu!lah. Tetapi ayat ini telah memberi ketegasan , bahwa kewajiban mengerjakan tiang agama itu,yang kamu kerjakan dengan susah-payah, akan tetapi tidak ada artinya untuk membangunkan kebajikan , kalau rasa takwa tidak selalu dipupuk. Karena takwa itulah yang meninggikan akhlak, menimbulkan budi pekerti, dermawan , peneguh janji dan sabar menderita.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image002.jpg
(178) Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu hukum qishash pada orang­orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka , dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya seba­hagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan turiaikan kepadanya dengan cara yang baik. Demikianlah keringanan daripada Tuhanmu dan rahmat. Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih.
  http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image004.jpg
                             





                                     http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image006.jpg
Qishash
Dengan ajaran Agama Islam, Nabi Muhammad s.a.w. telah mempersatukan bangsa Arab yang telah beratus tahun tidak mengenal persatuan, karena tidak ada suatu cita untuk mempersatukan. Agama pusaka Nabi Muhammad sudah tinggal hanya sebutan. Yang penting bagi mereka ialah kabilah sendiri. Di antara kabilah dengan kabilah berperang. Bermusuh dan berebut tanah pe­ngembalaan ternak atau berebut unta ternak itu sendiri. Niscaya terjadi pem­bunuhan, maka timbullah cakak berbelah(berbelah-belahan kampung timbul perkelahian ) di antara suku dengan suku atau kabilah dengan kabilah. Merasailah" suku yang lemah dan kecil, berleluasalah kabilah yang besar dan kuat.
Menurut keterangan al-Baidhawi, ahli tafsir yang terkenal: "Di zaman Jahiliyah pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua buah persukuan Arab. Yang satu kabilahnya kuat dan yang satu lagi lemah. Maka terbunuhlah salah seorang dari anggota kabilah kuat itu oleh kabilah yang lemah tadi. Lantaran merasa diri kuat, kabilah yang kuat itu mengeluarkan sumpah; akan mereka balas bunuh, biarpun yang terbunuh di kalangan mereka seorang budak, mereka akan meminta orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di kalangan mereka seorang perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki."
Riwayat ini juga dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair. Lantaran itu maka hukum qishash,zaman jahiliyah bu_kan hukum, tetapi balas dendam, yang mereka sebut Tsar.
Agama Islampun datang, yaitu di saat perdendaman masih belum habis. Islam tidak dapat membenarkan balas dendam. Islam hanya mengakui adanya hukum qishash, bukan balas dendam. Maka kalau terjadi lagi pembunuhan manusia atas manusia, tanggung jawab penuntutan hukum bukan saja lagi terletak pada keluarga yang terbunuh, tetapi terletak ke atas pundak orang yang beriman. Balas dendam harus dicegah, yang berhutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, tetapi pintu maaf selalu terbuka; maka datanglah ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَ الْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَ الْأُنثَى بِالْأُنثَى
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu hukum qishosh pada orang-orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan."
Di pangkal ayat ini kita telah mendapat dua kesan. Pertama urusan penuntutan bela kematian telah diserahkart kepada orang-orang yang beriman. Arfinya kepada masyarakat, masyarakat islam. Masyarakat Islam mempunyai SYURA (lihat Surat 42 as-Syura, ayat 38). Di zaman ayat turun yang memimpin masyarakat Islam itu ialah Rasulullah s.a.w. sendiri. Ayat ini telah menunjukkan bahwa masyarakat orang yang beriman wajib mendirikan pemerintahan untuk menegakkan keadilan, di antaranya untuk menuntutkan bela atas orang yang mati teraniaya. .
