Selasa, 10 Mei 2011

TAfsir Sayyid Qhutb


Tafsir Sayyid Qhutb : Kriteria umat terbaik

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (110)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(Ali Imran / 3 : 110)
Ungkapan dengan kata “ukhrijat” merupakan ungkapan yang menarik perhatian. Ungkapan ini nyaris memperlihatkan tangan yang mengendalikan dengan lembut saat mengekspos umat ini sedemikian rupa dan menariknya keluar dari tataran ghaib yang gelap dan dari balik tabir abadi, hanya Allah yang mengetahui apa yang ada di baliknya. Ia adalah kata yang melukiskan gerak yang tidak diketahui kelebatannya sekaligus lembut ayunannya. Gerak yang menampilkan umat ke pentas wujud. Umat yang memiliki peran khusus, kedudukan khusus, dan perhitungan khusus:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. ”(110)
Hal ini seharusnya diketahui oleh umat Islam, agar mereka memahami hakikat dan nilai umat ini, dan mengetahui bahwa ia ditampilkan untuk menjadi pelopor dan pemimpin, karena mereka adalah merupakan umat terbaik. Allah ingin agar kepemimpinan ini menghasilkan kebaikan di muka bumi ini, bukan keburukan. Oleh sebab itu, umat ini tidak selayaknya mengikuti petunjuk umat lain di antara umat-umat Jahiliyah. Sebaliknya, mereka-lah yang harus memberikan apa yang dimilikinya kepada umat-umat lain, dan selalu memiliki apa yang bisa diberikan. Yaitu keyakinan yang benar, konsepsi yang benar, sistem yang benar, akhlaq yang benar, pengetahuan yang benar dan ilmu yang benar.
Itulah kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan dan tujuan eksistensinya. Yaitu senantiasa menjadi pelopor dan berada pada posisi pemimpin. Posisi ini memiliki banyak tanggungjawab. Posisi ini tidak bisa diraih dengan pengakuan semata, dan tidak akan diserahkan kepada umat ini kecuali jika mereka telah memiliki kelayakan untuk menerimanya. Dengan konsepsi akidahnya dan dengan sistem sosialnya, umat ini layak untuk menerima posisi tersebut.
Demikian juga dengan kemajuan ilmu pengetahuannya dan peradaban yang dibangunnya di muka bumi—dalam rangka melaksanakan tugas khilafah—maka mereka layak menduduki posisi tersebut. Dari sini jelas bahwa manhaj yang menjadi landasan berdirinya umat ini menuntut mereka untuk melakukan banyak hal dan mendorongnya agar menjadi terdepan dalam segala bidang. Asalkan mereka mengikuti manhaj, komit terhadapnya, dan menyadari berbagai konsekuensi dan tanggungjawabnya.
Konsekwensi pertama dari posisi ini adalah melindungi kehidupan ini dari keburukan dan kerusakan. Hendaknya mereka memiliki kekuatan yang memungkinkan untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, karena mereka adalah umat terbaik yang dimunculkan ke hadapan manusia. Bukan karena basa-basi atau pilih kasih, bukan karena kebetulan atau sembarangan—Mahasuci Allah dari semua itu—dan bukan pula jatah kehormatan dan kemuliaan sebagaimana dikatakan Ahli Kitab: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”.(5:18) Tidak! Melainkan didasari dengan tindakan aktif untuk melindungi kehidupan umat manusia dari kemungkaran, memberdirikan mereka di atas kebajikan, disertai iman yang dapat mendefinisikan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar:
“Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ” (110)
Itulah upaya melaksanakan segala tugas umat terbaik, dengan segala keletihan di balik tugas-tugas ini, dan dengan duri-duri yang ada di jalannya. Itulah upaya menentang keburukan, menggalakkan kebaikan, dan melindungi masyarakat dari berbagai faktor kerusakan. Semua itu adalah kesulitan yang berat, tetapi merupakan keharusan untuk menegakkan dan melindungi masyarakat yang baik, dan untuk mewujudkan bentuk kehidupan yang diinginkan Allah.
Harus ada iman kepada Allah untuk meletakkan kriteria yang benar tentang nilai, dan untuk menghasilkan definisi yang benar mengenai apa itu ma’ruf dan mungkar. Karena istilah masyarakat saja belum cukup. Ada kalanya kerusakan menyebar luas sehingga parameter dan kriteria menjadi tidak normal dan rusak, sehingga harus kembali kepada konsepsi yang baku tentang kebaikan dan keburukan, tentang keutamaan dan kenistaan, tentang yang ma’ruf dan yang mungkar, yang didasarkan pada landasan lain di luar terminologi manusia dalam salah satu generasi.
Itulah yang direalisasikan iman dengan cara meluruskan konsepsi yang benar tentang alam wujud dan hubungannya dengan Penciptanya. Juga tentang manusia, tujuan eksistensinya, dan posisinya yang sebenarnya di alam semesta ini. Dari konsepsi umum ini lahir kaidah-kaidah akhlaq. Dengan stimulasi untuk mencari ridha Allah dan menghindari murka-Nya, manusia terdorong untuk mewujudkan kaidah-kaidah tersebut. Dengan pengaruh keberadaan Allah di hati dan pengaruh syari’at-Nya di tengah masyarakat, kontrol dapat dilakukan dengan berdasarkan kaidah-kaidah tersebut.
Iman juga diperlukan agar para penyeru kebaikan, pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar itu bisa meniti jalan yang berat ini dan mampu menanggung segala bebannya, di saat mereka menghadapi para thaghut kejahatan yang berbuat zhalim, di saat mereka menghadapi para thaghut syahwat yang mencari pelampiasan, di saat mereka menghadapi jatuhnya mental, kendornya semangat, beratnya tujuan. Bekal mereka adalah iman, perlengkapan mereka adalah iman, dan sandaran mereka adalah Allah. Semua bekal selain bekal iman pasti habis, semua sarana selain sarana iman pasti rusak, dan semua sandaran selain sandaran Allah pasti!
Dalam rangkaian ayat ini, telah disampaikan perintah kepada jama’ah Muslim agar ada di antara mereka yang bangkit untuk mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Dan di sini Allah menjelaskan bahwa itulah sifat-sifat Jama’ah Muslim, untuk menunjukkan bahwa tidak ada wujud hakiki kecuali dengan terpenuhinya sifat utama ini, yang dengannya Jama’ah ini dikenal didalam masyarakat manusia. Jika telah melaksanakan da’wah kepada kebaikan, mmerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran—disertai iman kepada Allah—maka Jama’ah ini berarti telah eksis dan Muslim. Tetapi jika tidak melaksanakan sesuatu dari hal ini maka Jama’ah ini tidak eksis dan tidak merealisasikan sifat Islam pada dirinya.
Di dalam al-Qur’an hakikat amar ma’ruf dan nahy munkar ditegaskan di banyak tempat, kami akan membahasnya pada tempatnya nanti. Demikian pula, di dalam Sunnah terdapat banyak perintah dan arahan Nabi saw. Berikut ini kami menukil sebagiannya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Iika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Ketika Bani Israil melakukan berbagai maksiat, maka para ahli agama melarang mereka tetapi mereka tidak mau berhenti. Kemudian ahli agama itu duduk bersama mereka, saling bersandar dengan mereka, dan minum bersama mereka. Kemudian Allah mempertentangkan hati sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dan melaknati mereka melalui lisan Dawud, Sulaiman dan Isa bin Maryam.” Kemudian Nabi saw duduk—sebelumnya Beliau bersandar—seraya bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, janganlah kalian diam hingga kalian menarik mereka kepada kebenaran dengan kuat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai diriku, kamu harus memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, atau kalau tidak maka Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi)
Dari Aras bin Umairah al-Kindi ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila dosa dilakukan di muka bumi maka orang yang menyaksikannya lalu menolaknya sama seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya tetapi ridha terhadapnya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya.” (HR Abu Dawud)
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara jihad yang terbesar adalah kalimat keadilan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pemimpin syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang datang kepada penguasa yang sewenang-wenang lalu memerintahkan dan melarangnya, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR Hakim dan adh-Dhiya’ dari Jabir ra)
Dan masih banyak lagi hadist-hadist yang lain. Semuanya menegaskan orisinalitas karakter tersebut dalam masyarakat Muslim, dan sekaligus urgensinya bagi mereka. Hadist-hadist ini memuat materi arahan dan dan tarbiyyah yang sistematis dan padat. Arahan-arahan Nabi saw ini, disamping nash-nash al-Qur’an, merupakan bekal yang kita lupakan nilai dan hakikatnya.
Kita kembali kepada bagian lain dari ayat pertama di dalam penggal ini:
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(110)
Ini merupakan motivasi kepada Ahli Kitab untuk beriman, karena iman ini lebih baik bagi mereka. Lebih baik bagi mereka di dunia ini, karena dengan iman ini mereka akan terhindar dari perpecahan dan pembusukan yang menjangkiti konsepsi-konsepsi ideologi yang mereka anut selama ini. Ia juga menghalangi mereka untuk penguatan identitas, karena konsepsi-konsepsi mereka tidak mampu menjadi sistem sosial bagi kehidupan mereka sehingga tatanan-tatanan sosial mereka berdiri tanpa fondasi, timpang atau mengawang di udara sebagaimana layaknya setiap sistem sosial yang tidak berdiri di atas ideologi yang komprehensif dan di atas tafsir yang utuh tentang alam wujud, tujuan eksistensi manusia dan kedudukan manusia di alam semesta ini. Iman juga lebih baik bagi mereka di akhirat, karena ia menghindarkan mereka dari nasib buruk yang telah menanti orang-orang yang tidak beriman.
Ayat ini juga menjelaskan kondisi mereka, tanpa mengabaikan hak orang-orang shalih diantara mereka:
“Diatara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (110)
Sekelompok Ahli Kitab telah beriman dengan keimanan yang baik, di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Asad bin Ubaid, Tsa’labah bi Syu’bah dan Ka’ab bin Malik. Mengenai mereka itulah ayat ini berbicara secara umum—dan secara rinci di dalam ayat berikutnya, sedangkan kebanyakan mereka menyimpang dari agama Allah, ketika mereka tidak mematuhi perjanjian Allah dengan para Nabi: “Hendaknya masing-masing mereka beriman kepada saudaranya yang datang sesudahnya dan membelanya”. Mereka menyimpang dari agama Allah, enggan menerima kehendak Allah yang mengutus Rasul terakhir bukan dari kalangan mereka, dan enggan mengikuti Rasul tersebut dan menerapkan syari’at terakhir dari sisi Allah untuk semua manusia.
Karena sebagian kaum Muslimin masih memiliki berbagai hubungan dengan orang-orang Yahudi di Madinah, dan karena orang-orang Yahudi hingga saat ini masih memiliki kekuatan yang nyata, baik militer ataupun ekonomi, sehingga sebagian kaum Muslimin masih memperhitungkannya, maka al-Qur’an menumbuhkan keyakinan di dalam jiwa kaum

Bangsa yang dirahmati ALLAH


وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74) أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا (75) خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (76) قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا (77)
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (63)
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (64)
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal" (65)
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (66)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (67)
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)(68)
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina(69)
Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (70)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (71)
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (72)
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta(73)
Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (74)
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (75)
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (76)
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)(77) Al-Fueqa / 25 : 63 – 77).
Di dalam pelajaran yang lalu telah disebutkan sikap orang-orang musyrik yang pura-pura tidak tahu dan menganggap aneh nama Arrahman (Yang Maha Pemurah). Nah, inilah hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu, yang mengenal siapa itu Arrahman (Yang Maha Pemurah), berhak dinisbatkan kepada-Nya, dan berhak menjadi hamba-hamba-Nya. Mereka itu—dengan sifat-sifatnya yang unik dan unsur-unsur jiwa, perilaku, dan kehidupan mereka—merupakan contoh yang hidup dan konkret bagi jama’ah yang dimaksud Islam, dan bagi jiwa-jiwa yang dibangun Islam dengan metode edukasinya yang lurus. Mereka itulah orang-orang yang pantas dibanggakan Allah dan dicurahi perhatian-Nya di muka bumi. Semua manusia terlalu hina untuk dibanggakan Allah, seandainya tidak ada hamba-hamba-Nya di tengah-tengah mereka, dan seandainya tidak ada mereka yang menghadap kepada-Nya kepadanya dengan tunduk dan berdoa.
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (63)
Inilah ciri pertama di antara ciri-ciri para hamba Tuhan yang Maha Penyayang. Mereka berjalan di atas bumi dengan cara yang biasa, sederhana, tidak dibuat-buat, tidak angkuh, tidak mengangkat dagu, tidak berpaling muka, tidak berlenggak-lenggok, dan tidak membusungkan dada. Karena cara berjalan—sama seperti gerakan lainnya—itu mengungkapkan kepribadian dan perasaan yang ada di hati. Jiwa yang lurus, tentram, serius, dan bertujuan itu terefleksi pada cara berjalan empunya, sehingga ia pun berjalan dengan lurus, tenang, serius, dan bertujuan. Ada ketenangan, ketentraman, keseriusan, dan kekuatan di dalamnya. Arti kalimat yamsyuna ‘alal-ardhi haunan itu bukan berjalan dengan gemulai, kepala tertunduk, dan lemas, sebagaimana yang dipahami sementara orang yang ingin memperlihatkan takwa dan keshalehan! Rasulullah saw apabila berjalan maka tubuh beliau condong ke depan, dan beliau adalah orang yang paling cepat jalannya, paling bagus, dan paling tenang. Abu Hurairah ra berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih tampan daripada Rasulullah saw, seolah-olah matahari berjalan di wajah beliau. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat jalannya daripada Rasulullah saw, seolah-olah bumi ini dipendekkan jaraknya bagi beliau. Kami benar-benar menguras tenaga, sedangkan beliau tidak mengotot.” Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Rasulullah saw apabila berjalan, maka badan beliau condong ke depan, seolah-olah turun dari bukit.” Di tempat lain Ali ra berkata, “Apabila beliau berjalan, maka beliau taqallu’.” Taqallu’ adalah mengangkat kaki tinggi-tinggi dari tanah, seperti orang yang turun di tempat yang miring. Ini adalah cara berjalan orang-orang yang memiliki tekad dan keberanian. (Dikutip dari kitab Zadul-Ma’ad fi Hadyi Khairil-’Ibad, Syamsuddin Abu Abdullah bin Muhammad bin Qayyim al-Jauziyyah)
Dalam keseriusan, ketenangan, dan keterarahan kepada perhatian-perhatian besar yang menyita hati itu, mereka tidak menoleh kepada perbuatan dan perilaku bodoh orang-orang bodoh. Mereka tidak menggunakan pikiran, waktu, dan tenaga mereka untuk perdebatan atau pertengkaran bersama orang-orang yang bodoh dan dungu. Mereka juga menghindari perkataan yang tidak berujung pangkal dengan orang-orang yang suka membual. “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” Bukan karena lemah, tetapi untuk menjaga kehormatan dan untuk menghemat waktu dan tenaga agar tidak habis untuk hal-hal yang tidak pantas dilakukan orang terhormat, dan untuk menggunakannya dalam hal-hal yang lebih penting, lebih mulia, dan lebih tinggi.
Inilah siang hari yang mereka lalui bersama manusia. Sedangkan malam hari mereka isi dengan takwa, muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah), merasakan keagungan-Nya, dan takut terhadap adzab-Nya.
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahanam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.’” (64-66)
Ungkapan ini menyebut shalat, sujud, dan berdiri, untuk melukiskan gerak para hamba Tuhan yang Maha Pemurah di tengah malam saat manusia tidur. Mereka itulah kaum yang tidak tidur demi Tuhan mereka, bersujud dan berdiri, tawajjuh kepada Allah semata, berdiri untuk-Nya semata, dan sujud kepada-Nya semata. Mereka itu adalah kaum yang tidak sempat tidur untuk memperoleh relaksasi dan kenikmatan, demi sesuatu yang lebih merilekskan dan lebih nikmat (surga). Mereka sibuk menghadap Tuhan mereka, menambatkan ruh dan tubuh mereka pada-Nya. Manusia lain tidur namun mereka berdiri dan sujud; dan manusia lain condong ke tanah namun mereka mencari-cari ‘Arsy ar-Rahman yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Di dalam berdiri, sujud, pencarian, dan ketertambatan ini, hati mereka dipenuhi dengan takwa dan rasa takut terhadap siksa neraka Jahannam. Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahanam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman..” Mereka tidak pernah melihat neraka Jahannam, tetapi mereka memercayai keberadaannya dan membayangkan gambarannya sesuai yang tertera di dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah yang mulia. Rasa takut yang indah ini merupakan buah iman yang mengakar dan hasil dari tashdiq
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74) أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا (75) خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (76) قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا (77)
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (63)
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (64)
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal" (65)
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (66)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (67)
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)(68)
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina(69)
Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (70)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (71)
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (72)
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta(73)
Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (74)
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (75)
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (76)
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)(77) Al-Fueqa / 25 : 63 – 77).
Mereka menghadap Tuhan mereka dengan tunduk dan khusyuk supaya Dia menjauhkan adzab Jahannam dari mereka. Mereka tidak merasa tenang lantaran berjaga di malam hari untuk berdiri dan sujud di hadapan Tuhan. Karena ketakutan yang bergejolak dalam hati membuat mereka memandang kecil amal dan ibadah mereka, tidak melihatnya sebagai jaminan dan pelindung dari neraka, apabila mereka tidak memperoleh karunia Allah, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya, sehingga Dia menjauhkan adzab Jahannam dari mereka.
Ungkapan di atas memberi inspirasi bahwa seolah-olah Jahannam itu mengancam setiap orang, menghadang setiap manusia, menganga mulutnya hendak menelan, dan mengayunkan tangannya untuk menangkap manusia, baik yang dekat atau yang jauh! Hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah, yang berjaga di malam hari untuk sujud dan berdiri untuk Tuhan mereka itu takut dan khawatir akan siksa Jahannam, berendah diri di hadapan Tuhan agar Dia menjauhkan adzab itu dari mereka, serta menyelamatkan mereka dari terkamannya!
Kalimat mereka bergetar saat mereka berendah diri di hadapan Tuhan mereka dengan takut dan cemas: “Sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Maksudnya, adzabnya itu tetap, tidak meninggalkan penerimanya, dan tidak pernah membiarkannya berbaring. Inilah yang membuatnya menakutkan dan mengerikan.. “Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman..” (66) Adakah tempat tinggal bagi manusia yang lebih buruk daripada Jahannam. Bagaimana bisa berdiam tenang, sedangkan tempat itu adalah neraka? Mana mungkin menetap, sedangkan ia dibolak-balik di atas kobaran api siang dan malam?
Hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu adalah teladan dalam hal kesederhanaan, perilaku moderat, dan keseimbangan.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (67)
Inilah karakter Islam yang hendak direalisasikannya dalam kehidupan individu dan jama’ah, dan menjadi orientasinya dalam pembinaan dan penetapan syari’at. Islam mendiringkan seluruh bangunannya di atas keseimbangan dan sifat moderat.
Meskipun Islam mengakui kepemilikan pribadi yang harus dihormati, namun seorang Muslim bukan orang yang bebas membelanjakan kekayaan pribadinya sekehendak hatinya—sebagaimana yang ada dalam sistem kapitalisme di berbagai negara yang tidak memberlakukan syari’at Ilahi pada setiap bidang. Seorang Muslim terikat dengan prinsip moderat antara boros dan pelit. Boros dapat merusak jiwa, kekayaan, dan masyarakat. Sedangkan pelit juga sama, yaitu menahan kekayaan agar tidak didayagunakan, baik oleh pemiliknya atau oleh masyarakat di sekitarnya. Karena kekayaan adalah sarana untuk merealisasikan pelayanan sosial. Boros dan pelit menciptakan ketidak-seimbangan di bidang sosial dan ekonomi. Menahan kekayaan dapat menimbulkan berbagai problematika, sama seperti menghaburkan kekayaan tanpa perhitungan. Selain itu juga menimbulkan kerusakan hati dan akhlak.
Saat mengatur sisi kehidupan ini, Islam memulainya dari jiwa individu, sehingga menjadikan sifat moderat sebagai salah satu ciri iman.
“Dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (67)
Ciri hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah sesudah itu adalah tidak menyekutukan Allah, menjaga diri dari menghilangkan nyawa, dan menjauhi perbuatan zina. Itulah dosa-dosa besar dan mungkar yang pelakunya pantas menerima adzab yang pedih.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (68-71)
Tauhid kepada Allah merupakan dasar akidah ini dan titik persimpangan jalan antara kejelasan, konsistensi, kesederhanaan dalam keyakinan dengan kesamaran, kebengkokan, dan kompleksitas yang tidak mungkin menjadi dasar dari sistem yang sesuai bagi kehidupan.
Menjaga diri dari menghilangkan nyawa—kecuali dengan alasan yang benar—merupakan titik persimpangan jalan antara kehidupan sosial yang aman dan tentram, serta menghargai kehidupan insani dan memberikan apresiasi terhadapnya, dengan kehidupan rimba dan goa dimana seseorang tidak merasa terjamin nyawanya dan tidak tenang dalam bekerja dan membangun.
Menjaga diri dari zina merupakan titik persimpangan jalan antara kehidupan yang bersih dimana manusia merasakan kemuliaan dirinya dari perasaan hewani yang kasar, dan merasakan bahwa kontaknya dengan lawan jenis merupakan sebuah tujuan yang lebih tinggi daripada sekedar melampiaskan gejolak daging dan darah. Kehidupan yang rendah dan kasar, dimana laki-laki dan perempuan tidak memiliki tujuan apapun selain melampiaskan gejolak tersebut.
Oleh karena ketiga sifat ini merupakan pemisah jalan antar kehidupan yang pantas bagi manusia yang mulia di hadapan Allah dengan kehidupan yang murah, kasar, dan rendah hingga tataran hewan..oleh karena itu, Allah menyebutkannya di antara deretan sifat-sifat hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah, makhluk yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Setelah itu Allah mengulasnya dengan ancaman yang keras: “Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)..” Maksudnya adalah adzab. Penafsiran adzab ini disebutkan pada ayat sesudahnya: “(Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina..” (69) Bukan hanya adzab yang dilipat-gandakan, tetapi juga disertai kehinaan, dan itu lebih keras dan menyengsarakan.
Kemudian Allah membuka pintu tobat bagi orang yang ingin sealmat dari nasib akhir yang mengenaskan ini. Selamat dengan tobat, iman yang benar, dan amal shaleh.
“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shaleh..” Allah berjanji kepada orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal shaleh itu untuk mengganti dosa-dosa yang mereka lakukan sebelum tobat dengan kebaikan-kebaikan sesudahnya yang ditambahkan pada kebaikan-kebaikan mereka yang baru: “Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan..” Ini adalah limpahan karunia Allah yang tidak sebanding dengan amal seorang hamba, kecuali karena ia mengikuti petunjuk, kembali dari kesesatan, kembali kepada perlindungan Allah, dan berpulang kepada-Nya setelah terlunta-lunta dan linglung: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (70)



وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74) أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا (75) خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (76) قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا (77)
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (63)
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (64)
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal" (65)
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (66)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (67)
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)(68)
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina(69)
Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (70)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (71)
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (72)
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta(73)
Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (74)
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (75)
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (76)
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)(77) Al-Fueqa / 25 : 63 – 77).
Pintu tobat selalu terbuka. Setiap orang yang tersadar nuraninya dan ingin kembali bisa memasukinya. Orang yang mengarah kepadanya tidak dihalangi, dan orang yang hendak kembali tidak ditutup jalannya, kapapun, dan apapun dosa yang diperbuat.
Thabrani meriwayatkan dari hadits Abu Mughirah, dari Shafwan bin ‘Umar, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abu Farwah, bahwa ia mendatangi Nabi saw dan bertanya, “Bagaimana pendapat dengan seorang laki-laki yang mengerjakan semua dosa, tidak meninggalkan sedikit pun dorongan nafsunya. Apakah ia berhak bertobat?” Beliau balik bertanya, “Apakah kamu sudah masuk Islam?” Ia menjawab, “Sudah.”
Beliau bersabda, “Ya.” Maka, Abu Farwah terus-menerus bertakbir sampai menghilang dari pandangan.
Kemudian al-Qur’an meletakkan kaidah dan syarat tobat: “Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya..” (71) Karena tobat itu diawali dengan penyesalan dan menghentikan maksiat, dan diakhiri dengan amal shaleh yang menetapkan bahwa tobat tersebut benar dan sungguh-sungguh. Dan pada waktu yang sama, amal shaleh itu memunculkan tebusan positif dalam hati untuk menjauhi maksiat. Karena maksiat adalah amal dan gerak. Kekosongannya harus diisi dengan amal dan gerak yang menjadi lawannya. Bila tidak, maka hati terus terdorong kepada kekeliruan awal karena terpengaruh oleh kekosongan yang dirasakan setelah menghentikan maksiat. Inilah penjelasan sekilas yang menakjubkan tentang metode tarbiyyah al-Qur’an, yang berpijak pada pengetahuan yang mendalam tentang jiwa manusia. Siapa yang lebih mengenal ciptaan-Nya daripada Khaliqnya sendiri? Mahasuci dan Mahatinggi Allah!
Setelah penjelasan yang lebar ini, konteks surat kembali kepada ciri-ciri para hamba Tuhan yang Maha Pemurah.
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (72)
Syahadatuz-zur bisa dipahami secara tekstual dan menurut artinya yang dekat, yaitu bahwa mereka tidak menjalankan persaksian palsu karena yang demikian itu dapat menghilangkan hak dan menyokong kezhaliman. Tetapi, lafazh ini juga bisa diartikan menghindari suatu tempat hanya karena ada kepalsuan di dalamnya dengan semua jenis dan warnanya, demi menjaga kehormatan diri dari menyaksikan tempat-tempat semacam ini. Makna ini lebih tepat dan lebih mengena. Begitu juga, mereka menjaga diri dan perhatian mereka dari laghwu dan kesia-siaan: “Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya..” (72) Mereka tidak menyibukkan diri dengannya, dan tidak mencemari diri dengan mendengarnya. Mereka memuliakan diri dari bersentuhan, melihat, apalagi terlibat di dalamnya! Karena seorang mukmin memiliki kesibukan sendiri sehingga melupakan permainan dan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ia tidak punya waktu luang yang mendorongnya melakukan permainan yang tidak bermakna. Ia senantiasa tersita waktunya untuk masalah akidah, dakwah, dan tugas yang berkaitan dengan dirinya dan kehidupan.
Ciri lain hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah adalah mereka cepat sadar apabila diingatkan, mudah memetik pelajaran apabila dinasihati, dan terbuka hatinya terhadap ayat-ayat Allah yang mereka peroleh dengan memahami dan memetik pelajaran.
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (73)
Ungkapan ini mengandung sindiran bagi orang-orang musyrik yang menelungkupkan wajah pada tuhan, akidah, dan kebatilan mereka seperti orang yang tuli dan buta; tidak mendengar dan melihat, serta tidak mencari-cari petunjuk atau cara. Gerakan menelungkupkan wajah tanpa mendengar, melihat, dan merenung itu adalah sebuah gerakan yang melukiskan kondisi lalai, tertutup, dan fanatisme buta. Sedangkan hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu mempersepsi dengan kesadaran dan tajam mata batinnya terhadap kebenaran yang ada di dalam akidah mereka dan di dalam ayat-ayat Allah, sehingga mereka beriman dengan sadar, bukan fanatisme buta, dan bukan dengan menelungkupkan wajah! Apabila mereka antusias terhadap akidah mereka, maka itu adalah antusiasme orang yang tahu, paham, dan melihat.
Terakhir, hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu tidak cukup dengan berjaga di malam hari untuk sujud dan berdiri kepada Tuhan mereka; tidak cukup dengan ciri-ciri besar itu semua. Tetapi, mereka juga berharap memiliki penerus yang mengikuti jalan mereka, dan memiliki pasangan yang setipe dengan mereka, sehingga hati mereka menjadi sejuk, jiwa mereka menjadi tentram, dan semakin bertambah jumlah hamba-hamba yang Maha Pemurah. Mereka juga berharap Allah menjadikan mereka sebagai teladan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’” (74)
Ini merupakan perasaan fitran imani yang mendalam: menginginkan penambahan jumlah orang-orang yang meniti jalan Allah, terutama dari keturunan dan istri-istri, karena mereka adalah pengikut yang terdekat dan amanah pertama yang ditanyakan kepada kaum laki-laki. Begitu juga keinginan agar seorang mukmin itu merasakannya sebagai telah dilakukan.



وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74) أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا (75) خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (76) قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا (77)
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (63)
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (64)
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal" (65)
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (66)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (67)
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)(68)
(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina(69)
Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (70)
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (71)
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (72)
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta(73)
Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (74)
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (75)
Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (76)
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)(77) Al-Fueqa / 25 : 63 – 77).
Sedangkan balasan bagi hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu dijadikan sebagai penutup penjelasan ini.
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” (75-76)
Barangkali yang dimaksud dengan kata ghurfah adalah surga, atau tempat khusus di dalam surga. Sebagaimaan ghurfah itu tempat yang paling mulia di dalam rumah menurut kebiasaan manusia ketika mereka menyambut tamu. Orang-orang mulia yang telah disebutkan sifat dan ciri mereka itu disambut di dalam ghurfah dengan penghormatan dan ucapan selamat, sebagai balasan terhadap kesabaran mereka dalam mempertahankan sifat-sifat dan ciri-ciri tersebut. Ungkapan ini memiliki indikasi sendiri. Karena tekad itu membutuhkan kesabaran terhadap syahwat, godaan hidup, dan dorongan untuk terjatuh. Istiqamah adalah sebuah usaha yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan sabar. Kesabaran yang patut disebutkan Allah di dalam al-Furqan ini.
Kontras dengan Jahannam yang mereka minta dengan tadharru’ kepada Allah untuk dijauhkan darinya itu, Allah membalas mereka dengan surga. “Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman..” (76) Insya’allah, mereka tidak keluar darinya, dan mereka menetap dan diam di dalamnya dalam sebaik-baik kondisi.
Sekarang, sesudah memaparkan sifat hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah, manusia pilihan yang bersih, maka surat ini ditutup dengan penjelasan tentang kehinaan manusia di hadapan Allah seandainya tidak ada orang-orang yang menatap ke langit. Dan bagi orang-orang yang mendustakan, telah dipastikan adzab bagi mereka.
“Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (adzab) pasti (menimpamu).’” (77)
Penutup ini serasi dengan tema surat dan konteksnya untuk menghibur Rasulullah saw atas sikap keras kepala, keangkuhan, dan kelancangan yang beliau terima dari kaumnya. Mereka mengetahui kedudukan beliau, tetapi mereka melawan dan keras kepala demi mempertahankan kebatilan yang mereka anut..Apalah arti kaum itu, bahkan semua manusia, seandainya tidak ada minoritas mukmin yang beribadah dan tadharru’ kepada Allah, sebagaimana hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah itu beribadah dan tadharru’?
Apalah arti mereka, sedangkan bumi yang menghimpun semua manusia itu hanyalah partikel kecil di ruang angkasa yang sangat luas? Lagi pula, seluruh manusia hanyalah salah satu jenis makhluk hidup yang banyak di muka bumi. Satu umat di antara umat-umat di bumi dan satu generasi di antara manusia itu hanyalah satu halaman dari kitab besar yang tidak diketahui jumlah halamannya kecuali oleh Allah.
Meskipun demikian, manusia merasa besar dan mengira dirinya berarti. Mereka berkata lancang dan lancang, bahkan terhadap Penciptanya Subhanah! Padahal manusia itu amat sangat hina, lemah, dan terbatas. Kecuali jika ia berhubungan dengan Allah sehingga menerima kekuatan dan kearifan darinya. Pada saat itu sajalah ia memiliki arti dalam timbangan Allah, dan terkadang mengungguli malaikat-malaikat ar-Rahman dalam timbangan ini. Yang demikian itu merupakan kelebihan dari Allah yang memuliakan manusia dan menyuruh malaikat untuk sujud kepadanya, supaya ia mengenal-Nya, berhubungan dengan-Nya, dan beribadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia telah mempertahankan berbagai karakteristik yang karenanya para malaikat sujud kepadanya. Bila tidak, maka manusia hanyalah barang yang tidak berharga. Seandainya semua manusia diletakkan dalam timbangan, maka tidak akan menggulingkan sayap timbangan!
“Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu..’” Ungkapan ini mengandung sandaran dan penopang bagi Rasulullah saw. “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu..’” karena aku berada dalam pengayoman dan perlindungan-Nya..Jadi, apalah arti kalian tanpa iman kepada-Nya dan bergabung ke dalam hamba-hamba-Nya? Kalian hanyalah bakar bakar neraka Jahannam.. “(Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpamu)..”
dan kepada kebaikan dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang mencintai Allah. Yang demikian itu bukan egoisme dan hegemoni, karena seluruh kafilah berada di jalan menuju Allah.

FAKTOR-FAKTOR KESUKSSESAN

Inilah faktor-faktor kemenangan yang hakiki: tsabat (teguh pendirian) saat berhadapan dengan musuh, berhubungan dengan Allah melalui dzikir, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban berat perang, serta menghindari sikap angkuh, riya’, dan sewenang-wenang.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (46)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. 8: 45-46)
Inilah faktor-faktor kemenangan yang hakiki: tsabat (teguh pendirian) saat berhadapan dengan musuh, berhubungan dengan Allah melalui dzikir, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban berat perang, serta menghindari sikap angkuh, riya’, dan sewenang-wenang.
Tsabat (teguh) adalah awal perjalanan menuju kemenangan. Kelompok yang menang adalah yang paling teguh. Tahukah orang-orang mukmin bahwa musuh mereka menghadapi kesulitan yang lebih berat daripada apa yang mereka hadapi, dan bahwa merasakan sakit seperti mereka, tetapi musuh mereka tidak mengharapkan sesuatu dari Allah seperti yang orang-orang mukmin harapkan? Jadi, musuh Islam tidak punya motivasi harapan kepada Allah yang bisa meneguhkan pendirian dan hati mereka! Seandainya orang-orang mukmin bisa teguh barang sebentar, maka musuh mereka pasti patah semangat lalu kalah. Apa yang bisa menggoyahkan kaki orang-orang mukmin saat mereka yakin akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: syahid atau kemenangan? Sementara itu, musuh mereka hanya menginginkan kehidupan dunia. Mereka sangat tamak terhadap kehidupan dunia, tidak memiliki harapan terhadap kehidupan sesudahnya. Kehidupan mereka hanyalah di dunia.
Banyak berdzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh merupakan arahan abadi bagi setiap mukmin. Ia juga merupakan ajaran tetap yang mengakar di hati kelompok mukmin. Al-Qur’an telah menceritakannya dalam sejarah umat Muslim dalam parade iman sepanjang sejarah.
Diantara kisah yang dituturkan al-Qur’an adalah ucapan para penyihir Fira’un ketika hati mereka menyerah kepada iman secara tiba-tiba. Para penyihir itu berkata:
“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.’ (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (al-A’raf : 26)
Begitu pula kisah orang-orang mukmin minoritas dari kalangan Bani Israil saat mereka menghadapi Jalut dan pasukannya:
“Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tenteranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’” (al-Baqarah: 250)
Begitu pula kisah tentang kelompok-kelompok mukmin sepanjang sejarah saat menghadapi perang:
“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan alah, dan tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Ali Imran: 146-147).
Ajaran ini telah mengakar di dalam jiwa jama‘ah muslim, sehingga inilah yang menjadi watak mereka saat menghadapi musuh. Sesudah itu, Allah mengisahkan kelompok yang mendapatkan luka-luka dalam perang Uhud. Ketika mereka diajak berperang pada hari kedua, maka ajaran ini hadir dalam jiwa mereka:
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baiknya Pelindung’” (Ali Imran (3): 173)
Dzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh memainkan banyak fungsi. Ia menghubungkan umat Islam dengan kekuatan yang tidak terkalahkan dan melahirkan keyakinan kepada Allah yang menolong para kekasih-Nya. Pada saat yang sama, dzikir dapat menghadirkan hakikat perang, motivasi, dan tujuannya ke dalam hati, yaitu perang demi Allah, untuk menetapkan uluhiyah-Nya di muka bumi, dan mengusir para thaghut yang mencuri uluhiyah ini. Jadi, perang tersebut bertujuan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, bukan untuk kejayaan pribadi atau bangsa. Selain itu, perintah tersebut menegaskan kewajiban dzikir kepada Allah di saat-saat paling kritis dan situasi paling sulit. Semua itu merupakan inspirasi yang memiliki arti penting dalam perang. Semua inspirasi tersebut dapat diwujudkan oleh ajaran Robbani ini.
Sedangkan tujuan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah agar orang-orang mukmin turun ke kancah perang dalam keadaan berserah diri kepada Allah, sehingga berbagai penyebab perselisihan dapat dicegah dengan ketaatan tersebut:
“...Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...” (46)
Manusia tidak saling berbantah kecuali ketika kepemimpinan dan komando terbagi-bagi, dan pada saat hawa nafsu menguasai pendapat dan pikiran. Apabila manusia berserah diri kepada Allah dan patuh kepada Rasul-Nya, maka penyebab pertama dan utama perselisihan dapat dihilangkan—meskipun sudut pandang terhadap masalah yang dihadapi berbeda-beda. Karena hal yang memicu perselisihan bukan perbedaan sudut pandang, melainkan hawa nafsu yang mengagitasi tiap orang untuk memaksakan sudut pandangnya meskipun ia mengetahui mana yang benar!
Hal yang menyebabkan percekcokan adalah meletakkan ego dan kebenaran dalam satu timbangan, lalu memenangkan ego di atas kebenaran! Dari sini Allah memberi ajaran untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam perang. Ini adalah bagian dari proses kontrol yang harus dilakukan dalam perang. Itulah ketaatan terhadap pimpinan tertinggi di dalam perang. Dari sini muncul perintah untuk menaati panglima yang memimpin perang. Ketaatan tersebut adalah ketaatan dari hati yang mendalam, bukan sebatas ketaatan struktural di tengah pasukan yang tidak berjihad karena Allah, dimana loyalitas kepada pemimpin tidak didasarkan loyalitas kepada Allah sama sekali. Perbedaan antara keduanya sangat jauh.
Sabar adalah sifat yang harus dimiliki untuk memasuki pertempuran, pertempuran apapun, baik di medan mental atau di medan perang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (46)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. 8: 45-46)
Sabar adalah sifat yang harus dimiliki untuk memasuki pertempuran, pertempuran apapun, baik di medan mental atau di medan perang.
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (46)
Ma’iyah (kesertaan) Allah inilah yang menjadi penjamin kemenangan, kesuksesan dan keberuntungan bagi orang-orang yang sabar..
Kini tinggal ajaran terakhir:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (47)
Ajaran terakhir ini berfungsi untuk menjaga kelompok mukmin dari sifat angkuh saat berangkat perang, sewenang-wenang, takjub dengan kekuatannya sendiri, serta dari menggunakan nikmat kekuatan yang diberikan Allah secara tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sesungguhnya kelompok mukmin berangkat berperang di jalan Allah untuk meneguhkan uluhiyah Allah dalam kehidupan manusia, dan menetapkan ‘ubudiyah para hamba kepada Allah semata. Kelompok mukmin berperang untuk menghancurkan para thaghut yang mencuri hak Allah dengan memperbudak hamba-hamba-Nya, yang mempraktikkan uluhiyah di muka bumi dengan menjalankan hakimiyah (otoritas legislasi) tanpa izin dan aturan dari Allah. Mereka keluar untuk mendeklarasikan kemerdekaan manusia di muka bumi dari setiap penghambaan kepada selain Allah, yang melecehkan kemanusiaan dan kehormatan manusia. Mereka keluar untuk melindungi kehormatan, kemuliaan, dan kemerdekaan manusia, bukan untuk menguasai manusia, memperbudak mereka, dan congkak dengan nikmat kekuatan dengan menggunakannya secara negatif. Mereka kelompok yang berangkat berperang bukan untuk mengejar kepentingan pribadi, sehingga kemenangan yang mereka capai semata-mata untuk merealisasikan taat kepada Allah dengan memenuhi perintah-Nya untuk berjihad, menegakkan manhaj-Nya dalam kehidupan, meninggikan kalimat-Nya di muka bumi, dan mencari karunia dan ridha-Nya sesudah itu. Kalau ada harta pampasan sesudah perang, maka itu merupakan karunia Allah.
Gambaran keberangkatan pasukan dengan sikap angkuh, riya’ kepada manusia, dan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah itu terbayang di pelupuk mata kelompok Muslim. Mereka pernah melihatnya saat kaum Quraisy berangkat berperang. Sebagaimana gambaran tentang akibat sikap tersebut juga terlihat pada apa yang telah menimpa orang-orang Quraisy yang keluar pada hari itu dengan bangga dan sombong untuk menantang Allah dan Rasul-Nya. Di akhir babak, mereka kembali dengan membawa kehinaan, kegagalan, dan kekalahan. Allah swt mengingatkan kelompok Muslim dengan sesuatu yang faktual, yang memiliki kesan dan inspirasinya tersendiri:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.”(47)
Sikap angkuh, riya’, dan menghalangi manusia dari jalan Allah, seluruhnya jelas terlihat pada ucapan Abu Jahal. Delegasi Abu sufyan menemui Abu Jahal—setelah Abu Sufyan berhasil membawa kabur kafilah dagang hingga selamat dari hadangan kaum Muslimin—untuk memintanya menarik mundur pasukan, karena mereka tidak perlu lagi memerangi Muhammad dan para sahabatnya. Orang-orang Quraisy berangkat perang dengan membawa wanita-wanita penghibur dan alat musik untuk bernyanyi, dan menyembelih unta di setiap persinggahan. Lalu Abu Jahal berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badar. Lalu kami akan tinggal di sana selama tiga hari, menyembelih binatang, makan-makan, minum khamer, dan menikmati nyanyian para wanita penghibur, hingga bangsa Arab takut kepada kami selama-selamanya.”
Ketika utusan itu menyampaikan jawaban Abu Jahal kepada Abu Sufyan, maka Abu sufyan berkata: “Duhai kaumku! Ini adalah perbuatan ‘Umar bin Hisyam (Abu Jahal). Ia tidak mau pulang karena ia memimpin pasukan dan berbuat sewenang-wenang, padahal kesewenang-wenangan itu pembawa kerugian dan kesengsaraan. Bila Muhammad mengalahkan pasukan itu, maka hinalah kita.”
Firasat Abu Sufyan ternyata benar. Muhammad saw berhasil mengalahkan pasukan itu, dan orang-orang musyrik menjadi hina lantaran sikap angkuh, riya’, dan menghalangi manusia dari jalan Allah. Badar menjadi tempat hancurnya kekuatan mereka:
“Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (47)
Tidak ada sesuatu dari mereka yang luput dari-Nya. Tidak ada satu pun kekuatan mereka yang membuat-Nya tidak berdaya. Dan Dia meliputi mereka dan apa yang mereka kerjakan.