Kesan yang kedua ialah bahwa bela nyawa itu mulailah diatur seadil­-adilnya. Di antaranya ditunjukkan contoh-contohnya; kalau orang Iaki-laki merdeka membunuh laki-laki merdeka, wajiblah dilakukan hukum qishash kepadanya, yaitu dia dibunuh pula. Kalau seorang hamba sahaya membunuh seorang hamba sahaya, diapun akan dihukum bunuh. Kalau seorang perem­puan membunuh seorang perempuan, si pembunuh itu akan dihukum bunuh pula.
Dengan tiga patah kata ini mulailah ditanamkan peraturan yang adil, pengganti peraturan jahiliyah yang berdasar balas dendam. Di zaman jahiliyah, sebagai dikatakan tadi , walaupun yang terbunuh itu seorang budak, dan yang membunuh itu budak pula, wajiblah tuan dari budak yang terbunuh itu yang mambayar dengan nyawanya. Walaupun yang terbunuh perempuan, pembu­nuhnya perempuan pula, wajiblah yang membayar dengan nyawanya laki-laki keluarga petempuan itu.
Kalau belum maka keluarga siterbunuh belumlah merasa puas. Dalam peraturan ini, adalah bahwa siapa yang membunuh, itulah yang menjalankan hukum qishash dengan dirinya sendiri. Baik yang terbunuh orang merdeka atau budak, dan yang membunuh orang merdeka pula atau budak, namun yang berhutang itulah yang membayar. Dalam hal jiwa ganti jiwa itu, dilanjutkan hukum Taurat, sebagaimana tersebut di dalam Surat al-Maidah (Surat 5, ayat 45) "Annafsa bin nafsi,"Nyawa bayar Nyawa" Ayat ini kemu­dian turunnya daripada Surat al-Baqarah ayat 178 ini.
Dengan ayat ini nyatalah bahwa hak menuntut kepada si pembunuh supaya dia dibunuh pula masih tetap ada pada keluarga yang terbunuh. Tetapi perjalanan hukum telah mulai di bawah tilikan orang-orangyang beriman di sini ialah hakim. Sebab dia yang diserahi dan diakui oleh orang-orang yang beriman untuk menjaga perjalanan hukum.      
Akan tetapi ayat ini telah menimbulkan suasana yang berbeda samasekali dengan zaman jahiliyah. Panggilan untuk mencari penyelesaian jatuh ke atas pundak tiap-tiap orang-orang yang beriman. Termasuk keluarga si pembunuh dan keluarga si terbunuh. Dan orang-orang yang beriman itu adalah ber­saudara:
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image008.jpg
"Hanyasanya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara."
Maka kalau masih ada jalan lain, selain dari bunuh, yaitu jalan maaf, dalam suasana orang beriman, saudara dengan saudara, adalah sangat diharapkan. Sebab itu lanjutan ayat berbunyi:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَ أَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
"Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik."
Artinya jika ada pernyataan maaf dari keluarga yang terbunuh itu, walaupun sebahagian, tidak semuanya menyatakan pemberian maaf, hendaklah pernyataan maaf itu di­sambut dengan sebaik-baiknya. Sehingga dalam susunan ayat disebutkan bahwa yang memberi maaf itu ialah saudaranya; banyak ahli loghat memberi arti yaitu si pemberi maaf itu, sebagai keluarga dari yang terbunuh ialah memandang bahwa si pembunuh itu saudara sendiri, dia berikan kepadanya maaf. Pada waktu itu hakim harus menyetujui dan menguatkan pernyataan yang mulia itu. Itulah yang dikatakan mengikuti dengan baik. Maka dengan pemberian maaf permusuhan dua keluarga telah hilang, malahan telah dianggap bersaudara. Hakim menyambut keputusan kedua keiuarga ini dengan baik.
Tetapi si pembunuh dengan keluarganya sebagai orang-orang yang mu'min pula harus mengingat kelanjutan , supaya persaudaraan ini menjadi kekal dan dendam kesumat jadi habis. Di sinilah keluar peraturan yang bernama diyat. Yaitu harta ganti kerugian. Jaminan harta benda untuk keluarga yang terbunuh. Ini yang disebut diyat yang ditunaikan kepada nya dengan baik, cara yang ma'ruf. Tentu saja secara perdamaian kedua belah pihak de- ngan disaksikan hakim berapa diyat harus dibayar.