KONSEP PERSATUAN DALAM UMAT ISLAM

Sikap komunitas adalah moderat, antara menerima dan menolak berita-berita yang sampai kepadanya, dan mereka tidak buru-buru mengeluarkan satu kebijakan berdasarkan berita seorang yang fasik.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8) وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12) يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (6)
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (7),
sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (8)
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah di antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (9)
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (10)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (kerena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang mengolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang menglok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiridan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan deging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa Jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerimam tobat lagi Maha Penyayang(12)
Hai menusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah illah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal(13) (Al-Hujuran / 49 : 9 – 13)
Seruan pertama ditujukan kepada pihak pemimpin dan penerima pesan. Dan seruan kedua untuk menetapkan etika dan penghormatan yang sepantasnya untuk pemimpin. Keduanya merupakan dasar seluruh instruksi dan penetapan syari’at dalam surat ini. Jadi, harus ada kejelasan sumber yang menjadi acuan orang-orang mukmin, dan harus ada pengakuan dan penghormatan terhadap pimpinan, agar setelah itu instruksi-instruksi ini dinilai, dipertimbangkan, dan ditaati. Dan dari sini muncul seruan ketiga yang menjelaskan kepada orang-orang mukmin tentang bagaimana mereka menerima berita dan bagaimana mereka mengolahnya; serta menetapkan keharusan mengklarifikasi sumbernya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (6)
Orang fasik disebut secara khusus karena besar kemungkinan ia berbohong. Yang demikian ini untuk mencegah hal-hal yang meragukan itu merebak di kalangan komunitas Muslim menyangkut setiap berita yang dibawa oleh individu-individunya, sehingga terjadi semacam kelumpuhan di dalam informasi-informasinya. Pada dasarnya, individu-individu komunitas Muslim itu terpercaya, dan berita-berita itu juga dibenarkan dan bisa diambil. Sedangkan orang fasik itu beritanya dicurigai, sehingga beritanya perlu diklarifikasi. Dengan demikian, sikap komunitas adalah moderat, antara menerima dan menolak berita-berita yang sampai kepadanya, dan mereka tidak buru-buru mengeluarkan satu kebijakan berdasarkan berita seorang yang fasik, sehingga bisa mengakibatkan suatu komunitas Muslim menyerang suatu kaum karena ketidak-tahuan dan sikap buru-buru mereka, sehingga pada akhirnya komunitas Muslim itu menyesal telah berbuat apa yang dimurkai Allah dan bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.
Banyak mufasir memaparkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Walid bin ‘Uqbah bin Abu Mu’ith. Yaitu ketika Rasulullah saw mengutusnya untuk menangani zakat Bani Mushthaliq. Ibnu Katsir menulis: Mujahid dan Qatadah mengatakan, “Rasulullah saw mengutus Walid bin ‘Uqbah kepada bani Mushthaliq untuk memungut zakat dari mereka, dan mereka pun menyambut Walid dengan menyediakan zakat.
Kalu ia pulang dan berkata, ‘Sesungguhnya bani Musthaliq untuk mengumpulkan kekuatan untuk memerangimu (Qatadah menambahkan: dan bahwa mereka telah murtad dari Islam).” Lalu Rasulullah saw mengirim Khalid bin Walid ra kepada mereka, dan memerintahkannya untuk mengklarifikasi dan tidak menyikapi dengan terburu-buru. Maka berangkatlah Khalid bin Walid, dan ia pun tiba di tempat mereka pada malam hari. Lalu ia mengirimkan mata-matanya. Ketika mata-mata itu kembali, mereka mengabari Khalid ra bahwa mereka masih memeluk Islam dan bahwa mata-mata itu mendengar adzan dan shalat mereka. Ketika pagi tiba, Khalid ra mendatangi perkampungan mereka dan menyaksikan sesuatu yang membuatnya terkagum. Lalu ia kembali ke tempat Rasulullah saw untuk menyampaikan kabar tersebut. Maka, Allah Ta’ala menurunkan ayat mulia ini.” Qatadah mengatakan, “Rasulullah saw bersabda, ‘Klarifikasi itu datangnya dari Allah, dan buru-buru itu bersumber dari setan.” Demikianlah keterangan dari banyak ulama salaf mengenai ayat ini. Di antara mereka adalah Ibnu Abi Laila, Yazid bin Ruman, adh-Dhihak, Muqatil bin Hibban, dan lain-lain. Mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Walid bin ‘Uqbah. Allah Mahatahu.” (Sampai di sini penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya)
Indikasi ayat ini bersifat umum, dan ia memuat prinsip penyaringan dan klarifikasi berita dari orang fasik. Sedangkan orang saleh itu beritanya diterima, karena hal tersebut merupakan fondasi dalam komunitas Mukmin, sedangkan berita orang fasik adalah pengecualian. Assesmen terhadap berita orang saleh adalah bagian dari manhaj klarifikasi, karena orang saleh merupakan salah satu sumber berita.
Keraguan mutlak terhadap semua sumber dan semua berita merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip kepercayaan yang seharusnya ada di antara komunitas Mukmin. Hal tersebut juga merupakan penghapus catatan kerja seorang yang saleh dan fungsinya dalam komunitas. Islam membiarkan kehidupan berjalan di alurnya yang natural. Islam hanya meletakkan bingkai dan pagar untuk menjaganya, bukan untuk mendisfungsikannya. Dan ini merupakan model sikap menerima secara mutlak dengan disertai pengecualian dalam menyaring sumber-sumber berita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8) وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12) يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (6)
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (7),
sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (8)
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah di antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (9)
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (10)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (kerena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang mengolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang menglok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiridan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan deging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa Jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerimam tobat lagi Maha Penyayang(12)
Hai menusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah illah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal(13) (Al-Hujuran / 49 : 9 – 13)

Sebagian Muslim tampak condong terhadap berita pertama yang disampaikan Walid bin ‘Uqbah, dan mereka menyampaikan saran kepada Nabi saw untuk segera menjatuhkan sanksi pada mereka. Itu merupakan fanatisme kelompok tersebut terhadap agama Allah dan kemarahan mereka terhadap pembangkangan zakat. Lalu datanglah ayat berikut untuk mengingatkan mereka tentang hakikat besar dan nikmat agung yang ada pada mereka, agar mereka memahami nilainya dan senantiasa menyadari keberadaannya:
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah…”
Ini merupakan hakikat yang dapat dikonsepsi dengan mudah, karena ia riil dan ada. Tetapi, ketika direnungkan, maka ia tampak besar dan nyaris tidak bisa dikonsepsi! Apakah mudah bagi manusia untuk mengkonsepsi bahwa langit senantiasa mengadakan kontak dengan bumi secara kontinu, hidup, dan bisa disaksikan; lalu langit berkata kepada bumi; memberitahu penduduknya tentang kondisi mereka, pembicaraan dan bisikan mereka, terlebih dahulu meluruskan langkah mereka, mengisyaratkan mereka berkaitan dengan masalah pribadi dan masalah umum mereka; lalu salah seorang dari mereka berbuat, berkata, dan bersobsesi seperti ini; lalu tiba-tiba langit muncul, dan tiba Allah Ta’ala memberitahu Rasul-Nya tentang apa yang terjadi, mengarahkannya perbuatan dan ucapannya dalam peristiwa yang terjadi itu. Sungguh, itu merupakan perkara dan berita besar. Sesungguhnya itu adalah hakikat yang besar. Terkadang kebesarannya tidak dirasakan oleh orang yang tidak mendapatinya di hadapannya. Karena itu, peringatan ini disampaikan dengan gaya bahasa demikian, ‘Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah.” Ketahuilah hal ini, dan hormatilah ia dengan sebenar-benarnya penghormatan, karena itu adalah perkara besar!
Di antara implikasi pengetahuan tentang perkara yang agung ini adalah hendaknya mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, Allah memperjelas dan memperkuat instruksi ini. Allah memberitahu mereka bahwa komando Rasulullah saw terhadap mereka itu didasarkan wahyu Allah atau ilham-Nya yang mengandung kebaikan, rahmat, dan kemudahan bagi mereka. Seandainya Rasulullah mengikuti kemauan mereka yang nampak baik, maka mereka pasti mereka menghadapi kesusahan dan beban berat. Karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik bagi mereka daripada mereka sendiri, dan Rasul-Nya adalah pembawa rahmat bagi mereka dalam hal mengatur dan memilihkan yang terbaik bagi mereka:
“Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan..”
Kalimat ini mengandung inspirasi bagi mereka agar memasrahkan urusan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, memasuki Islam secara kaffah (totalitas), berserah diri terhadap takdir dan pengendalian Allah, serta menerima pesan-Nya tanpa membuat usulan kepada-Nya.
Kemudian Allah mengarahkan mereka kepada nikmat iman yang Allah telah tunjukkan mereka kepadanya, gerakkan hati mereka untuk mencintainya, mengungkapkan kepada mereka keindahan dan keutamaannya, menautkan jiwa mereka padanya; serta menjadikan mereka benci terhadap kekufuran, kefasikan, dan maksiat. Semua ini adalah sebagian dari rahmat dan limpahan nikmat-Nya:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (7-8)
Allah membuat pilihan untuk satu kelompok hamba-Nya, agar Allah melapangkan hari mereka untuk menerima iman, menggerakkan hati mereka kepadanya, dan menampakkannya indah di mata mereka, sehingga jiwa mereka cenderung kepadanya, serta memahami keindahan dan kebaikan yang ada di dalamnya. Pilihan ini merupakan fazhilah dan nikmat dari Allah, di atas segala fazhilah dan nikmat, bahkan nikat wujud dan kehidupan itu sendiri, yang pada hakikatnya tampak lebih rendah dibanding nikmat iman! Berikut nanti akan ada firman Allah Ta’ala, ‘Sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan..” (17)
Yang perlu diperhatikan di sini adalah peringatan kepada mereka bahwa Allah-lah yang menghendaki kebaikan ini untuk mereka, dan Dia-lah yang membebaskan hati mereka dari keburukan itu: kufur, fasik, dan maksiat. Dia-lah yang menjadikan mereka orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai kemurahan dan karunia dari Allah. Dan semua itu atas dilandasi pengetahuan Allah dan hikmah-Nya.
Penetapan hakikat ini juga mengandung inspirasi bagi mereka agar tunduk kepada instruksi dan manajemen Allah, meyakini kebaikan dan berkah bagi mereka di baliknya, tidak membuat usulan, tidak buru-buru, dan tidak gegabah dalam hal yang mereka duga baik bagi mereka, sebelum Allah membuat pilihan bagi mereka. Karena Allah memilih yang terbaik bagi mereka. Lagi pula, Rasulullah saw ada di antara mereka, dan menuntun mereka ke arah kebaikan. Inilah instruksi yang dimaksud dalam komentar ini.
Ini adalah kaidah legislasi praktis untuk menjaga masyarakat Mukmin dari pertikaian dan perpercahan akibat gerak hati dan dorongan-dorongan batin.
وَيَدْعُ الإِنسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولاً ﴿١١﴾
Manusia itu bersifat buru-buru, padahal ia tidak mengetahui apa yang ada di balik langkahnya. Manusia itu suka membuat usulan bagi dirinya dan orang lain, padahal ia tidak tahu apakah usulannya itu baik atau buruk, “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (al-Isra’ [17]: 11). Seandainya ia berserah diri kepada Allah, tunduk secara total, ridha dengan pilihan Allah, dan yakin bahwa pilihan Allah lebih baik daripada pilihannya dan berwawasan rahmat dan kebaikan baginya, maka hatinya akan merasa rileks dan tenang. Dan pastilah ia mengarungi perjalanan yang singkat di planet ini dengan tentram dan ridha. Tetapi, sekali lagi, semua ini adalah anugerah dan karunia dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (9-10)
Ini adalah kaidah legislasi praktis untuk menjaga masyarakat Mukmin dari pertikaian dan perpercahan akibat gerak hati dan dorongan-dorongan batin. Kaidah ini hadir sesudah perintah klarifikasi berita orang fasik, larangan buru-buru dan terdorong oleh fanatisme dan antusiasme sebelum melakukan klarifikasi dan pemastian berita.
Baik turunnya ayat ini dikarenakan suatu peristiwa tertentu sebagaimana yang disebutkan oleh banyak riwayat, atau sebagai penetapan aturan untuk menangani kasus semacam ini, ia merupakan kaidah yang umum dan paten untuk menjaga komunitas Islam dari perpecahan, dan setelah itu untuk menetapkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Semua ini merujuk kepada ketakwaan kepada Allah dan harapan terhadap rahmat-Nya dengan ditetapkannya keadilan dan kebaikan.
Al-Qur’an telah menghadapi—atau berasumsi—kemungkinan terjadinya peperangan antar dua kelompok mukmin, sementara sifat iman masih melekat pada masing-masing meskipun keduanya berperang, dan dimungkingkan salah satunya menzhalimi kelompok lain, bahkan dimungkinkan keduanya saling menzalimi.
Al-Qur’an menugasi orang-orang mukmin—sudah barang tentu di luar kedua kelompok yang bertikai—untuk melakukan rekonsiliasi antara dua kelompok yang bertikai. Bila salah satunya berbuat aniaya dan tidak mau kembali kepada kebenaran—seperti halnya keduanya sama-sama berbuat aniaya dan menolak perdamaian atau tidak mau menerima hukum Allah dalam masalah-masalah yang dipersengketakan, maka orang-orang mukmin tersebut (yang diluar kelompok-kelompok yang bertikai) wajib memerangi kelompok-kelompok yang berbuat aniaya, dan terus memerangi mereka sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Perintah Allah dimaksud adalah menghilangkan permusuhan di antara orang-orang mukmin, menerima hukum Allah untuk hal-hal yang mereka perselisihkan dan mengakibatkan permusuhan dan peperangan itu. Bila pihak-pihak yang berbuat aniaya itu telah menerima hukum Allah, maka orang-orang mukmin itu telah melaksanakan rekonsiliasi yang berpijak pada keadilan yang cermat sebagai ketaatan kepada Allah dan upaya mencari ridha-Nya..
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (9)
Seruan dan keputusan ini dilanjutkan dengan gugahan terhadap hati orang-orang yang mukmin dan revitalisasi hubungan yang erat di antara mereka, yang menyatukanmereka setelah tercerai-berai, yang menghimpun mereka setelah permusuhan. Juga dilanjutkan dengan peringatan agar mereka bertakwa kepada Allah, dan isyarat tentang rahmat yang diperoleh dengan takwa kepada-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (9-10)
Di antara implikasi persaudaraan ini adalah cinta, perdamaian, kerjasama, dan persatuan. Seluruhnya merupakan prinsip dasar dalam komunitas Muslim, dan bahwa perselisihan atau peperangan merupakan pengecualian yang wajib dikembalikan kepada prinsip dasar itu pada saat kejadiannya. Dan untuk menguatkan prinsip tersebut orang-orang mukmin yang lain (netral) dibolehkan memerangi saudara-saudara mereka yang berbuat zhalim, untuk mengembalikan mereka ke dalam barisan, dan untuk menghilangkan pelanggaran terhadap prinsip dan kaidah tersebut. Hal itu merupakan proses yang keras dan juga tegas.
Begitu pula, di antara implikasi kaidah ini adalah korban luka dalam perang tahkim (arbitrase) ini tidak boleh dipersenjatai lagi, tawanan tidak boleh dibunuh, perencana gencatan perang tidak boleh ditangkap, senjata harus diletakkan, harta pihak yang berbuat aniaya tidak diambil sebagai rampasan. Karena tujuan memerangi mereka bukan menghabisi mereka, melainkan mengembalikan mereka ke barisan dan menggabungkan mereka ke dalam panji ukhuwwah Islamiyyah.
Prinsip organisasi umat Islam adalah umat Islam di berbagai penjuru dunia memiliki satu pemimpin, dan bahwa bila seorang pemimpin tertinggi diberi mandat maka ia wajib memerangi pihak kedua dan menganggapnya beserta pengikutnya sebagai kelompok yang berbuat aniaya yang harus diperangi orang-orang mukmin bersama pemimpin tertinggi. Atas dasar inilah Imam Ali ra melangsungkan perang Jamal dan perang Shiffin terhadap pihak-pihak yang berbuat aniaya.
Banyak tokoh sahabat yang ikut perang bersamanya Ali ra. Sebagian dari mereka tidak ikut dalam perang, di antara mereka adalah Sa’d, Muhammad bin Musallamah, Usamah bin Zaid, dan Ibnu ‘Umar ra. Bisa jadi karena mereka tidak memahami pihak yang benar dalam peristiwa tersebut sehingga mereka menganggapnya sebagai fitnah. Dan bisa jadi karena mereka itu seperti yang dikatakan Imam Al-Jashshash, “Barangkali mereka melihat sang pemimpin tertinggi dalam posisi yang cukup kuat, tidak memerlukan mereka lagi. Jumlah sahabat-sahabatnya yang sudah memadai, sehingga mereka meminta ijin untuk mangkir perang.” Kemungkinan pertama lebih kuat, dan hal itu ditunjukkan oleh ucapan yang diriwayatkan mereka. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar ra mengenai penyesalannya sesudah itu karena tidak ikut perang bersama Imam Ali.
Dengan terlaksananya prinsip ini, maka teks al-Qur’an dapat difungsikan dalam semua kasus—termasuk kasus pengecualian dimana ada dua pemimpin tertinggi atau lebih di berbagai wilayah yang terpisah dan berjauhan dari negeri Umat Islam, dan itu merupakan kasus darurat dan pengecualian dari kaidah pokok. Jadi, kewajiban Umat Islam adalah memerangi pihak-pihak yang berbuat anaya bersama satu pemimpin tertinggi, bila pihak-pihak yang berbuat aniaya itu menentangnya, atau bila satu kelompok berbuat aniaya terhadap kelompok lain menyangkut keimamannya tanpa melakukan kudeta terhadapnya.
Selain itu, kewajiban Umat Islam adalah memerangi orang-orang yang berbuat aniaya bila mereka merepresentasikan diri di dalam salah satu pemimpin dalam kasus-kasus multi pimpinan dan pengecualian, dengan cara bersatu padu untuk memerangi kelompok yang berbuat aniaya itu sampai kembali kepada perintah Allah. Demikianlah nash al-Qur’an bekerja dalam semua situasi dan kondisi.
Jelas bahwa sistem ini, yaitu sistem tahkim dan perang terhadap kelompok yang berbuat aniaya hingga kembali kepada perintah Allah, merupakan sistem yang memiliki kepeloporan sejarah atas semua usaha manusia di bidang ini. Ia memiliki kesempurnaan dan bebas cacat dan kekurangan, yang mana keduanya tampak jelas di setiap usaha manusia yang naif dan terbatas yang diupayakannya di setiap pengalamannya yang pincang!
Selain itu semua, sistem ini memiliki sifat bersih, amanah, dan keadilan yang mutlak, karena arbitrase di dalamnya kembali kepada perintah Allah yang tidak terdistorsi oleh tujuan dan hawa nafsu, dan tidak terbatasi oleh kekurangan atau kealpaan. Tetapi, manusia yang nestapa itu mencari-cari dan berjalan pincang, merangkak dan tertatih-tatih, padahal di depannya ada jalan yang jelas, tertata, dan lurus!
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (11)
Sesungguhnya masyarakat utama yang didirikan Islam dengan petunjuk al-Qur’an adalah masyarakat yang memiliki etika yang tinggi. Setiap individu di dalamnya memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh, dan itu adalah hak semua orang. Mencela satu individu berarti mencela diri sendiri, karena komunitas itu seluruhnya satu, dan kehormatannya juga satu.
Al-Qur’an di dalam ayat ini memanggil orang-orang mukmin dengan panggilan penuh cinta, ‘Hai orang-orang yang beriman..” Dan ia melarang satu kaum mengolok-olok golongan lain. Maksudnya seorang laki-laki mengolok-olok laki-laki lain, karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik daripada yang mengolok-olok, atau wanita terhadap wanita karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik daripada yang mengolok-olok menurut kriteria Allah.
Ungkapan ini mengandung inspirasi bahwa nilai-nilai lahiriah yang dilihat kaum laki-laki atau kaum wanita dalam diri mereka bukan nilai-nilai hakiki yang digunakan untuk mengukur manusia, karena di sana ada nilai-nilai lain yang terkadang tersembunyi dari mereka, hanya diketahui oleh Allah, namun nilai-nilai itulah yang seharusnya digunakan untuk mengukur para hamba.
Terkadang orang yang kaya mengolok-olok orang yang miskin, orang yang kuat mengolok-olok orang lemah, orang yang sehat mengolok-olok orang yang cacat, orang yang cerdik pandai mengolok-olok orang yang lugu dan bodoh, orang yang punya anak mengolok-olok orang yang mandul, orang yang punya keluarga mengolok-olok anak yatim, wanita cantik mengolok-olok wanita jelek, wanita muda mengolok-olok wanita tua, wanita yang sehat fisiknya mengolok-olok wanita yang cacat, dan wanita yang kaya mengolok-olok wanita yang miskin. Tetapi, nilai-nilai ini dan juga nilai-nilai bumi lainnya bukan ukuran yang benar, karena kriteria Allah dalam meninggikan dan merendahkan bukan dengan ukuran-ukuran ini!
Al-Qur’an tidak cukup dengan inspirasi ini. Lebih dari itu, ia juga menggugah perasaan persaudaraan atas dasar iman, dan mengingatkan orang-orang yang beriman bahwa mereka adalah jiwa yang satu, yang barangsiapa mengolok-olok seorang mukmin maka berarti ia mengolok-olok dirinya, “Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri..” Kata lamz berarti cacat. Tetapi, kata ini memiliki kesan dan naungan tersendiri, seolah-olah ia menunjukkan cacat fisik, bukan cacat moral!
Di antara bentuk penghinaan dan olok-olokan adalah memanggil dengan julukan yang tidak disukai orang yang dipanggil, dan ia merasakan penghinaan dan aib dari julukan tersebut. Di antara hak seorang mukmin terhadap mukmin lain adalah tidak memanggilnya dengan julukan yang tidak disukainya dan membuatnya merasa terhina karenanya. Dan di antara etika seorang mukmin adalah tidak menyakiti saudaranya dengan ucapan semacam ini. Rasulullah saw telah mengubah nama-nama dan julukan-julukan yang digunakan di masa jahiliyyah. Dalam hal ini beliaumem perasaan yang sensitif dan hati yang mulia terhadap apa yang digunakan untuk menghina sahabat-sahabatnya, atau menyebut mereka dengan sebutan yang tercela.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (11)
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (11)
Setelah memberi inspirasi tentang nilai-nilai yang hakiki di dalam kriteria Allah, setelah menggugah rasa persaudaraan, bahkan rasa satu jiwa, maka ayat ini menggugah makna iman, serta mengingatkan orang-orang mukmin agar tidak kehilangan sifat yang mulia ini, melenceng dan menyimpang darinya lantaran hinaan, olok-olok, dan memanggil dengan julukan-julukan yang buruk, “Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” Jadi, perbuatan tersebut mirip murtad sesudah beriman! Ayat ini mengangacam dengan menganggap perbuatan ini sebagai kezhaliman, dan kezhaliman merupakan salah satu aktualisasi syirik, “Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (11) Dengan demikian ayat ini telah meletakkan kaidah-kaidah etis psikologis bagi masyarakat yang utama dan mulia ini.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (12)
Ayat ini memagari kehormatan, kemuliaan, dan kebebasan individu-individu di dalam masyarakat yang utama dan mulia ini. Ia juga mengajari manusia bagaimana membersihkan perasaan dan nurani mereka, dengan sebuah gaya bahasa yang menyentuh dan mengagumkan.
Serasi dengan surat ini, ayat ini dimulai dengan panggilan penuh cinta, “Hai orang-orang yang beriman..” Kemudian ayat ini menyuruh mereka menjauhi kebanyakan dari prasangka, sehingga mereka tidak membiarkan diri mereka menjadi korban prasangka, syubhat, dan keraguan seputar orang lain. Ayat ini menjelaskan alasan perintah tersebut, “Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa..” Selama larangan ini diterapkan pada sebagian besar prasangka, dan kaidahnya adalah bahwa sebagian prasangka itu adalah dosa, maka ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati untuk menjauhi prasangka yang buruk secara total, karena ia tidak tahu prasangka mana yang dosa!
Dengan demikian, al-Qur’an membersihkan nurani dari dalam agar tidak ternodai prasangka yang buruk, sehingga ia jatuh ke dalam dosa. Al-Qur’an menjaganya tetap bersih dan bebas dari berbagai kecurigaan dan keraguan, serta dalam keadaan putih dan sarat cinta kepada saudara-saudaranya tanpa dicemari oleh prasangka buruk. Al-Qur’an menjaganya dalam keadaan bersih tanpa dinodai oleh keraguan, dan dalam keadaan tenang tanpa dikeruhkan oleh kegelisahan dan kecemasan. Betapa rileks hidup di tengah masyarakat yang terbebas dari prasangka!
Tetapi, dalam membina nurani dan hati, Islam tidak terhenti pada aspek yang mulia dan jelas ini. Lebih dari itu, nash ini juga membangun prinsip interaksi dan pagar untuk melindungi hak-hak manusia yang hidup di dalam masyarakatnya yang bersih, sehingga mereka tidak diperlakukan berdasarkan dugaan, tidak dihakimi menurut sesuatu yang ragu. Bahkan, dugaan itu tidak boleh dijadikan dasar untuk menyelidiki mereka dan hal-hal yang ada di sekitar mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bila kau menduga, maka kamu tidak menemukan kebenaran..” (HR. Thabrani dengan isnadnya dari Haritsah bin Nu’manusia) Artinya, manusia tetap dalam keadaan bersih, terjaga hak dan kebebasan mereka, sampai terbukti dengan jelas bahwa mereka melakukan hal-hal yang harus diberi sanksi. Tidak cukup dengan dugaan pada mereka untuk menuntut mereka, tanpa mengklarifikasi dugaan yang beredar di sekitar mereka!
Betapa jauhnya dimensi pemeliharaan kehormatan, kebebasan, hak, dan status manusia yang dicapai oleh nash ini! Betapa jauh tertinggal apa yang dibangga-banggakan negeri kampiun demokrasi, kebebasan, dan perlindungan hak-hak manusia di dalamnya, (tertinggal) dari dimensi yang disuarakan al-Qur’an al-Karim kepada orang-orang yang beriman dan menjadi landasan berdirinya masyarakat Islam, direalisasikannya dalam dunia nyata, setelah direalisasikannya dalam realitas nurani!
Kemudian, dalam memberikan jaminan-jaminan bagi masyarakat, al-Qur’an beralih kepada prinsip lain yang berkaitan dengan upaya menjauhi prasangka:
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..”
Mencari-cari kesalahan itu terkadang merupakan aksi yang didasari prasangka, dan terkadang merupakan aksi inisiatif untuk membongkar aib dan melongok kejelekan-kejelekan orang lain.
Al-Qur’an mencegah perbuatan nista ini dari sisi moral, untuk mensucikan kalbu dari orientasi keji semacam ini untuk mencari-cari aib orang lain dan membongkar kejelekan mereka. Hal itu sejalan dengan tujuan-tujuan al-Qur’an untuk membersihkan akhlak dan hati.
Tetapi, masalahnya jauh dampaknya daripada ini, karena ia merupakan salah satu prinsip utama Islam dalam sistem sosialnya, dan di dalam proses-proses legislasi dan eksekusinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. 49: 11)
Di dalam masyarakat Islami yang tinggi dan mulia, manusia hidup di dalamnya dalam kondisi aman jiwa, aman tempat tinggal, aman keluarga, dan terjaga aib mereka. Tiada ada alasan pembenaran—apapun itu—untuk melanggar kehormatan jiwa, tempat tingal, keluarga, dan aib. Bahkan, sarana penyelidikan dan penyidikan dalam sistem Islam tidak layak digunakan sebagai alat memata-matai aib orang. Karena manusia itu diperlakukan menurut aspek lahiriah mereka, dan tidak seorang pun berhak menyelidiki aspek tersembunyi mereka. Tidak seorang pun berhak memperlakukan mereka kecuali berdasarkan pelanggaran yang tampak dari mereka. Tidak seorang pun berhak menduga, atau mengira-ngira, atau bahkan mengidentifikasi bahwa mereka melakukan suatu pelanggaran secara sembunyi-sembunyi, lalu ia memata-matai untuk menangkap basah mereka! Yang bisa dilakukannya pada mereka adalah menangkap mereka karena suatu kejahatan pada saat terjadi dan terbukti. Di samping itu masih ada jaminan-jaminan lain yang diredaksikan al-Qur’an menyangkut setiap kejahatan.
Abu Dawud berkata: Abu Bakar bin Abu Syaibah bertutur kepada kami, ia berkata: Abu Mu’awiyah bertutur kepada kami, dari A’masy, dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Ibnu Mas’ud datang lalu ia diberitahu bahwa jenggot si fulan meneteskan khamer. Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ‘Kita dilarang memata-matai, tetapi bila tampak sesuatu oleh kita maka kita mengambil tindakan dengannya.”
Dari Mujahid, “Janganlah kalian memata-matai, ambillah tindakan sesuai yang tampak oleh kalian, dan tinggalkan apa yang telah ditutupi Allah.”
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Dajin, sekretaris ‘Uqbah, ia berkata, “Aku berkata kepada ‘Uqbah, ‘Kita punya tetangga yang minum khamer, dan aku menempatkan petugas keamanan untuk mereka untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata, ‘Jangan lakukan, tetapi nasihati dan ancam mereka!’” Dajin berkata, “Perintah itu telah dilaksanakan, tetapi mereka tidak berhenti.” Lalu Dajin menemui ‘Uqbah dan berkata, “Aku telah melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti. Aku tempatkan petugas keamanan untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata kepadanya, ‘Celaka kau! Jangan lakukan, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin, maka seolah-olah ia menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburannya.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, dari Rasyid bin Sa’d, dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda, ‘Bila kamu mencari-cari kesalahan manusia, maka kau merusak mereka, atau nyaris merusak mereka.’” Abu Darda’ ra berkata, “Itulah kalimag yang didengar Mu’awiyah ra dari Rasulullah saw yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadanya.”
Demikianlah, nash mengambil jalannya dalam sistem praktis masyarakat Islami! Ia bukan sekedar pembinaan hati dan pembersihan kalbu, tetapi telah menjadi pagar di sekitar kehormatan, hak, dan kebebasan manusia, sehingga tidak disentuh dari jauh atau jauh, dengan sarana atau kedok apapun.
Bandingkan dimensi yang luas dan tinggi ini dengan apa yang dibangga-banggakan kampiun demokrasi, kebebasan, dan pemeliharaan hak-hak manusia setelah seribu empat ratus tahun kemudian?
Setelah itu datanglah larangan ghibah dalam sebuah kalimat yang mengagumkan, yang diciptakan al-Qur’an secara indah:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
Janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain! Kemudian al-Qur’an menampilkan sebuah pemandangan yang menjijikkan, bahkan bagi jiwa yang paling keras dan hati yang paling lemah sensitifitasnya. Yaitu pemandangan seseorang memakan daging saudaranya, dalam keadaan sudah mati! Kemudian al-Qur’an cepat-cepat menyatakan bahwa mereka tidak menyukai perbuatan yang membangkitkan rasa jijik ini, dan bahwa dengan demikian mereka tidak suka menggunjing!
Kemudian semua dugaan, tindakan memata-matai, dan gunjingan yang dilarang pada ayat tersebut diulas dengan gugahan rasa takwa dan isyarat terhadap yang melanggarnya agar segera bertaubat demi mencari rahmat Allah:
“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (12)
Nash ini berjalan dalam kehidupan komunitas Muslim, sehingga ia berubah menjadi pagar yang melindungi kehormatan manusia, dan menjadi etika yang mengakar di dalam jiwa dan hati. Dalam hal ini Rasulullah saw bersikap keras, sejalan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang mengagumkan dalam menimbulkan rasa jijik dan enggan terhadap gunjingan yang memuakkan.
Abu Dawud meriwayatkan: Al-Qa’nabi bertutur kepada kami, Abdul ‘Aziz bin Muhammad bertutur kepada kami, dari ‘Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa itu ghibah?’ Beliau saw menjawab, ‘Kau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.’”
Seseorang bertanya, ‘Bagaimana menurumu seandainya pada diri saudaraku itu terdapat apa yang kukatakan?’ Beliau saw menjawab, ‘Bila pada dirinya terdapat apa yang ada kaukatakan, maka kau telah menggunjingnya. Dan bila pada dirinya tidak terdapat apa yang kaukatakan, maka kau telah mencemarkannya’” (HR. Tirmidzi, dan dinilainya shahih).
Abu Dawud berkata: Musaddad bertutur kepada kami, Yahya bertutur kepada kami, dari Sufyan, Ali bin Aqmar bertutur kepadaku, dari Abu Hudzaifah, dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Aku berkata kepada Nabi saw, ‘Shafiyyah itu kan demikian dan demikian.’ (Riwayat dari Musaddad, maksudnya ia pendek). Lalu Nabi saw bersabda, ‘Kau telah mengucapkan satu kalimat yang seandainya kaucampur dengan air laut, maka kalimat itu dapat memengaruhi air laut itu.’” ‘Aisyah berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada beliau, lalu beliau saw bersabda, “Aku tidak suka menceritakan seseorang sedangkan aku punya sifat seperti ini dan ini.”