Lantaran itu jelaslah bahwa dalam hukum pidana pembunuhan, Islam mempunyai tiga taraf; pertama nyawa bayar nyawa, kedua maaf, ketiga diyat.
 Dalam qishash perkembangan hukum dalam Islam, ada juga kejadian, diyat itupun tidak diterimanya, karena berkembangnya rasa iman. Ada bapa dari yang terbunuh berkata kepada keluarga yang membunuh: "Anak saya yang satu sudah terbunuh oleh saudaranya sendiri, saya tidak mau kehilangan dua anak." Ketika akan dibayar diyat dia berkata: "Yang hilang tidaklah dapat diganti dengan uang. Marilah kita ganti saja dengan ukhuwah yang rapat di antara kita."
Apatah lagi pintu buat memberi maaf tentang diyat inipun memang ada. Tersebut di dalam Surat An- Nisa' (Surat 4, ayat 92).
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image010.jpg
"Dan diyat yang (wajib) diserahkan kepada keluarganya (keluarga si terbunuh)- Kecuali jika mereka (keluarga) itu menshadaqahkan." (an-Nisa': 92)
Maka berkata ayat selanjutnya:
ذَلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَ رَحْمَةٌ
"Demikianlah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat."
Moga-moga dengan cara peraturan demikian persaudaraanmu menjadi kekal, iman menjadi bertambah mendalam, dan pintu berdamai lebih terbuka daripada penuntutan hukum. Memberi ihsan lebih tinggi daripada menuntut hak. Di sini diminta sangat kebijaksanaan hakim.
Tetapi ayat mempunyai ujung lagi:
فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Tetapi barangsiapa yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih." (ujung ayat 178).
Sesudah hukum diputuskan, baik secara qishash ataupun secara diyat kalau masih ada yang membunuh, misalnya ada keluarga si terbunuh merasa tidak puas, lalu dibunuhnya si pembunuh tadi, padahal sudah selesai dengan bayaran diyat, karena ada di kalangannya yang memberi maaf; atau si pembunuh itu merasa congkak karena tidak jadi dia dihukum bunuh, maka tidak pelak lagi, azab yang pedihlah yang akan diterimanya. Artinya pada waktu itu hakim bertindak melakukan hukum yang tidak mengenal ampun, demi menjaga ketenteraman bersama. Hakim dapat membunuh si pembunuh itu. Dan di akhirat tentu saja orang yang merusak perdamaian itu mendapat hukum neraka yang pedih pula.  
Hukum yang terperinci tentang qishash, maaf dan dyat ada di dalam kitab­kitab Fiqh. Yang dapat disimpulkan di sini ialah hukum pidana Islam tentang qishash lebih banyak diserahkan Aepada jalan ishlah kedua belah p ihak; keluarga pembunuh dan yang terbunuh. Dan kalau keluarga terbunuh tidak mau menerima diyat, maka hakim tidak memaksa diyat, melainkan dibunuhlah si pembunuh itu oleh hakim. Yakni setelah diselidiki duduk perkara sedalam­dalamnya.