Abu Dawud meriwayatkan dengan isnadnya dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka, ya Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu orang-orang yang makan daging manusia dan menodai harga diri mereka.’”
Ma’iz mengakui telah berzina dengan wanita Ghamidiyyah, lalu Rasulullah saw merajam keduanya setelah keduanya mengakui dengan suka rela dan mendesak untuk membersihkan diri dari dosa. Ketika itu, Nabi saw mendengar dua orang yang salah satunya berkata kepada temannya, “Tidakkah kaulihat orang yang telah ditutupi aibnya oleh Allah, namun ia tidak tenang sebelum ia dilempari batu seperti anjing!” Kemudian Nabi saw berjalan hingga melewati sebuah bangkai keledai. Lalu beliau bersabda, “Mana fulan dan fulan? Kemarilah dan makanlah bangkai keledai ini?” Keduanya berkata, “Semoga Allah mengampunimu, ya Rasulullah! Apakah ini boleh dimakan?” Beliau saw bersabda, “Penistaan kalian terhadap saudara kalian tadi lebih menjijikkan daripada makan ini. Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dia sekarang berada di sungai-sungai surga, berendam di dalamnya.”
Dengan solusi yang tetap dan konstan seperti inilah masyarakat Islam disucikan dan diangkat derajatnya, dan ia mencapai apa yang disebut “dream come true”, dan idealita terealisir dalam realitas sejarah.
Sesungguhnya manusia memiliki kebebasan, kehormatan, dan kemuliaan yang tidak boleh dirusak dalam bentuk apapun, dan tidak boleh disentuh dalam kondisi apapun.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. 49: 11)
Di dalam masyarakat Islami yang tinggi dan mulia, manusia hidup di dalamnya dalam kondisi aman jiwa, aman tempat tinggal, aman keluarga, dan terjaga aib mereka. Tiada ada alasan pembenaran—apapun itu—untuk melanggar kehormatan jiwa, tempat tingal, keluarga, dan aib. Bahkan, sarana penyelidikan dan penyidikan dalam sistem Islam tidak layak digunakan sebagai alat memata-matai aib orang. Karena manusia itu diperlakukan menurut aspek lahiriah mereka, dan tidak seorang pun berhak menyelidiki aspek tersembunyi mereka. Tidak seorang pun berhak memperlakukan mereka kecuali berdasarkan pelanggaran yang tampak dari mereka. Tidak seorang pun berhak menduga, atau mengira-ngira, atau bahkan mengidentifikasi bahwa mereka melakukan suatu pelanggaran secara sembunyi-sembunyi, lalu ia memata-matai untuk menangkap basah mereka! Yang bisa dilakukannya pada mereka adalah menangkap mereka karena suatu kejahatan pada saat terjadi dan terbukti. Di samping itu masih ada jaminan-jaminan lain yang diredaksikan al-Qur’an menyangkut setiap kejahatan.
Abu Dawud berkata: Abu Bakar bin Abu Syaibah bertutur kepada kami, ia berkata: Abu Mu’awiyah bertutur kepada kami, dari A’masy, dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Ibnu Mas’ud datang lalu ia diberitahu bahwa jenggot si fulan meneteskan khamer. Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ‘Kita dilarang memata-matai, tetapi bila tampak sesuatu oleh kita maka kita mengambil tindakan dengannya.”
Dari Mujahid, “Janganlah kalian memata-matai, ambillah tindakan sesuai yang tampak oleh kalian, dan tinggalkan apa yang telah ditutupi Allah.”
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Dajin, sekretaris ‘Uqbah, ia berkata, “Aku berkata kepada ‘Uqbah, ‘Kita punya tetangga yang minum khamer, dan aku menempatkan petugas keamanan untuk mereka untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata, ‘Jangan lakukan, tetapi nasihati dan ancam mereka!’” Dajin berkata, “Perintah itu telah dilaksanakan, tetapi mereka tidak berhenti.” Lalu Dajin menemui ‘Uqbah dan berkata, “Aku telah melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti. Aku tempatkan petugas keamanan untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata kepadanya, ‘Celaka kau! Jangan lakukan, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin, maka seolah-olah ia menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburannya.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, dari Rasyid bin Sa’d, dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda, ‘Bila kamu mencari-cari kesalahan manusia, maka kau merusak mereka, atau nyaris merusak mereka.’” Abu Darda’ ra berkata, “Itulah kalimag yang didengar Mu’awiyah ra dari Rasulullah saw yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadanya.”
Demikianlah, nash mengambil jalannya dalam sistem praktis masyarakat Islami! Ia bukan sekedar pembinaan hati dan pembersihan kalbu, tetapi telah menjadi pagar di sekitar kehormatan, hak, dan kebebasan manusia, sehingga tidak disentuh dari jauh atau jauh, dengan sarana atau kedok apapun.
Bandingkan dimensi yang luas dan tinggi ini dengan apa yang dibangga-banggakan kampiun demokrasi, kebebasan, dan pemeliharaan hak-hak manusia setelah seribu empat ratus tahun kemudian?
Setelah itu datanglah larangan ghibah dalam sebuah kalimat yang mengagumkan, yang diciptakan al-Qur’an secara indah:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
Janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain! Kemudian al-Qur’an menampilkan sebuah pemandangan yang menjijikkan, bahkan bagi jiwa yang paling keras dan hati yang paling lemah sensitifitasnya. Yaitu pemandangan seseorang memakan daging saudaranya, dalam keadaan sudah mati! Kemudian al-Qur’an cepat-cepat menyatakan bahwa mereka tidak menyukai perbuatan yang membangkitkan rasa jijik ini, dan bahwa dengan demikian mereka tidak suka menggunjing!
Kemudian semua dugaan, tindakan memata-matai, dan gunjingan yang dilarang pada ayat tersebut diulas dengan gugahan rasa takwa dan isyarat terhadap yang melanggarnya agar segera bertaubat demi mencari rahmat Allah:
“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (12)
Nash ini berjalan dalam kehidupan komunitas Muslim, sehingga ia berubah menjadi pagar yang melindungi kehormatan manusia, dan menjadi etika yang mengakar di dalam jiwa dan hati. Dalam hal ini Rasulullah saw bersikap keras, sejalan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang mengagumkan dalam menimbulkan rasa jijik dan enggan terhadap gunjingan yang memuakkan.
Abu Dawud meriwayatkan: Al-Qa’nabi bertutur kepada kami, Abdul ‘Aziz bin Muhammad bertutur kepada kami, dari ‘Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa itu ghibah?’ Beliau saw menjawab, ‘Kau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.’”
Seseorang bertanya, ‘Bagaimana menurumu seandainya pada diri saudaraku itu terdapat apa yang kukatakan?’ Beliau saw menjawab, ‘Bila pada dirinya terdapat apa yang ada kaukatakan, maka kau telah menggunjingnya. Dan bila pada dirinya tidak terdapat apa yang kaukatakan, maka kau telah mencemarkannya’” (HR. Tirmidzi, dan dinilainya shahih).
Abu Dawud berkata: Musaddad bertutur kepada kami, Yahya bertutur kepada kami, dari Sufyan, Ali bin Aqmar bertutur kepadaku, dari Abu Hudzaifah, dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Aku berkata kepada Nabi saw, ‘Shafiyyah itu kan demikian dan demikian.’ (Riwayat dari Musaddad, maksudnya ia pendek). Lalu Nabi saw bersabda, ‘Kau telah mengucapkan satu kalimat yang seandainya kaucampur dengan air laut, maka kalimat itu dapat memengaruhi air laut itu.’” ‘Aisyah berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada beliau, lalu beliau saw bersabda, “Aku tidak suka menceritakan seseorang sedangkan aku punya sifat seperti ini dan ini.”

Abu Dawud meriwayatkan dengan isnadnya dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka, ya Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu orang-orang yang makan daging manusia dan menodai harga diri mereka.’”
Ma’iz mengakui telah berzina dengan wanita Ghamidiyyah, lalu Rasulullah saw merajam keduanya setelah keduanya mengakui dengan suka rela dan mendesak untuk membersihkan diri dari dosa. Ketika itu, Nabi saw mendengar dua orang yang salah satunya berkata kepada temannya, “Tidakkah kaulihat orang yang telah ditutupi aibnya oleh Allah, namun ia tidak tenang sebelum ia dilempari batu seperti anjing!” Kemudian Nabi saw berjalan hingga melewati sebuah bangkai keledai. Lalu beliau bersabda, “Mana fulan dan fulan? Kemarilah dan makanlah bangkai keledai ini?” Keduanya berkata, “Semoga Allah mengampunimu, ya Rasulullah! Apakah ini boleh dimakan?” Beliau saw bersabda, “Penistaan kalian terhadap saudara kalian tadi lebih menjijikkan daripada makan ini. Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dia sekarang berada di sungai-sungai surga, berendam di dalamnya.”
Dengan solusi yang tetap dan konstan seperti inilah masyarakat Islam disucikan dan diangkat derajatnya, dan ia mencapai apa yang disebut “dream come true”, dan idealita terealisir dalam realitas sejarah.
Sesungguhnya kalian berasal dari asal yang sama, maka janganlah kalian berselisih, berpecah belah, bersengketa, dan berpisah-pisah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49:13)
Setelah panggilan yang berulang-ulang kepada orang-orang yang beriman; setelah mereka dibawa ke cakrawala etika psikologis dan sosial yang tinggi dan terang; setelah dibangun pagar jaminan yang kuat untuk melindungi kemuliaan, kebebasan, dan kehormatan manusia, dan semua ini terlaksana dengan perasaan yang digugah al-Qur’an dalam jiwa mereka, dengan perasaan diawasi Allah dan takwa kepada-Nya…
Setelah melalui jenjang-jenjang menuju cakrawala yang tinggi itu, maka al-Qur’an mengajak semua manusia dengan semua ras dan warna kulitnya, untuk kembali kepada satu pokok dan satu kriteria yang menjadi landasan berdirinya komunitas terpilih yang menanjak menuju cakrawala yang tinggi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (13)
Wahai manusia! Wahai makhluk yang berbeda-beda ras dan warna kulitnya, yang terpisah-pisah menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku, sesungguhnya kalian berasal dari asal yang sama, maka janganlah kalian berselisih, berpecah belah, bersengketa, dan berpisah-pisah.
Wahai manusia! Yang memanggil kalian ini adalah Tuhan yang menciptakan kalian. Wahai manusia, laki-laki dan perempuan! Dia memberitahumu tujuan kalian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuannya bukan untuk saling menjagal dan memusuhi, melainkan untuk saling mengenal dan hidup harmonis. Perbedaan bahasa, warna kulit, watak, akhlak, potensi, dan kesiapan, merupakan perbedaan yang tidak mesti berujung pada perselisihan dan perpecahan. Sebaliknya, ia menuntut kerjasama untuk memikul semua tugas dan memenuhi semua kebutuhan. Warna kulit, ras, bahasa, tanah air, dan semua hal yang semakna tidak punya nilai di dalam kriteria Allah, karena yang ada hanya satu kriteria yang menjadi dasar nilai-nilai ditetapkan dan keutamaan manusia diketahui, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu..” orang yang sejatinya mulia adalah yang mulia di sisi Allah. Dia menimbang kalian atas dasar pengetahuan tentang nilai-nilai dan kriteria-kriteria, ‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (13)
Demikianlah, semua faktor perbedaan itu runtuh dan semua nilai itu gugur, lalu naiklah satu kriteria dengan satu nilai. Kepada kriteria inilah manusia mengembalikan keputusan, dan kepada nilai inilah dikembalikan perselisihan manusia dalam hal kriteria.
Demikianlah. Semua penyebab perselisihan dan permusuhan di muka bumi ini menjadi surut. Semua nilai yang dipersengketakan manusia menjadi tidak berlaku. Tampaklah penyebab persatuan dan kerjasama yang besar dan jelas: uluhiyah Allah bagi semua manusia dan penciptaan mereka dari satu bahan dasar. Sebagaimana satu bendera naik dimana semua orang berlomba untuk berdiri di bawahnya: bendera takwa di bawah naungan Allah. Inilah bendera yang dikibarkan Islam untuk menyelamatkan manusia dari bencana rasisme, fanatisme kedaerahan, fanatisme kesukuan, dan fanatisme keluarga. Seluruhnya berasal dari jahiliyyah dan kembali kepadanya, yang memakai beragam bungkus, dan disebut dengan banyak nama, namun pada hakikatnya adalah jahiliyah yang telanjang dari Islam!
Islam memerangi fanatisme jahiliyah dalam setiap bentuknya, untuk menegakkan sistem humanis universalnya di bawah naungan satu panji: panji Allah, bukan panji nasionalisme, bukan panji kebangsaan, bukan panji dinasti keluarga, dan bukan panji ras. Jadi, seluruhnya adalah panji-panji palsu dan tidak dikenal oleh Islam.
Rasulullah saw bersabda, “Kalian semua adalah anak-anak Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Hendaklah suatu kaum berhenti membanggakan nenek moyang mereka, atau ia menjadi lebih hina di sisi Allah daripada kotoran keledai.”
Rasulullah saw juga bersabda tentang fanatisme jahiliyah, “Tinggalkan fanatisme jahiliyah, karena ia busuk.”
Inilah fondasi bangunan masyarakat Islami, masyarakat insani universal. Umat manusia dalam imajinasinya yang melayang-layang hendak merealisasikan salah satu warnanya tetapi mereka gagal, karena manusia tidak menempuh satu jalan yang efektif dan lurus, yaitu jalan menuju Allah. Dan karena umat manusia tidak berdiri di bawah satu panji yang menaungi semuanya, yaitu panji Allah.

JIDIYYAH ( KESERIUSAN )

Allah Subhanah menciptakan alam semesta ini dengan hikmah (wisdom), bukan untuk main-main dan senda-gurau.

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (16) لَوْ أَرَدْنَا أَنْ نَتَّخِذَ لَهْوًا لَاتَّخَذْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا إِنْ كُنَّا فَاعِلِينَ (17) بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ (18)
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (16) Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (istri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Kami tidak melakukannya (17). Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (16-18)
Allah Subhanah menciptakan alam semesta ini dengan hikmah (wisdom), bukan untuk main-main dan sendau-gurau. Allah mengendalikannya dengan hikmah, bukan dengan serampangan dan menurut nafsu. Dan dengan keseriusan seperti saat menciptakan langit dan bumi beserta apa-apa yang ada di antara keduanya itu, (dengan keseriusan yang sama) Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, menetapkan berbagai kewajiban, dan menggariskan tugas-tugas. Jadi, keseriusan merupakan perkara fundamental pada watak alam semesta ini. Baik dalam aturannya, atau akidah yang dikehendaki Allah bagi manusia, atau hisab yang diberlakukan pada mereka sesudah mati.
Seandainya Allah Subhanah berkehendak menjadikan suatu permainan, maka Allah pasti mewujudkan permainan itu dari sisi-Nya. Sebuah permainan yang sifatnya subyektif atau personal, dan tidak terkait dengan makhluk yang baru dan fana.
Ini hanya sekedar asumsi dialektis: “Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (istri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami..” (17) Kata law (sekiranya)—menurut para ahli gramatika Arab—merupakan kata yang mengindikasikan kemustahilan suatu hal karena kemustahilan hal lain. Ia menunjukkan kemustahilan akibat dikarenakan sebabnya kemustahilan. Maksudnya, Allah mustahil ingin membuat suatu permainan, maka mustahil ada permainan, baik dari sisi-Nya, atau dari sesuatu di luar diri-Nya.
Permainan itu tidak akan ada karena Allah Subhanah sejak awal tidak menginginkannya, dan tidak mengarahkan kehendak-Nya terhadap permainan sama sekali: “Kami tidak melakukannya.” (17) Lafazh in adalah partikel negatif dengan arti ma (tidak). Kalimat ini menunjukkan tiadanya kehendak untuk melakukan hal tersebut sejak awal.
Ini hanya sekedar asumsi dialektika untuk menetapkan suatu hakikat yang abstrak. Yaitu bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Dzat Allah Subhanah itu qadim (abadi masa lalu) bukan baru, dan baqa (abadi masa depan) bukan fana. Seandainya Allah Subhanah berkehendak menjadikan permainan, maka permainan itu bukan sesuatu yang baru, dan tidak terkait dengan sesuatu yang baru seperti langit dan bumi beserta apa-apa yang di antara keduanya, karena seluruhnya adalah baru. Melainkan permainan yang sifatnya dzat dari sisi Allah Subhanah, sehingga permainan tersebut bersifat azali (abadi masa lalu) lagi baqa (abadi masa depan), karena ia terkait dengan Dzat azali lagi baqa.
Tetapi, undang-undang yang telah ditetapkan dan sunnah yang berlaku kosntan tidak menghendaki permainan, melainkan yang ada adalah keseriusan dan kebenaran, sehingga kebenaran yang mendasar itu mengalahkan kebatilan yang sifatnya aksidental:
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya..”
Kata bal (sebenarnya) di sini untuk peralihan dari pembicaraan tentang tema permainan kepada pembicaraan tentang realitas yang mantap, sunnah berlaku padanya, dan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Yaitu menangnya kebenaran dan hancurnya kebatilan.
Ungkapan ini melukiskan sunnah dalam bentuk yang konkret, hidup, dan bergerak. Seolah-olah kebenaran itu adalah ketapel di tangan kekuasaan yang digunakannya untuk melempar kebatilan sehingga pecah! Maka, ia pun lenyap dan musnah.
Inilah sunnah yang telah mantap, karena kebenaran merupakan unsur orisinil dalam watak alam semesta, dan sesuatu yang mengakar dalam pembentukan wujud. Sementara kebatilan itu terhapus dari esensinya alam semesta ini secara mendasar, bersifat insidental, tidak memiliki orisinalitas di dalamnya, tidak memiliki kekuasaan, disingkirkan Allah, dan dilempar-Nya dengan kebenaran sehingga hancur. Tidak ada sesuatu yang bisa bertahan manakala Allah telah menyingkirkannya, dan tidak ada kehidupan bagi sesuatu yang dilempar tangan Allah hingga hancur!
Terkadang manusia berimajinasi bahwa realitas kehidupan itu berlawanan dengan hakikat yang ditetapkan Tuhan yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ini. Hal itu terjadi dalam beberapa waktu dimana kebatilan tampak menggelembung seolah-olah ia menang, dan kebenaran tampak tersingkir seolah-olah kalah. Semua itu terjadi hanya sesaat, dimana Allah membiarkan apa yang dikehendaki-Nya itu untuk ujian dan cobaan. Kemudian, berlakulah sunnah yang azali dan baqa yang menjadi fondasi berdirinya langit dan bumi, serta menjadi fondasi seluurh akidah dan dakwah.
Orang-orang yang beriman kepada Allah itu hatinya tidak terasuki keraguan terhadap kebenaran janji-Nya, terhadap orisinitas kebenaran dalam bangunan dan sistem alam semesta ini, dan terhadap keunggulan kebenaran yang dilemparkan pada kebatilan lalu kebenaran itu menghancurkannya. Apabila Allah menguji mereka dengan kemenangan kebatilan untuk sementara waktu, maka mereka mengetahui bahwa itu adalah fitnah, memahami bahwa itu adalah ujian, dan merasa bahwa Tuhan mereka sedang membina mereka, karena dalam diri mereka ada kelemahan atau kekurangan.
Allah ingin menyiapkan mereka untuk menyambut kebenaran yang pasti menang dan menjadikan mereka sebagai tabir kekuasaan. Karena itu, Allah membiarkan mereka melewati masa ujian untuk menyempurnakan kekurangan dan menerapi kelemahan dalam diri mereka. Manakala mereka memperoleh kesembuhan dengan cepat, maka Allah memperpendek masa ujian dan merealisasikan apa yang dikehendaki-Nya melalui tangan mereka. Sedangkan kesudahannya telah ditetapkan: “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap..” (18) Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Demikianlah, al-Qur’an al-Karim menetapkan hakikat tersebut bagi orang-orang musyrik yang berkata tidak sepantasnya terhadap al-Qur’an dan terhadap Rasul saw, serta menyebutnya sebagai sihir, syair, dan rekayasa. Itulah kebenaran yang menang dan menghancurkan kebatilan, maka kebatilan itu pun lenyap. Kemudian, al-Qur’an al-Karim mengulas ketetapan terebut dengan peringatan kepada mereka akan akibat dari ucapan mereka, “Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (18)
Kemudian konteks surat memaparkan kepada mereka satu contoh di antara contoh-contoh ketaatan dan ibadah, berbanding terbalik dengan maksiat dan sikap berpaling mereka. Sebuah contoh dari makhluk yang lebih dekat kepada Allah daripada mereka. Meski demikian, mereka tetap taat dan beribadah kepada-Nya, tidak pernah jemu, dan tidak pernah jemu dan tidak pernah kurang dari batas.
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (19-20)
Tidak ada yang mengetahui penghuni langit dan bumi selain Allah, dan tidak ada yang menghingga mereka selain Allah. Pengetahuan manusia tidak bisa memastikan selain keberadaan manusia.
Orang-orang mukmin meyakini keberadaan para malaikat dan jin hanya karena keduanya disebut di dalam al-Qur’an. Tetapi, kita tidak mengetahui tentang mereka kecuali yang diberitakan Pencipta mereka. Bisa jadi ada makhluk berakal di selain planet bumi ini, dengan watak dan bentuk yang sesuai dengan watak planet-planet tersebut. Dan pengetahuan tentang hal tersebut ada pada Allah.
Apabila kita membaca ayat, “Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi..” maka kita mengetahui apa yang kita tahu dari mereka, dan kita serahkan pengetahuan tentang yang tidak kita tahu kepada Pencipta langit dan bumi beserta penghuninya.
Pemahaman yang paling dekat terhadap lafazh wa man ‘indahu (dan siapa-siapa yang ada di sisi-Nya) adalah para malaikat. Tetapi, kami tidak membatasinya selama nash ini bersifat umum dan mencakup para malaikat dan selain mereka. Dan dari nash dipahami bahwa mereka itulah yang paling dekat dengan Allah. Jadi, kata ‘inda (di sisi) bagi Allah itu bukan berarti tempat dan tidak membatasinya sama sekali.
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya..” seperti keangkuhan orang-orang musyrik, “dan tiada (pula) merasa letih”, maksudnya teledor dalam ibadah. Karena kehidupan mereka seluruhnya diisi dengan ibadah dan tasbih pada siang dan malam, tanpa berhenti dan tanpa jeda.
Manusia bisa menjadikan kehidupan mereka seluruhnya sebagai ibadah tanpa putus untuk bertasbih dan ta’abbud seperti para malaikat, karena Islam menganggap setiap gerak dan nafas adalah ibadah apabila diorientasikan pelakunya kepada Allah, meskipun berupa kesenangan pribadi dengan perkara-perkara yang baik dalam kehidupan!

ESENSI KEBENARAN DAN KEBATHILAN

Pohon kenabian dan naungan Ibrahim sebagai bapak para Nabi sangat jelas gambarannya di sini. Pohon tersebut menghasilkan buahnya setiap waktu. Buah yang segar dan baik. Seorang Nabi di antara para Nabi. Ia membuahkan iman, kebaikan, dan vitalitas.

(QS. Ibrahim: 24-24)
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24), pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (25). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (26) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..” (27)
Sesungguhnya pemandangan tentang “kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya di langit. Dan pemandangan “kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tegak sedikit pun”, sesungguhnya kedua pemandangan tersebut bersumber dari konteks surat, dari kisah para Nabi dan orang-orang yang mendustakan, dan dari kesudahan kedua golongan tersebut secara khusus. Pohon kenabian dan naungan Ibrahim sebagai bapaknya para Nabi sangat jelas gambarannya di sini. Pohon tersebut menghasilkan buahnya setiap waktu. Buah yang segar dan baik. Seorang Nabi di antara para Nabi. Ia membuahkan iman, kebaikan, dan vitalitas.
Tetapi, perumpamaan ini—di luar keserasiannya dengan suasana surat dan suasana kisah—lebih jauh cakrawalanya daripada keserasian tersebut, lebih luas ranahnya, dan lebih dalam hakikatnya.
Sesungguhnya kalimat yang baik—kalimat kebenaran—itu benar-benar seperti pohon yang baik. Ia kokoh, menjulang tinggi, dan berbuah. Ia kokoh tanpa bisa digoyahkan badai, tidak bisa dirobohkan angin kebatilan, dan tidak mempan cangkul kesewenang-wenangan—meskipun sementara orang membayangkan bahwa pohon tersebut menghadang bahaya yang besar pada sebagian kesempatan. Ia menjulang tinggi, menuasai kejahatan, kezhaliman, dan kesewenang-wenangan dari atas—meskipun sementara orang berimajinasi bahwa kejahatan dapat menerpanya di udara. Ia juga berbuah dan buahnya itu tidak pernah berhenti, karena akar-akarnya tumbuh di dalam jiwa-jiwa terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dan sesungguhnya kalimat yang buruk—kalimat kebatilan—itu benar-benar seperti pohon yang buruk. Terkadang ia membesar, meninggi, dan berjalinan; dan sementara orang membayangkan bahwa ia lebih besar dan lebih kuat daripada pohon yang baik. Tetapi, ia tercerai berai, ramuk, akar-akarnya berada di dalam tanah yang dangkal hingga seolah-olah berada di permukaan tangan. Keberadaannya hanya sementara, kemudian ia dicabur dari permukaan tanah, sehingga ia tidak dapat tegak sedikit pun.
Ini bukan sekedar perumpamaan, dan bukan hiburan dan motivasi bagi orang-orang yang baik, melainkan sebuah realitas dalam kehidupan, meskipun realisasinya terlambat pada sebagian kesempatan.
Kebaikan yang mengakar itu tidak mati dan tidak layu, meskipun keburukan menerpanya dan tergilas di jalanan. Demikian pula, keburukan itu tidak bisa hidup kecuali untuk sekedar menghabiskan sebagian kebaikan yang melekat padanya—karena memang sedikit ditemukan keburukan yang murni. Ketika ia telah menghabiskan kebaikan yang melekat padanya sehingga tidak ada lagi sisa kebaikan di dalamnya, maka ia pun runtuh dan hancur lebut, meskipun ia besar dan tinggi.
Kebaikan tetaplah kebaikan, dan keburukan tetaplah keburukan!
“Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. ” (25)
Jadi, ini adalah perumpamaan yang benar-benar terbukti di bumi, tetapi manusia sering melupakannya di tengah himpitan hidup.
Di bawah naungan pohon yang kokoh, dimana ungkapan ikut serta melukiskan arti kekokohan dan suasananya, dimana ungkapan melukiskannya: akarnya kokoh dan mantap di bumi, cabangnya tinggi dan menjual di langit sejauh mata memandang, dan berdiri di tepan untuk untuk memberi inspirasi tentang kekuatan dan kemantapan.
Di bawah naungan pohon yang kokoh sebagai perumpamaan tentang kalimat yang baik ini konteks surat menjelaskan, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” Dan di bawah naungan pohon yang buruk, tercabut dari atas tanah, tidak bisa berdiri dengan mantap dan kokoh itu konteks surat menjelaskan, “Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim..” Dengan demikian, naungan ungkapan dan naungan makna menjadi serasi di dalam konteks surat!
Allah meneguhkan orang-orang yang beriman di kehidupan dunia dan di akhirat dengan kalimat iman yang mantap di dalam hati, yang kokoh di dalam fitrah, dan yang membuahkan amal shaleh yang selalu baru dan abadi dalam kehidupan. Allah meneguhkan mereka dengan kalimat-kalimat al-Qur’an dan kalimat-kalimat Rasul; dengan janji-Nya untuk memberi pertolongan di dunia dan kemenangan di akhirat. Seluruhnya adalah kalimat-kalimat yang kokoh, jujur, dan benar, tidak bertentangan, tidak bercabang jalannya, dan empunya tidak dihinggari rasa cemas, bingung, dan tergoncang.
Allah menyesatkan orang-orang zhalim karena kezhaliman dan syirik yang mereka lakukan (kata zhalim dalam konteks al-Qur’an sering dan lazim digunakan untuk arti syirik), jauhnya mereka dari cahaya yang memberi petunjuk, goncangnya mereka di dalam labirin kegelapan, prasangka, mitos, dan tunduknya mereka terhadap berbagai manhaj dan aturan yang bersumber dari hawa nafsu dan bukan pilihan Allah. Allah menyesatkan mereka sesuai sunnah-Nya yang berlaku pada orang yang zhalim, buta terhadap cahaya, dan tunduk kepada hawa nafsu. Allah mengarahkan mereka kepada kesesatan, kebingungan, dan ketelantaran.
“Dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..”
Dengan kehendak-Nya yang mutlak, yang memilih undang-undang, dimana kehendak-Nya itu tidak terikat dengan undang-undang tersebut, melainkan meridhainya, sampai hikmah Allah menuntut perubahannya dalam bingkai kehendak yang tidak bisa dihalangi oleh satu kekuatan, dan tidak tercegah oleh suatu penghalang. Setiap perkara di alam semesta ini terlaksana sesuai apa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penutup inilah kisah terbesar tentang risalah dan dakwah ini diulas. Ia telah mengambil separo yang pertama dan terbesar dari surat yang dinamai dengan nama Bapak para Nabi, yaitu Ibrahim. Pohon yang rimbun, lebat, dan menghasilkan buah yang terbaik; kalimat yang baik, selalu baru di dalam generasi-generasi yang silih berganti, semuanya mengandung hakikat yang besar ini, hakikat satu risalah yang tidak tergantikan, hakikat satu dakwah yang tidak berubah, dan hakikat tauhid kepada Allah yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.
Sekarang, mari kita melakukan perenungan-perenungan singkat mengenai hakikat-hakikat yang dipaparkan kisah para Rasul bersama jahiliyah. Itulah hakikat-hakikat yang kami isyaratkan secara cepat di tengah pemaparan konteks surat, dan kami berpikir bahwa ia memerlukan perenungan-perenungan tersendiri.
Dari kisah ini kita menemukan sebuah hakikat primer yang menonjol yang dituturkan Allah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengenal kepada kita. Sesungguhnya parade iman sejak fajar sejarah manusia merupakan satu parade yang bersambung, dipandu oleh Rasul-Rasul Allah yang mulia, menyerukan satu hakikat, menyuarakan satu dakwah, dan berjalan di atas satu manhaj. Mereka semua menyerukan satu uluhiyyah dan satu rububiyyah; dan mereka tidak menyeru seseorang selain Allah, tidak bertawakkal pada seseorang kecuali pada-Nya, tidak mencari perlindungan kepada kepada-Nya, dan tidak mengenal sandaran selain-Nya.
Jadi, perkara keyakinan tentang Allah yang Maha Esa itu tidak seperti anggapan para “ahli perbandingan agama”, bahwa ia berkembang dan meningkat dari politheisme menjadi henotheisme lalu menjadi monotheisme; dari menyembah totem, roh, dan bintang menjadi menyembah Allah yang Maha Esa. Dan bahwa keyakinan tersebut berkembang dan meningkat seiring perkembangan dan peningkatan pengalaman dan pengetahuan manusia, juga seiring perkembangan dan peningkatan sistem politik yang berakhir pada tatanan integral di bawah satu penguasa…
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24), pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (25). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (26) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..” (27)

Sesungguhnya keyakinan tentang Allah yang Maha Esa itu dibawa oleh risalah-risalah sejak fajar Islam. Hakikat ini tidak berubah dan tidak berganti dalam satu risalah pun, dan tidak pula dalam satu agama satu pun, sebagaimana yang dituturkan Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengenal kepada kita.
Seandainya para ‘ahli’ itu mengatakan bahwa penerimaan umat manusia terhadap akidah tauhid yang dibawa oleh para Rasul itu meningkat dari satu zaman kerasulan ke zaman kerasulan yang lain, dan bahwa paganisme jahiliyah itu terpengaruh oleh akidah tauhid yang konstan dimana parade para Rasul mulia itu menghadapkannya kepada ajaran-ajaran pagan itu dari waktu ke waktu, hingga datang masa dimana akidah tauhid lebih banyak diterima oleh masyarakat umum daripada sebelumnya, karena bertubi-tubinya risalah-risalah tauhid ini, dan karena faktor-faktor lain…Seandainya para ‘ahli’ itu menyatakan pendapat seperti ini, maka boleh-boleh saja. Tetapi, mereka terpengaruh oleh metode penilitan yang sejak awal didasari oleh permusuhan sengit dan klasik oleh gereja di Eropa—meskipun tidak disadari oleh para ulama kontemporer. Juga berangkat dari keinginan tersembunyi—sadar atau tidak sadar—untuk menghancurkan manhaj agama dalam berpikir, dan menetapkan bahwa agama itu bukan wahyu dari sisi Allah, melainkan ijtihad manusia, dimana sifat yang melekat padanya itu sama seperti sifat perkembangan mereka dalam pemikiran, pengalaman, pengetahuan ilmiah. Dari permusuhan laten dan dari keinginan tersembunyi inilah lahir ilmu perbandingan agama. Meski demikian, ia disebut ‘ilmu’ yang mengecoh banyak orang!
Kalau pun seseorang dapat terkecoh oleh ‘ilmu’ semacam ini, maka tidak sepatutnya hal itu terjadi pada seorang Muslim yang percaya kepada agamanya dan menghormati manhaj agama ini dalam menetapkan hakikat semacam ini. Dan tidak sepatutnya ia mengeluarkan pendapat yang berbenturan secara langsung dengan ketetapan-ketetapan agamanya, dan dengan manhajnya yang jelas di dalam masalah yang krusial ini.
Jadi, parade Rasul-Rasul mulia itu menghadapi umat manusia yang sesat dengan satu dakwah dan dengan satu akidah. Begitu juga, jahiliyah itu menghadapi parade mulia, satu dakwah, dan satu akidah itu dengan satu perlawanan—seperti yang dipaparkan konteks surat dengan mengesampingkan aspek ruang dan waktu, dan menampilkan satu hakikat yang terhubung di balik ruang dan waktu. Sebagaimana dakwah para Rasul itu tidak berganti, maka begitu juga perlawanan jahiliyah itu tidak berganti!
Sungguh, ini merupakan sebuah hakikat yang benar-benar menuntut perhatian! Sesungguhnya jahiliyah tetaplah jahiliyah di sepanjang zaman. Jahiliyah bukan periode waktu, melainkan sebuah tatanan, keyakinan, konsepsi, dan perhimpunan organisasional yang berasaskan elemen-elemen ini.
Pada mulanya jahiliyah berdiri di atas prinsip kepatuhan hamba kepada sesama hamba, menuhankan selain Allah, atau memberikan rububiyyah kepada selain Allah—keduanya sama-sama melahirkan jahiliyah. Jadi, sama saja antara keyakinan itu berpijak pada politheisme, atau berpijak pada pengesaan satu Ilah (sesembahan) dengan disertai banyak rabb (tuhan sebagai pengatur). Keduanya melahirkan jah dengan setiap karakteristik sekundernya yang lain!
Dakwah para Rasul itu berpijak pada prinsip mengesakan Allah dan menyingkirkan tuhan-tuhan yang palsu, memurnikan agama untuk Allah—maksudnya memurnikan ketaatan kepada Allah, memonopolikan rububiyyah bagi-Nya (baca: hakimiyyah dan kekuasaan). Dari sini, ia berbenturan langsung dengan fondasi yang menjadi pijakan jahiliyah; dan eksistensinya menjadi ancaman bagi eksistensi jahiliyah. Khususnya ketika dakwah Islam termanifestasi dalam sebuah perhimpunan khusus, yang mengambil individu-individunya dari perhimpunan jahiliyah; dan membawa mereka memisahkan diri dari jahiliyah dari segi keyakinan, kepemimpinan, dan loyalitas. Sesuatu yang pasti terjadi pada dakwah Islam di setiap ruang dan waktu.
Ketika perhimpunan jahiliyah—dalam kapasitasnya sebagai satu entitas keanggotaan yang saling meneguhkan—itu merasakan bahaya yang mengancam fondasi eksistensinya dari segi keyakinan, sebagaimana eksistensinya itu sendiri terancam oleh manifestasi akidah Islam dalam perhimpunan yang berbeda dan terpisah darinya, serta berhadapan dengannya, maka pada saat itu perhimpunan jahiliyah akan menyingkap hakikat sikapnya terhadap dakwah Islam!
Itulah peperangan antara dua eksistensi yang tidak mungkin ada perdamaian atau toleransi di antara keduanya! Peperangan di antara dua perhimpunan organik yang salah satunya berpijak pada fondasi yang berlawanan sepenuhnya dengan fondasi perhimpunan yang lain. Karena perhimpunan jahiliyah berpijak pada fondasi monotheisme, atau banyak tuhan, sehingga dengan demikian para hamba itu tunduk kepada sesama hamba, sementara perhimpunan Islami berpijak pada fondasi keesaan uluhiyyah dan rububiyyah, sehingga dengan demikian para hamba tunduk kepada sesama hamba.
Ketika perhimpunan Islam mengambil enegeri setiap hari dari tubuh perhimpunan jahiliyah pada awal fase saat dalam periode pembentukan, kemudian sesudah itu ia harus berhadapan dengan perhimpunan jahiliyah untuk merebut kendali darinya dan mengeluarkan semua manusia dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada ‘ubudiyyah kepada Allah semata, ketika semua ini merupakan keniscayaan yang pasti terjadi ketika dakwah Islam berada di jalurnya yang benar, maka jahiliyah tidak bisa menerima dakwah Islam sejak pertama. Dari sini kita memahami mengapa perlawanan jahiliyah terhadap dakwah para Rasul mulia itu satu dan sama! Yaitu perlawanan untuk membela diri dari pengeroposan, dan perlawanan untuk membela hakimiyyah (hak membuat aturan) yang merupakan karakteristik uluhiyyah yang dirampas oleh para hamba di dalam jahiliyah!
Apabila demikian ini perasaan jahiliyah terhadap bahaya dakwah Islam, maka dakwah ini telah menghadap peperangan hidup dan mati, tidak ada toleransi, gencatan senjata, dan perdamaian di dalamnya! Jahiliyah tidak mau menipu diri sendiri tentang hakikat peperangan ini. Begitu juga para Rasul mulia shalawatullah wasalamuhu ‘alaihim tidak menipu diri sendiri mengenai hakikat peperangan.
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka, ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.’” (13)
Jadi, mereka tidak bisa menerima jika para Rasul dan orang yang beriman bersama mereka itu memisahkan diri dengan akidah, kepemimpinan, dan perhimpunan khusus mereka. Mereka hanya meminta para Rasul dan orang-orang mukmin itu untuk kembali ke agama mereka, melebur di dalam perhimpunan mereka, dan larut di dalamnya, atau mereka akan mengusir para Rasul dan orang-orang mukmin itu dari negeri mereka.
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى قَالُواْ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُنَا تُرِيدُونَ أَن تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَآؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ ﴿١٠﴾
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِن نَّحْنُ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللّهَ يَمُنُّ عَلَى مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَن نَّأْتِيَكُم بِسُلْطَانٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَعلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١١﴾
وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ ﴿١٢﴾
Para Rasul mulia itu tidak menerima untuk melebur di dalam perhimpunan jahiliyah dan larut di dalamnya. Mereka tidak mau kehilangan watak perhimpunan khusus mereka. Perhimpunan yang berpijak pada fondasi yang berbeda dengan fondasi perhimpunan jahiliyah. Mereka tidak berkata seperti yang dikatakan orang-orang yang tidak memahami hakikat Islam dan hakikat komposisi organisasional masyarakat, “Baiklah! Kami akan melebur dalam agama mereka agar kami bisa menjalankan dakwah kami dan melayani akidah kami melalui mereka!”
Pemisahan diri Islam dengan akidahnya dari masyarakat jahiliyah itu pasti diikuti dengan pemisahan dirinya dengan komunitas Islaminya, kepemimpinannya, dan loyalitasnya. Tidak ada pilihan dalam hal ini. Ini adalah sebuah kepastian di antara kepastian-kepastian pembentukan organisasi bagi masyarakat. Pembentukan yang menjadikan perhimpunan jahiliyah sangat sensitif terhadap dakwah Islam yang berdiri di atas fondasi ‘ubudiyyah manusia kepada Allah semata; dan menyingkikan tuhan-tuhan palsu dari pusat kepemimpinan dan kekuasaan. Sebagaimana ia menjadikan setiap anggota muslim yang larut dalam masyarakat jahiliyah itu sebagai pelayan bagi perhimpunan jahiliyah, bukan pelayan bagi Islamnya, sebagaimana dugaan sebagian orang-orang yang tertipu!
Kemudian masih ada hakikat yang besifat takdir yang seyogianya tidak dilupakan para da’i dalam semua kondisi, yaitu bahwa realisasi janji Allah berupa kemenangan dan kedudukan yang kuat bagi wali-wali-Nya; pemutusan perkara di antara mereka dengan haq itu tidak terjadi kecuali sesudah para juru dakwah itu memisahkan diri; dan sesudah mereka meninggalkan kaumnya atas dasar kebenaran yang ada pada mereka. Jadi, keputusan dari Allah itu tidak terjadi saat para juru dakwah melebur dalam masyarakat jahiliyah, dan larut dalam tatanan-tatanannya, dan bekerja di dalam formalitas-formalitasnya. Setiap jarak waktu yang digunakan untuk larut sedemikian rupa berarti jarak waktu menunda janji kemenangan dan kedudukan dari Allah. Ini adalah tanggungjawab besar yang wajib direnungkan oleh para pelaku dakwah jika mereka sadar dan menghitung.
Terakhir, mari kita renungkan keindahan pemaparan al-Qur’an tentang parade iman saat ia menghadapi jahiliyah jahiliyah yang sesat di sepanjang zaman, keindahan kebenaran yang fitri, sederhana, jelas, mendalam, sarat keyakinan dan ketentraman, serta kokoh dan mantap.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?’” (10)
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (11)
Keindahan yang mengagumkan ini muncul dari pemaparan yang menjadikan para Rasul itu sebagai parade yang integral dalam menghadapi jahiliyah yang integral; melukiskan hakikat abadi di balik situasi dan kondisi yang berubah-ubah; menampilkan ciri-ciri yang unik bagi dakwah yang diusung pada Rasul dan bagi jahiliyah yang mengahdapi mereka, di balik ruang dan waktu, dan di balik ras dan bangsa!
Kemudian keindahan ini tampak pada pengungkapan hubungan antara kebenaran yang dibawa oleh dakwah para Rasul mulia, dan kebenaran yang tersimpan dalam entitas alam semesta ini.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’” (10)
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami..” (12)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makhluk yang baru..” (19)
Demikianlah hubungan yang mendalam antara kebenaran di dalam dakwah ini dan kebenaran yang tersimpan di dalam seluruh wujud. Tampak bahwa ia merupakan satu kebenaran yang terhubung dengan Allah yang Haq, mantap, kokoh, dan mendalam akar-akarnya, “seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit..” dan bahwa selainnya adalah kebatilan yang pasti lenyap, “seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.”
Demikianlah, keindahan itu tercermin dalam perasaan para Rasul akan hakikat Allah Tuhan mereka dan hakikat uluhiyyah; sebagaimana ia tampak jelas pada hati kelompok pilihan di antara hamba-hamba-Nya:
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (12)
Seluruhnya merupakan potret tentang keindahan menakjubkan yang tidak bisa dijangkau bahasa manusia kecuali sekedar memberi isyarat seperti menunjuk kepada bintang yang jauh. Isyarat telunjuk itu tidak menjangkaunya, melainkan sekedar mengarahkan perhatian orang-orang ke arahnya.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24), pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (25). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (26) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..” (27)