Menurut pengetahuan kita hukum qishash menurut al-Quran ini masih berjalan sepenuhnya dalam kerajaan Saudi Arabia, Yordania, Irak dait Kuwait. Kalau seorang pembunuh telah ditangkap dan diperiksa clan telah terang saiahnya, terlebih dahulu ditanya keluarga si terbunuh apakah dia mau memberi maat dan menerima diyat. Kalau mau akan diadakan penaksiran yang patut. Kalau keluarga itu tidak mau barulah dijalankan hukum bunuh:
Kita yakin bahwa hukum yang diturunkan al-Quran inilah jalan yang baik: Kalau sekiranya di serata-rata negeri Islam yang berlaku sekarang ialah hukum pidana secara barat, bukanlah berarti bahwa itulah yang lebih bagus, hanyalah karena beratus, tahun lamanya hukum baratlah yang menguasai negeri-negeri Islam sebab mereka jajah. Tetapi di negeri-negeri Islam Yang telah merdeka, di zaman sekarang mulai timbul kembali peninjauan atas hukum dan pembinaan hukum yang sesuai dengan keperibadian bangsa itu sendiri, di antaranya di negeri kita Indonesia. Tidaklah mustahil bahwa perkembangan fikiran kita akan sampai juga kepada cara Islam ini; qishash dasar pertama, maaf Yang kedua dan diyat, yaitu ganti kerugian di bawah tilikan hakim, yang ketiga.
(179) Dan untuk kamu di dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai fikiran dalam. Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa. http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179_files/image012.jpg 
وَ لَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
"Dan untuk kamu dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang­ orang yang mempunyai fikiran dalam." (pangkal ayat 179).
Artinya, dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat. Orang yang akan membunuh berfikir terlebih dahulu sebab diapun akan dibunuh. Lantaran itu hiduplah orang dengan aman dan damai, dan dapatlah dibendung kekacauan dalam masya­rakat karena yang kuat berlantas angan kepada yang lemah.
Tetapi kalau si pembunuh hanya dihukum misalnya 15 tahun, dan apabila datang hari besar, dan mungkin pula hukumannya dipotong, orang-orang yang telah rusak akhlaknya akan merasa mudah saja membunuh sesama manusia. Bahkan ada penjahat yang lebih senang masuk keluar penjara, ada yang memberi gelar bahwa penjara itu "hotel prodeo" atau pondokan gratis dan sebagainya.     
Sungguhpun demikian selalu juga ada terdengar ahli ahli ilmu masyarakat yang meminta supaya hukum bunuh itu ditiadakan. Tetapi apa yang dikatakan al-Quran adalah lebih tepat. Lebih baik dipegang pangkal kata, yaitu hutang nyawa bayar nyawa. Adapun membunuh dengan tidak sengaja ataupun dengan sebab-sebab yang lain, itu dapatlah diserahkan kepada penyelidikan polisi, jaksa atau hakim, sehingga menjatuhkan hukum dapat dengan seadil-adilnya. Tetapi meniadakan hukum bunuh sama sekali adalah suatu teori yang terlalu payah, sebab ahli-ahli penyakit jiwa manusia telah membuktikan memang ada kejahatan jiwa itu yang hanya dengan hukuman matilah baru dapat dibereskan. Apatah lagi orang yang telah membunuh, menjadi amat rusak jiwanya, sehingga bila bertengkar sedikit saja, mudah saja dia mencabut belati dan hendak membunuh lagi.
Maka di akhir ayat dinyatakanlah kunci yang sebenarnya:
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa."(ujung ayat 179).
Derigan ujung ayat yang demikian teranglah bahwa maksud masyarakat beriman ialah menegakkan keamanan, memelihara perdamaian dan memper­tahankan hidup. Kalau ada yang dihukum bunuh, adalah untuk menjaga keamanan hidup masyarakat seluruhnya. Dan dalam pada itu keselamatan hidup bukanlah bergantung kepada adanya undang-undang saja. Keamanan hidup orang dan masyarakat lebih terjamin apabila tiap-tiap peribadi ada mempunyai kesadaran beragama, yaitu takwa. Sehingga bukan undang-undang yang mencegah mereka jahat, melainkan takutnya kepada hukum Tuhan. Itulah T A K W A.
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_188_files/image002.jpg
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_188_files/image004.gif(188) Dan janganlah kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan jalan yang batil dan kamu bawa ke muka hakim-hakim, karena kamu hendak memakan sebahagian daripada harta benda manusia dengan dosa, padahal kamu mengetahui.