Sesungguhnya keyakinan tentang Allah yang Maha Esa itu dibawa oleh risalah-risalah sejak fajar Islam. Hakikat ini tidak berubah dan tidak berganti dalam satu risalah pun, dan tidak pula dalam satu agama satu pun, sebagaimana yang dituturkan Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengenal kepada kita.
Seandainya para ‘ahli’ itu mengatakan bahwa penerimaan umat manusia terhadap akidah tauhid yang dibawa oleh para Rasul itu meningkat dari satu zaman kerasulan ke zaman kerasulan yang lain, dan bahwa paganisme jahiliyah itu terpengaruh oleh akidah tauhid yang konstan dimana parade para Rasul mulia itu menghadapkannya kepada ajaran-ajaran pagan itu dari waktu ke waktu, hingga datang masa dimana akidah tauhid lebih banyak diterima oleh masyarakat umum daripada sebelumnya, karena bertubi-tubinya risalah-risalah tauhid ini, dan karena faktor-faktor lain…Seandainya para ‘ahli’ itu menyatakan pendapat seperti ini, maka boleh-boleh saja. Tetapi, mereka terpengaruh oleh metode penilitan yang sejak awal didasari oleh permusuhan sengit dan klasik oleh gereja di Eropa—meskipun tidak disadari oleh para ulama kontemporer. Juga berangkat dari keinginan tersembunyi—sadar atau tidak sadar—untuk menghancurkan manhaj agama dalam berpikir, dan menetapkan bahwa agama itu bukan wahyu dari sisi Allah, melainkan ijtihad manusia, dimana sifat yang melekat padanya itu sama seperti sifat perkembangan mereka dalam pemikiran, pengalaman, pengetahuan ilmiah. Dari permusuhan laten dan dari keinginan tersembunyi inilah lahir ilmu perbandingan agama. Meski demikian, ia disebut ‘ilmu’ yang mengecoh banyak orang!
Kalau pun seseorang dapat terkecoh oleh ‘ilmu’ semacam ini, maka tidak sepatutnya hal itu terjadi pada seorang Muslim yang percaya kepada agamanya dan menghormati manhaj agama ini dalam menetapkan hakikat semacam ini. Dan tidak sepatutnya ia mengeluarkan pendapat yang berbenturan secara langsung dengan ketetapan-ketetapan agamanya, dan dengan manhajnya yang jelas di dalam masalah yang krusial ini.
Jadi, parade Rasul-Rasul mulia itu menghadapi umat manusia yang sesat dengan satu dakwah dan dengan satu akidah. Begitu juga, jahiliyah itu menghadapi parade mulia, satu dakwah, dan satu akidah itu dengan satu perlawanan—seperti yang dipaparkan konteks surat dengan mengesampingkan aspek ruang dan waktu, dan menampilkan satu hakikat yang terhubung di balik ruang dan waktu. Sebagaimana dakwah para Rasul itu tidak berganti, maka begitu juga perlawanan jahiliyah itu tidak berganti!
Sungguh, ini merupakan sebuah hakikat yang benar-benar menuntut perhatian! Sesungguhnya jahiliyah tetaplah jahiliyah di sepanjang zaman. Jahiliyah bukan periode waktu, melainkan sebuah tatanan, keyakinan, konsepsi, dan perhimpunan organisasional yang berasaskan elemen-elemen ini.
Pada mulanya jahiliyah berdiri di atas prinsip kepatuhan hamba kepada sesama hamba, menuhankan selain Allah, atau memberikan rububiyyah kepada selain Allah—keduanya sama-sama melahirkan jahiliyah. Jadi, sama saja antara keyakinan itu berpijak pada politheisme, atau berpijak pada pengesaan satu Ilah (sesembahan) dengan disertai banyak rabb (tuhan sebagai pengatur). Keduanya melahirkan jah dengan setiap karakteristik sekundernya yang lain!
Dakwah para Rasul itu berpijak pada prinsip mengesakan Allah dan menyingkirkan tuhan-tuhan yang palsu, memurnikan agama untuk Allah—maksudnya memurnikan ketaatan kepada Allah, memonopolikan rububiyyah bagi-Nya (baca: hakimiyyah dan kekuasaan). Dari sini, ia berbenturan langsung dengan fondasi yang menjadi pijakan jahiliyah; dan eksistensinya menjadi ancaman bagi eksistensi jahiliyah. Khususnya ketika dakwah Islam termanifestasi dalam sebuah perhimpunan khusus, yang mengambil individu-individunya dari perhimpunan jahiliyah; dan membawa mereka memisahkan diri dari jahiliyah dari segi keyakinan, kepemimpinan, dan loyalitas. Sesuatu yang pasti terjadi pada dakwah Islam di setiap ruang dan waktu.
Ketika perhimpunan jahiliyah—dalam kapasitasnya sebagai satu entitas keanggotaan yang saling meneguhkan—itu merasakan bahaya yang mengancam fondasi eksistensinya dari segi keyakinan, sebagaimana eksistensinya itu sendiri terancam oleh manifestasi akidah Islam dalam perhimpunan yang berbeda dan terpisah darinya, serta berhadapan dengannya, maka pada saat itu perhimpunan jahiliyah akan menyingkap hakikat sikapnya terhadap dakwah Islam!
Itulah peperangan antara dua eksistensi yang tidak mungkin ada perdamaian atau toleransi di antara keduanya! Peperangan di antara dua perhimpunan organik yang salah satunya berpijak pada fondasi yang berlawanan sepenuhnya dengan fondasi perhimpunan yang lain. Karena perhimpunan jahiliyah berpijak pada fondasi monotheisme, atau banyak tuhan, sehingga dengan demikian para hamba itu tunduk kepada sesama hamba, sementara perhimpunan Islami berpijak pada fondasi keesaan uluhiyyah dan rububiyyah, sehingga dengan demikian para hamba tunduk kepada sesama hamba.
Ketika perhimpunan Islam mengambil enegeri setiap hari dari tubuh perhimpunan jahiliyah pada awal fase saat dalam periode pembentukan, kemudian sesudah itu ia harus berhadapan dengan perhimpunan jahiliyah untuk merebut kendali darinya dan mengeluarkan semua manusia dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada ‘ubudiyyah kepada Allah semata, ketika semua ini merupakan keniscayaan yang pasti terjadi ketika dakwah Islam berada di jalurnya yang benar, maka jahiliyah tidak bisa menerima dakwah Islam sejak pertama. Dari sini kita memahami mengapa perlawanan jahiliyah terhadap dakwah para Rasul mulia itu satu dan sama! Yaitu perlawanan untuk membela diri dari pengeroposan, dan perlawanan untuk membela hakimiyyah (hak membuat aturan) yang merupakan karakteristik uluhiyyah yang dirampas oleh para hamba di dalam jahiliyah!
Apabila demikian ini perasaan jahiliyah terhadap bahaya dakwah Islam, maka dakwah ini telah menghadap peperangan hidup dan mati, tidak ada toleransi, gencatan senjata, dan perdamaian di dalamnya! Jahiliyah tidak mau menipu diri sendiri tentang hakikat peperangan ini. Begitu juga para Rasul mulia shalawatullah wasalamuhu ‘alaihim tidak menipu diri sendiri mengenai hakikat peperangan.
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka, ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.’” (13)
Jadi, mereka tidak bisa menerima jika para Rasul dan orang yang beriman bersama mereka itu memisahkan diri dengan akidah, kepemimpinan, dan perhimpunan khusus mereka. Mereka hanya meminta para Rasul dan orang-orang mukmin itu untuk kembali ke agama mereka, melebur di dalam perhimpunan mereka, dan larut di dalamnya, atau mereka akan mengusir para Rasul dan orang-orang mukmin itu dari negeri mereka.
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى قَالُواْ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُنَا تُرِيدُونَ أَن تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَآؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ ﴿١٠﴾
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِن نَّحْنُ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللّهَ يَمُنُّ عَلَى مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَن نَّأْتِيَكُم بِسُلْطَانٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَعلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١١﴾
وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ ﴿١٢﴾
Para Rasul mulia itu tidak menerima untuk melebur di dalam perhimpunan jahiliyah dan larut di dalamnya. Mereka tidak mau kehilangan watak perhimpunan khusus mereka. Perhimpunan yang berpijak pada fondasi yang berbeda dengan fondasi perhimpunan jahiliyah. Mereka tidak berkata seperti yang dikatakan orang-orang yang tidak memahami hakikat Islam dan hakikat komposisi organisasional masyarakat, “Baiklah! Kami akan melebur dalam agama mereka agar kami bisa menjalankan dakwah kami dan melayani akidah kami melalui mereka!”
Pemisahan diri Islam dengan akidahnya dari masyarakat jahiliyah itu pasti diikuti dengan pemisahan dirinya dengan komunitas Islaminya, kepemimpinannya, dan loyalitasnya. Tidak ada pilihan dalam hal ini. Ini adalah sebuah kepastian di antara kepastian-kepastian pembentukan organisasi bagi masyarakat. Pembentukan yang menjadikan perhimpunan jahiliyah sangat sensitif terhadap dakwah Islam yang berdiri di atas fondasi ‘ubudiyyah manusia kepada Allah semata; dan menyingkikan tuhan-tuhan palsu dari pusat kepemimpinan dan kekuasaan. Sebagaimana ia menjadikan setiap anggota muslim yang larut dalam masyarakat jahiliyah itu sebagai pelayan bagi perhimpunan jahiliyah, bukan pelayan bagi Islamnya, sebagaimana dugaan sebagian orang-orang yang tertipu!
Kemudian masih ada hakikat yang besifat takdir yang seyogianya tidak dilupakan para da’i dalam semua kondisi, yaitu bahwa realisasi janji Allah berupa kemenangan dan kedudukan yang kuat bagi wali-wali-Nya; pemutusan perkara di antara mereka dengan haq itu tidak terjadi kecuali sesudah para juru dakwah itu memisahkan diri; dan sesudah mereka meninggalkan kaumnya atas dasar kebenaran yang ada pada mereka. Jadi, keputusan dari Allah itu tidak terjadi saat para juru dakwah melebur dalam masyarakat jahiliyah, dan larut dalam tatanan-tatanannya, dan bekerja di dalam formalitas-formalitasnya. Setiap jarak waktu yang digunakan untuk larut sedemikian rupa berarti jarak waktu menunda janji kemenangan dan kedudukan dari Allah. Ini adalah tanggungjawab besar yang wajib direnungkan oleh para pelaku dakwah jika mereka sadar dan menghitung.
Terakhir, mari kita renungkan keindahan pemaparan al-Qur’an tentang parade iman saat ia menghadapi jahiliyah jahiliyah yang sesat di sepanjang zaman, keindahan kebenaran yang fitri, sederhana, jelas, mendalam, sarat keyakinan dan ketentraman, serta kokoh dan mantap.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?’” (10)
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (11)
Keindahan yang mengagumkan ini muncul dari pemaparan yang menjadikan para Rasul itu sebagai parade yang integral dalam menghadapi jahiliyah yang integral; melukiskan hakikat abadi di balik situasi dan kondisi yang berubah-ubah; menampilkan ciri-ciri yang unik bagi dakwah yang diusung pada Rasul dan bagi jahiliyah yang mengahdapi mereka, di balik ruang dan waktu, dan di balik ras dan bangsa!
Kemudian keindahan ini tampak pada pengungkapan hubungan antara kebenaran yang dibawa oleh dakwah para Rasul mulia, dan kebenaran yang tersimpan dalam entitas alam semesta ini.
“Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’” (10)
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami..” (12)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makhluk yang baru..” (19)
Demikianlah hubungan yang mendalam antara kebenaran di dalam dakwah ini dan kebenaran yang tersimpan di dalam seluruh wujud. Tampak bahwa ia merupakan satu kebenaran yang terhubung dengan Allah yang Haq, mantap, kokoh, dan mendalam akar-akarnya, “seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit..” dan bahwa selainnya adalah kebatilan yang pasti lenyap, “seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.”
Demikianlah, keindahan itu tercermin dalam perasaan para Rasul akan hakikat Allah Tuhan mereka dan hakikat uluhiyyah; sebagaimana ia tampak jelas pada hati kelompok pilihan di antara hamba-hamba-Nya:
“Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (12)
Seluruhnya merupakan potret tentang keindahan menakjubkan yang tidak bisa dijangkau bahasa manusia kecuali sekedar memberi isyarat seperti menunjuk kepada bintang yang jauh. Isyarat telunjuk itu tidak menjangkaunya, melainkan sekedar mengarahkan perhatian orang-orang ke arahnya.