Harta Tak Halal
Pentinglah makanan buat hidup. Selalu Tuhan memberi ingat tentang makanan yang halal lagi baik, yang bersih dan sesuai dengan kita sebagai manusia. Pada ayat 168 diberi peringatan pada seluruh manusia. Kemudian ayat 172 dan 173 diperingatkan khusus kepada kaum yang beriman supaya me­makan makanan yang baik-baik dan menjauhi makanan yang keji, sehingga ditunjukkan apa dia yang keji itu. Dicela orang yang mata pencahariannya dengan menyembunyikan kebenaran karena mengharapkan harga yang se­dikit. Kemudian sesudah menerangkari dari hal qishash diterargkan iagi ten­tang wasiat, dan larangan curang dalam hal wasiat, dan pujian terhadap orang yang sudi mendamaikan orang yang berselisih tentang harta wasiat. Sesudah itu baru dibicarakan perkara puasa. Dalam bulan puasa diatur perkara makanan. Sekarang dilanjutkan lagi; ada hubungan dengan makanan atau kebersihan mata pencaharian.
"Dan janganlah kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan jalan yang batil." (pangkal ayat 188). Pangkat ayat ini membawa orang yang beriman kepada kesatuan dan kekeluargaan clan persaudaraan. Sebab itu dikatakan "hartabenda kamu di antara kamu." Ditanamkan di sini bahwa harta benda kawanmu itu adalah harta benda kamu juga. Kalau kamu aniaya hartanya, samalah dengan kamu menganiaya harta bendamu sendiri jua. Memakan harta benda dengan jalan yang salah , ialah tidak menurut jalannya yang patut dan benar. Maka termasuklah di sini segala macam penipuan, pe­ngicuhan, pemalsuan, reklame dan adpertensi yang berlebih-lebihan; asal keuntungan rnasuk: Menerbitkan buku-buku cabul clan menyebarkan gambar­-gambar perempuan telanjang pembangkit nafsu yang kalau ditanya, maka yang membuatnya mudah saja berkata: "Cari makan." Atau kolportir mencari pembeli suatu barang dengan memperlihatkah contoh yang bagus bermutu tinggi, padahal setelah ada persetujuan harga dan barang itu diterima, ternyata mulutnya di bawah dari contoh. Atau spekulasi terhadap barang vital dalam masyarakat, seumpama beras, ditahan lama dalam gudang karena mengharapkan harganya membubung naik, walaupun masyarakat sudah sa­ngat kelaparan, yang dalam agama disebut ihtikor. Atau menyediakan alat penimbang yang curang , lain yang pembeli dengan yang penjual.

Ini adalah contoh-contoh, atau dapat dikemukakan 1001 contoh yang lain, yang maksudnya ialah segala usaha mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan jalan yang tidak wajar dan merugikan sesama manusia, yang selalu bertemu dalam masyarakat yang ekonominya mulai kacau. Sehingga orang beroleh kekayaan dengan penghisapan dan penipuan kepada sesamanya manusia. - Sebab itu maka Islam sangat mengharamkan riba. Karena riba benar-benar suatu pemerasan atas tenaga manusia oleh manusia. Kelihatan di luar sebagai menolong melepaskan orang dari sesak dan kesulitan, padahal dipersulit lagi dengan membayar bunga. Ketentuan tentang riba, yang,disebur. riba fadhal atau riba nasi'ah akan diterangkan juga kelak pada waktunya.

Sampai-sampai kepada urusan upah-mengupah, dengan memberikan upah yang sangat rendah, tidak berpatutan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh yang diupah, tetapi terpaksa dikerjakan juga, karena dia lapar.
Untuk menjaga martabat iman maka ulama-ulamapun memberi ingat bahwa­sanya orang Yang tidak patut menerima zakat karena dia ada kemampuan, lalu diterimanya juga zakat itu, adalah haram hukumnya. Teringatlah akan guruku Almarhum Syaikh Abdulhamid Tuanku Mudo di Padang Panjang, pada suatu hari dikirimkan orang kepada beliau uang zakat dari Padang. Dengan lemah ­lembutnya uang zakat.itu telah beliau tolak, karena beliau tidak merasa berhak menerimanya, sebab beliau mampu. Kata beliau, makanan dan minuman beliau cukup dan pakaian beliaupun ada walaupun cara sederhana. Padahal oleh karena usia beliau seluruhnya sudah disediakan buat mengajar murid-murid beliau, tidaklah ada kesempatan beliau buat berusaha yang lain. Namun begitu ditolaknya juga zakat itu.
Setengah ahli Fiqh menyatakan pendapat bahwasanya seorang yang tidak ada pakaian buat shalat, sehingga boleh dikatakan bertelanjang, tidaklah wajib atasnya meminjam pakaian orang lain buat shalat. Daripada meminjam, tidak­lah mengapa dia shalat bertelanjang.
Termasuk juga di sini"perusahaan" membuat azimat, membikin"pekasih" untuk seorang perempuan supaya lakinya tetap kasih kepadanya. Termasuk jugalah di dalamnya menerima upah membaca Surat Yasin malam Jumat sekian kali, untuk dihadiahkan pahalanya kepada keluarga si pengupah yang telah mati. Termasuk juga di dalamnya apa yang ketika menafsirkan ayat 174 kifa sebutkan, yaitu orang-orang yang mendapat "penghasilan" dari fidyah shalat orang yang telah mati Termasuk jugalah di dalamnya orang-orang yang berdiri di pekuburan menunggu orang-orang yang akan memberinya upah membaca doa atau bertalkin atau membaca Surat Yasin yang diupahkan keluarga orang yang berkubur di sana. Lebih ganas lagi memakan harta kamu ini apabila sudah sampai membawa ke muka hakim. Sebagai lanjutan ayat: "Dan kamu bawa ke muka hakim-hakim, karena kamu hendak memakan sebahagian daripada harla benda manusia dengan dosa, padahal kamu me­ngetahui." (ujung ayat 188).
Kadang-kadang timbullah dakwa mendakwa di muka hakim. Katanya hendak mencari penyelesaian, padahal hubungan si pendakwa dengan si terdakwa telah keruh, dendam kesumat telah timbul, usahkan selesai malahan bertambah kusut.
Orang membawa perkaranya ke muka hakim, kadang-kadang kedua pihak memakai pokrol untuk mengalahkan lawan. Tetapi yang dimaksud ialah me­ngambil harta yang ada di tangan orang lain dengan jalan dosa. Hal yang seperti ini kerapkali benar bertemu di zaman penjajahan di negeri kita karena ke­kacauan keluarga. Di Minangkabau kerapkali anak dari seorangyang telah mati didakwa di muka hakim oleh kemenakan si mati itu. Dikatakan bahwa harta­benda si mati yang sekarang telah ada di tangan si anak, bukanlah harta pencaharian, tetapi harta pusaka. Sampai-sampai pendakwa mengatakan bah­wa meskipun dia telah mendapat harta pencaharian sendiri,namun si ke­menakan masih herhak atas harta itu, sebab waktu dia akan meninggalkan kampung halaman dahulunya yang memodalinya ialah kemenakan dan sau­dara-saudaranya yang perempuan. Sebab itu dia dari kecil dibesarkan dengan harta pusaka.
Di tanah Batak dan Mandailing pihak saudara daripada si mati pula yang menuntut isteri daripada si mati. Karena di dalam pergaulan hidup zaman seka­rang, si mati dengan isterinya telah merantau meninggalkan kampung halaman dan telah mendapat rezeki dan harta pencaharian Tetapi karena menurut adat Bafak dan Mandailing si perempuan setelah kawin adalah kepunyaan iceluarga suaminya, hendaklah pula hartabenda mendiang suaminya diserahkan, bahkan bersama dirinya sekali, ke dalam kuasa keluarga marga si Iak-laki. Ini dibawa perkara ke muka hakim.