SISTEM PENDIDIKAN ANAK DAN HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” (12)
"Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (13)
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibuba panya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun ,. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14)
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan(15)
(Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (16)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (17)
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (19) (Luqman/31 : 12 – 19)
Ada perbedaan riwayat tentang siapa sebenarnya Luqman yang dipilih al-Qur’an untuk menyampaikan masalah tauhid dan akhirat melalui lisannya. Sebagian mengatakan bahwa ia adalah seorang Nabi, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa ia hanyalah seorang hamba yang saleh. Mayoritas berpegang pada pendapat kedua.
Sebuah sumber mengatakan ia berdarah Habsyi, sumber lain mengatakan berdarah Naubi, dan sumber yang lain mengatakan bahwa dia adalah salah seorang qadhi di kalangan Bani Israil. Siapapun Luqman, al-Qur’an menetapkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang diberi hikmah (wisdom) oleh Allah. Hikmah yang di antara kandungan dan implikasinya adalah syukur kepada Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah!’” Ini adalah instruksi implisit Qur’ani untuk bersyukur kepada Allah dengan meneladani orang yang bijak dan terpilih untuk menyampaikan kisah dan ucapannya. Selain instruksi yang bersifat implisit ini, ada pula instruksi lain. Jadi, syukur kepada Allah itu merupakan tabungan dan kelak akan bermanfaat bagi orang yang melakukannya sendiri, karena Allah Mahamandiri terhadap syukur. Allah terpuji dengan sendiri-Nya, meskipun tidak satu makhluk-Nya yang memuji-Nya. “Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” Jadi, yang paling bodoh di antara orang-orang bodoh adalah orang yang menyalahi hikmah dan tidak menyimpan bekal semacam ini untuk dirinya.
Setelah itu dipaparkan masalah tauhid dalam bentuk nasihat dari Luqman al-Hakim kepada putranya.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’” (13)
Sungguh, ini merupakan nasihat yang tidak dicurigai memuat maksud yang tidak baik, karena seorang ayah tidak menghendaki apapun bagi anaknya selain kebaikan; dan yang harus dilakukan ayah kepada anaknya adalah menasihati. Luqman al-Hakim melarang anaknya berbuat syirik, dan memberi alasan terhadap larangan ini bahwa syirik merupakan kezhaliman yang besar. Ia menegaskan hakikat ini dua kali. Pada satu saat dengan mendahulukan larangan dan merinci alasannya, dan pada saat yang lain dengan kata inna (sesungguhnya) dan la (benar-benar). Inilah hakikat yang disampaikan Muhammad saw kepada kaumnya, lalu mereka mendebatnya, meragukan tujuan di balik pemaparannya. Mereka takut jika tujuannya adalah untuk merampas kekuasaan dari tangan mereka dan menjadi lebih terhormat daripada mereka!
Lalu, apa yang mereka katakan sedangkan Luqman al-Hakim menyampaikan nasihat itu dan memerintahkannya kepada anaknya? Bukankah nasihat ayah kepada anak itu bersih dari setiap keraguan dan jauh dari setiap persangkaan? Ketahuilah, ini adalah hakikat klasik yang meluncur dari lisan setiap orang yang diberi hikmah oleh Allah; tujuannya adalah kebaikan semata, tidak lain. Inilah stimulasi psikologis yang dimaksud.
Di bawah naungan nasihat ayah kepada anaknya, al-Qur’an memaparkan hubungan antara orangtua dan anak dalam gaya bahasa yang lembut, dan melukiskan hubungan ini secara inspiratif, sarat emosi/perasaan dan kelembutan. Meskipun demikian, hubungan akidah harus dikedepankan daripada hubungan yang erat tersebut.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (14-15)
Nasihat kepada anak untuk berbakti kepada orangtua sering diulang di dalam al-Qur’an al-Karim dan pesan-pesan Rasulullah saw. Sedangkan nasihat kepada orangtua untuk berbuat baik kepada anak itu sangat sedikit. Sebagian besarnya dalam kasus mengubur anak hidup-hidup—dan itu adalah kasus khusus pada kondisi tertentu. Yang demikian itu karena fitrah semata telah menjamin orangtua untuk mengayomi anaknya. Fitrah terdorong mengayomi generasi baru untuk menjamin keberlangsungan kehidupan sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Orangtua pasti mau mengorbankan jiwa, raga, usia, dan segala miliknya yang berharga untuk anaknya, tanpa berkeluh kesah, bahkan tanpa menyadari dan merasakan apa yang telah dikorbankannya! Bahkan dalam suasana yang semangat, gembir, dan senang, seolah-olah orangtua-lah yang mengambil manfaat dari anak! Jadi, fitrah semata telah menjamin nasihat untuk orangtua, tanpa memerlukan nasihat lain! Sedangkan anak membutuhkan nasihat yang berulang-ulang agar ia memperhatikan generasi yang telah berkorban, mendidik, mengayomi, dan telah sampai di senja kehidupannya, setelah ia mengorbankan usia, jiwa, dan raganya untuk generasi yang menuju masa depan kehidupan!
Seorang anak tidak mampu dan tidak sampai mengganti apa yang telah dikobarkan orangtua, meskipun ia menghibahkan usianya untuk keduanya. Dan inilah gambaran yang inspiratif: “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. ” Gambaran ini memberi naungan tentang pengorbanan yang luar biasa. Sudah barang tentu ibu menanggung bagian yang lebih besar, dan berbuat baik kepada anaknya dalam emosi yang lebih besar, lebih dalam, lebih hangat, dan lebih lembut. Al-Hafizh Abu Bakar al-Bazzar dalam Musnad-nya meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraid, dari ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki thawaf sambil menggendong ibunya untuk thawaf bersama.
Lalu ia bertanya kepada Nabi saw, “Apakah laki-laki itu telah membayar hak ibunya?” Beliau menjawab, “Tidak, meskipun untuk satu keluhan nafas yang panjang.” Demikianlah, meskipun untuk satu keluhan nafas yang panjang, baik saat kehamilan atau dalam persalinan. Ibu mengandungnya dalam keadaan yang bertambah-tambah
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” (12)
"Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (13)
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibuba panya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun ,. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14)
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan(15)
(Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (16)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (17)
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (19) (Luqman/31 : 12 – 19)
Di bawah naungan gambaran yang lembut itu, al-Qur’an mengarahkan untuk bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat yang pertama, dan kepada kedua orangtua sebagai pemberi nikmat yang yang kedua. Al-Qur’an menyusun kewajiban-kewajiban, dimana syukur kepada Allah disebut terlebih dahulu, lalu disusul dengan syukur kepada kedua orangtua. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu..” Lalu al-Qur’an menghubungkan hakikat ini dengan hakikat akhirat: “Hanya kepada-Kulah kembalimu..” dimana bekal syukur yang disimpan itu bermanfaat.
Teatpi, hubungan kedua orangtua dengan anak—bagaimana pun emosi dan kemuliaannya—dalam urutannya berada sesudah pertalian akidah. Karena nasihat selanjutnya kepada manusia menyangkut hubungannya dengan kedua orangtuanya adalah: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..” Sampai di sini gugur kewajiban taat, dan pertalian akidah mengalahkan segala pertalian yang lain. Meskipun kedua orang tua mengerahkan tenaga, usaha keras, paksaan, dan persuasi untuk membujuk anak supaya menyekutukan Allah dengan apa-apa yang memang tidak memiliki uluhiyyah, maka ia diperintahkan oleh Allah untuk tidak taat, karena Allah adalah pemegang hak pertama untuk ditaati.
Tetapi, perbedaan akidah dan perintah untuk tidak taat dalam menyalahi akidah itu tidak menggugurkan hak orangtua untuk memperoleh pergaulan yang baik: “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..” Jadi, itu adalah perjalanan singkat di bumi yang tidak mempengaruhi hakikat yang orisinil: “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku..” yaitu orang-orang yang beriman. “Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu..” setelah perjalanan di bumi yang terbatas. “Maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (15) Masing-masing memperoleh balasan atas kufur atau syukur, serta syirik atau tauhid yang dikerjakannya.
Diriwayatkan bahwa ayat ini, juga sebuah ayat dalam surat al-’Ankabur dan al-Ahqaf, turun berkenaan dengan Sa’d bin Abu Waqqash dan ibunya (sebagaimana telah penulis jelaskan penafsirannya dalam surat al-’Ankabut). Dan riwayat lain mengatakan bahwa ia turun berkenaan dengan Sa’d bin Malik. Thabrani di dalam kitab Pergaulan meriwayatkan dengan sanadnya dari Dawud bin Abu Hindun.
Sementara kisah tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Sa’d bin Abu Waqqash, dan riwayat inilah yang paling kuat. Namun, indikasinya mencakup setiap kondisi yang serupa. Jadi, al-Qur’an membuat prioritas bagi pertalian dan hubungan, sebagaimana ia membuat prioritas bagi berbagai kewajiban dan taklif. Pertalian di jalan Allah adalah pertalian yang pertama, dan taklif berkaitan dengan hak Allah menjadi kewajiban yang pertama. Al-Qur’an al-Karim menetapkan kaidah ini dan menegaskannya di setiap kesempatan dan dalam berbagai gambaran agar ia mengakar dalam sanubari seorang mukmin secara jelas, tegas, tidak ada kerancuan dan kesamaran di dalamnya.
Setelah pemaparan yang panjang dalam konteks nasihat Luqman kepada anaknya, maka dilanjutkan dengan paragraf kedua tentang nasihat, untuk menetapkan perkara akhirat beserta hisab yang detil dan balasan yang adil di dalamnya. Tetapi, hakikat ini tidak dipaparkan secara abstrak, melainkan di paparkan di dalam ruang kauni yang luas, dan dalam gambaran yang berkesan dan menggetarkan emosi saat ia merasakan pengetahuan Allah yang komprehensif, besar, cermat, dan halus.
“(Luqman berkata), ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.’” (16)
Tidak ada satu ungkapan pun yang bisa menjangkau detil dan komprehensifnya pengetahuan Allah, kekuasaan Allah Subhanah, serta detilnya hisab dan keadilan kriteria seperti yang dijangkau oleh ungkapan yang deskriptif ini. Ini adalah kelebihan metode al-Qur’an yang mu’jiz, indah penuturannya, dan dalam iramanya. Satu biji sawi, kecil, terabaikan, tidak memiliki bobot dan nilai. “Dan berada dalam batu..” Terselip, terkurung di dalamnya, tidak tampak, dan tidak bisa dicapai. “Atau di langit..” Di dalam entitas yang besar dan terang, dimana bintang yang sangat besar tampak seperti titik yang melayang-layang atau seperti atom yang terbang tak tentu arah. “Atau di bumi..” Ia hilang di tanah dan debunya, tanpa bisa dideteksi. “Niscaya Allah akan mendatangkannya..” Pengetahuan Allah menjangkau biji sati itu, dan kekuasaan-Nya tidak meluputkannya. “Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengenal..” Ini adalah ulasan yang serasi dengan pemandangan yang tersembunyi dan halus.
Imajinasi senantiasa menelusuri biji sawi itu di tempatnya yang dalam dalam luas, serta merenungkan pengetahuan Allah yang menjangkaunya, sehingga hati menjadi khusyuk dan kembali kepada Yang Mahahalus lagi Maha Mengenal perkara-perkara ghaib yang tersembunyi. Di balik itu, hakikat yang hendak ditetapkan al-Qur’an itu mengakar dalam hati, dengan cara yang menakjubkan ini.
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” (12)
"Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (13)
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibuba panya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun ,. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14)
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan(15)
(Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (16)
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (17)
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (19) (Luqman/31 : 12 – 19)
Konteks surat melanjutkan kisahnya tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Dan ternyata, Luqman bersama anaknya mengikuti langkah-langkah akidah setelah ia mengakar kuat dalam sanubari, setelah beriman kepada Allah tanpa ada sekutu bagi-Nya, setelah meyakini akhirat tanpa ada keraguan terhadapnya, setelah meyakini keadilan balasan tanpa ada sesuatu yang luput darinya meskipun seberat biji sawi. Adapun langkah selanjutnya adalah tawajjuh kepada Allah dengan shalat, dan tawajjuh kepada manusia dengan mengajak mereka kepada Allah dan sabar menjalankan tugs-tugas dakwah dan keletihan-keletihannya yang harus diterima.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (17)
Inilah jalan akidah yang telah digariskan. Mengesakan Allah, merasakan pengawasan-Nya, mencari ridha-Nya, meyakini keadilan-Nya, dan takut akan hukuman-Nya. Lalu beralih kepada dakwah dan membenahi urusan mereka, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan mengumpulkan bekal yang orisinil sebelum melakukan peperangan melawan kejahatan, yaitu bekal ibadah kepada Allah dan tawajjuh kepada-Nya dalam shalat. Lalu disusul dengan sabar terhadap apa saja yang dialami da’i, yaitu jiwa yang menyimpang, hati yang keras dan berpaling, penganiayaan lisan dan tangan, ujian harta dan bahkan nyawa jika diperlukan. “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” Kata ‘azmul-umur berarti menempuh perjalanan dengan tekad bulat.
Luqman melanjutkan nasihatnya yang dituturkan al-Qur’an ini tentang adab da’i, karena dakwah kepada kebaikan tidak memperbolehkan sikap sombong terhadap manusia dan perkataan kasar atas nama menuntun mereka kepada kebaikan. Apalagi kesombongan dan perkataan kasar yang bukan untuk menyerukan kebaikan, maka itu lebih buruk dan lebih hina.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai..” (18-19)
Kata sha’r berarti penyakit yang menjangkiti unta sehingga mengakibatkan lehernya terpelintir. Gaya bahasa al-Qur’an memilih ungkapan ini agar orang-orang menghindari gerakan yang menyerupai penyakti sha’r, yaitu gerakan sombong, angkuh, dan memalingkan wajah karena takabur!
Berjalan di bumi secara angkuh adalah berjalan dengan berlagak, bersiul-siul, dan kurang peduli terhadap orang lain. Ini adalah gerakan yang dibenci dan dimurkai Allah, serta dibenci manusia. Kalimat ini mengungkapkan perasaan yang sakit mental dan cara jalan orang-orang yang sombong!
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri..” (18)
Larangan berjalan dengan angkuh ini disertai penjelasan tentang cara jalan yang seimbang. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan..” Kata aqshid berarti sedang-sedang, tidak berlebihan, tidak berlambat-lambat, tidak berlagak, dan tidak angkuh, melainkan berjalan dengan sedang-sedang, sederhana, dan lepas.
Melunakkan suara menunjukkan adab, percaya diri, dan yakin akan kejujuran dan kekuasaan pembicaraannya. Tidak ada yang berbicara dengan berteriak dan keras kecuali orang yang buruk etikanya, atau meragukan nilai ucapannya, atau meragukan nilai pribadinya. Ia berusaha menutupi keragukan ini dengan gaya serius, suara keras, dan memekik.
Gaya bahasa al-Qur’an merendahkan dan menilai buruk perbuatan ini dalam sebuah gambaran yang membuat orang menghindari, memandang rendah, dan jijik, saat al-Qur’an mengulasnya dengan kalimat, “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai..” (19)
Maka, terlukislah sebuah pemandangan yang menggelikan dan mengundang tawa dan cemooh, juga rasa jijik dan pandangan buruk. Seseorang yang memiliki perasaan tidak membayangkan pemandangan yang menggelikan di balik ungkapan yang indah ini, lalu ia berusaha meniru sedikit dari suara keledai ini!
Demikianlah. Putaran kedua ini berakhir setelah ia menangani masalah pertama, dengan diversifikasi pemaparan dan pembaharuan metode.

SELF PROMOTION

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55) وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (56) وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (57)
Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.’ Maka tatkala raja telah berkata kepadanya, dia (Raja) berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (berkuasa penuh) lagi dipercaya pada sisi kami (54) Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku memegang kunci bumi negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (55) Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang- orang yang berbuat baik (56) Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (57). (Yusuf / 12 : 54 – 57) (54-57)
Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut. Begitu juga, telah terbukti baginya kemuliaan dan integritas moral Yusuf, saat ia tidak menjatuhkan harga diri untuk bisa keluar dari penjara, dan tidak pula menjatuhkan harga diri untuk bisa bertemu raja. Raja Mesir! Sebaliknya, ia menunjukkan sikap seorang mulia yang dicemarkan nama baiknya, dan dipenjara secara zhalim. Ia meminta nama baiknya dibersihkan sebelum ia meminta tubuhnya dibebaskan dari penjara. Ia menuntut kehormatan diri dan agama yang diperjuangkannya sebelum ia menuntut melangkah di samping raja.
Semua itu menggugah rasa hormat dan cinta di hati raja kepadanya, sehingga raja berkata,
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”
Jadi, raja tidak menghadirkannya dari penjara untuk dibebaskan, bukan untuk melihat langsung orang yang pandai menafsirkan mimpi, dan bukan untuk menyampaikan “tanda jasa kerajaan” sehingga Yusuf melambung karena senang. Tidak! Raja menghadirkannya untuk memilihnya sebagai orang dekatnya, menempatkannya pada posisi penasihat dan teman.
Betapa banyak orang yang menjatuhkan kehormatan mereka di kaki para penguasa—padahal mereka adalah orang-orang yang bebas, tidak dipenjara. Mereka dengan suka rela mengikat leher dengan tangan mereka sendiri, dan menjatuhkan martabat sendiri untuk memperoleh simpati dan kalimat pujian, serta untuk mendapatkan dukungan dari para pengikut, bukan kedudukan orang-orang yang bersih. Andai saja orang-orang seperti itu membaca al-Qur’an dan mengkaji kisah Yusuf agar mereka tahu bahwa kehormatan, integritas moral, dan martabat itu memberikan keuntungan—bahkan yang sifatnya materi—berlipat ganda, melebihi apa yang diberikan sikap menjilat dan menunduk!
“Raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku..’”
Rangkaian ayat selanjutnya menghilangkan bagian dari pelaksanaan perintah, agar kita langsung mendapati Yusuf bersama raja.
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’” (54)
Ketika raja telah berbicara kepada Yusuf, maka firasatnya terbukti benar. Dan raja memberi ucapan selamat kepada Yusuf karena Yusuf memiliki kedudukan dan amanah di depan raja. Jadi, dia bukan pemuda Ibrani dengan ciri kehidupan asketik, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi. Dia bukan tersangka yang diancam penjara, melainkan orang yang dipercaya. Itulah kedudukan dan amanah di depan raja dan di bawah atapnya. Lalu, apa yang dikatakan Yusuf?
Ia tidak bersujud syukur sebagaimana para kroni yang selalu menguntit itu sujud kepada para thaghut. Yusuf tidak berkata: Jayalah engkau, tuan! Aku adalah hambamu yang patuh atau pelayanmu yang terpercaya. Seperti yang dikatakan oleh para penjilat kepada para diktator! Tidak, ia hanya meminta sesuai keyakinannya bahwa ia mampu memikul tugas dalam menyelesaikan krisis mendatang yang ditakwilinya dari mimpi raja, secara lebih baik daripada kinerja siapapun di negeri ini. Ia menuntut sesuai keyakinannya bahwa ia akan menjaga nyawa dari kematian, memelihara negara dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari bencana kelaparan. Jadi, ia adalah yang memiliki pemahaman yang kuat dimana situasi membutuhkan pengalaman, kecakapan, dan amanahnya, seperti kuatnya ia dalam menjaga kehormatan dan integritas moralnya.
“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’” (55)
Krisis datang dengan didahului masa-masa kemakmuran. Hasil bumi yang berlimpah itu perlu dijaga dan disimpan. Ia membutuhkan kepiawaian manajemen untuk mengatur logistik secara cermat, mengontrol pertanian dan hasil panennya, serta menjaganya. Ia membutuhkan pengalaman, kebijakan yang tepat, dan pengetahuan semua cabang yang diperlukan untuk tugas tersebut, baik di masa panen raya atau di masa paceklik. Dari sini, Yusuf menyebutkan sebagian sifat dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut, yang menurutnya ia lebih mampu memikulnya, dan bahwa sifat ini akan menghasilkan kebaikan besar bagi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa tetangga.
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yusuf tidak meminta jabatan untuk kepentingan dirinya saat ia melihat sambutan baik raja terhadapnya. Ia hanya jeli dalam memilih waktu agar permintaannya dikabulkan, yaitu agar ia memikul kewajiban yang meletihkan, berat, dan berisi tugas yang besar pada masa-masa krisis yang paling sulit; dan agar dijadikan penanggungjawab logistik seluruh penduduk negeri, dan juga penduduk negeri-negeri tetangga selama tujuh tahun paceklik.
Jadi, ini bukan ‘durian runtuh’ yang diminta Yusuf untuk kepentingan dirinya. Karena siapapun tidak akan mengatakan bahwa menanggung makanan suatu bangsa yang lapar selama tujuh tahun berturut-turut itu merupakan ‘durian runtuh’. Ini tidak lain adalah tugas yang dihindari banyak orang, karena terkadang jaminannya adalah leher mereka. Kelaparan itu gelap mata. Terkadang massa yang lapar itu lebih merusak pada saat gelap mata dan gila.
Ada masalah pelik di sini. Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan (pemegang kunci bumi) negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Tidakkah perkataan Yusuf ini mengandung dua perkara yang dilarang dalam sistem Islami?
Pertama, meminta jabatan yang dilarang berdasarkan nash dari Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)
Kedua, menganggap diri baik atau bersih, dan itu dilarang berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32)
Kami tidak ingin menjawab bahwa kedua kaidah ini ditetapkan dalam sistem Islam di zaman Rasulullah saw, dan bahwa keduanya belum ditetapkan pada zaman Yusuf as, dimana masalah-masalah organisasional dalam agama ini bukan merupakan satu kesatuan seperti prinsip-prinsip akidah yang ajeg dalam setiap risalah di tangan setiap Rasul.
Kami tidak ingin menjawab demikian, meskipun beralasan. Kami melihat bahwa perkara dalam masalah ini terlalu dalam dan terlalu luas cakrawalanya untuk disandarkan pada alasan ini. Kami berpendapat bahwa perkara ini bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dipahami untuk memahami metode istidlal (konklusi) dari ushul dan nash, dan untuk memberi ushul fiqh dan hukum-hukum fikih itu watak pergerakan yang orisinil dalam entitasnya, yang selama ini telah padam dan beku di dalam akal para ulama fikih dan rasionalitas fikih seluruhnya di masa-masa kebekuan dan kejumudan!
Sesungguhnya fiqih Islam tidak muncul di ruang kosong, sebagaimana ia tidak hidup dan tidak dipahami di ruang kosong! Fikih Islam lahir di tengah masyarakat Muslim, dan lahir melalui pergerakan masyarakat ini dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil kehidupan Islami. Bergitu juga, fikih Islam bukan yang melahirkan masyarakat Muslim, tetapi masyarakat Muslim dengan pergerakan realistisnya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan kehidupan Islami itulah yang melahirkan fikih Islam.
Kedua fakta historis dan konkret ini sangat besar indikasinya. Sebagaimana keduanya sangat urgen untuk memahami watak fikih Islam, dan memkonsepsi watak haraki pada hukum-hukum fikih Islam.
Banyak orang pada hari mengikuti teks dan hukum yang telah dibukukan, tanpa memahami dua hakikat tersebut, dan tanpa mengkaji situasi dan kondisi yang ada pada waktu teks-teks itu ditulis dan hukum-hukum itu dibangun, dan tanpa menghadirkan karakter suasana, lingkungan, dan kondisi yang dihadapi dan diarahkan oleh teks-teks tersebut.
Hukum-hukum tersebut dibentuk di dalamnya, mengaturnya, dan hidup di dalamnya. Orang-orang yang berbuat demikian itu, serta berusaha mengemplementasikan hukum-hukum ini seolah-olah ia lahir dalam kekosongan, dan seolah-olah pada hari ini ia bisa hidup dalam kekosongan, mereka itu bukan fuqaha! Mereka itu tidak memiliki “fikih” dengan watak fikih yang sebenarnya, dan dengan watak agama ini sama sekali!
Sesungguhnya “fiqih pergerakan” itu berbeda secara fundamental dengan “fiqih teks-book”, meskipun pada dasarnya “fiqih pergerakan” itu mengambil sumber dan berpijak pada nash-nash yang juga menjadi pijakan dan sumber bagi “fiqih teks-book” itu!
Sesungguhnya fikih pergerakan memasukkan “realitas” yang menjadi tempat turunnya nash itu ke dalam pertimbangannya, serta merumuskan hukum-hukum di dalamnya. Fikih pergerakan melihat bahwa realitas bersama nash dan hukum membentuk suatu komposisi yang unsur-unsurnya tidak terpisah. Apabila unsur-unsur dari komposisi ini terpisah, maka ia kehilangan wataknya dan komposisinya pun buyar!
Dari sini, tidak ada satu hukum fikih pun yang berdiri sendiri, hidup dalam kekosongan, tidak terefleksi di dalamnya unsur-unsur situasi, kondisi, lingkungan, dan konteks yang menjadi tempat kelahirannya pertama kali. Ia tidak muncul dalam kekosongan, dan karenanya ia tidak bisa hidup dalam kekosongan!
Mengenai ketetapan umum ini, ambil contoh hukum fikih Islam mengenai larangan menganggap diri suci dan larangan mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan (self-promotion). Hukum ini terambil dari firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32) Dan dari sabda Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)
Hukum ini—sebagaimana nash-nash tersebut turun—lahir di sebuah masyarakat muslim agar diterapkan dalam masyarakat tersebut, agar hukum tersebut hidup di tengahnya