Baik orang Minangkabau si kemenakan yang mendakwa anak mamaknya atau orang Batak dan Mandailing yang mendakwa isteri saudaranya, keduanya itu orang Islam. Mereka mengerti pembahagian faraidh menurut Islam. Tetapi karena tamak akan harta dunia yang fana, mereka tidak keberatan mengingkari peraturan agama yang telah mereka peluk, untuk kembali kepada adat jahi­liyah. "Padahal kamu mengetahui." Demikian bunyi ujung ayat. Mereka.me­ngetahui hukum agama,tetapi karena nafsu serakah harta, tidaklah diingat orang lagi hubungan keluarga silatur rahmi yang telah berpuluh tahun, dan darah yang telah bercampur dan keturunan yang telah menjadi saksi hubungan kedua belah pihak. Sampai hatilah orang pada masa itu di Mi- nangkabau mendakwa anaknya sendiri , keturunan dari saudaranya yang telah mati. Karena anak yang didakwa itu, kata mereka, telah berlain sukunya, telah orang lain.
Alhasil apa yang kita kemukakan ini hanyalah contoh-contoh belaka dari perbuatan mema kan harta kamu di antara kamu dengan ialah batil dan memakan harta benda manusia dengan dosa. Maka apabila jiwa kita telah kita penuhi dengan takwa, kita sudahlah dapat menimbang dengan perasaan yang halus mana pencaharian yang halal dan mana yang batil. Itulah sebab nya maka mata hati janganlah ditujukan kepada harta benda itu saja, tetapi ditujukanlah terle bih dahulu kepada yang memberikan anugerah harta itu, yaitu Allah. Dan di samping itu tanam kanlah perasaan bahwasanya silatur rahmi sesama ma­nusia jauh lebih tinggi nilainya dari pada harta benda yang sebentar bisa punah. Apatah lagi tiap-tiap harta yang didapat dengan jalan tidak benar itu amatlah panasnya dalam tangan, membawa gelisah diri dan menghilang kan ketentera­man. Sehingga walaupun di luar kelihatan mampu, pada batinnya itulah orang yang telah amat miskin, kosong dan selalu merasa puas. Ada yang hilang dari dalam diri , tetapi tidak tahu apa yang hilang itu.
Imanlah yang hilang itu.
Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnul Mundzir, bahwa lbnu Abbas menafsirkan "Dan janganlah kamu makan hartabenda kamu di antura kamu dengan jalan batil" ini, ialah bahwa ada seorang laki-laki memegang harta orang lain, tetapi tidak ada cukup keterangan dari yang empunya, maka orang itupun memung­kiri dan berkata bahwa harta itu adalah kepunyaan dirinya sendiri. Yang empunya hak mengadu kepada hakim, dia bersitegang-mempertahankan bahwa harta itu dia sendiri punya, sehingga yang sebenarnya berhak menjadi teraniaya.
Dan ditiwayatkan puta menurut tafsiran Mujahid bahwa makna ayat ini ialah: "Jangan kamu bersitegang urat leher di muka hakim, padahal hati sanubari sendiri tahu bahwa engkaulah yang zalim."
Menurut satu riwayat dari Said bin Jubair, bahwa Imru'ul-Qais bin Abi berselisih dengan Abdan bin Asywa` al-Hadhrami perkara sebidang tanah. Lalu Imru'ul-Qais bersedia bersum pah mempertahankan bahwa yang empunya ialah dia, maka turunlah ayat ini:
Itulah sebabnya maka ayat 282 dari Surat al-Baqarah memerintahkan agar soal-soal hutang piutang atau petaruh dan kepercayaan dikuatkan dengan surat menyurat dan dua saksi, supaya jangan menjadi hal-hal seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar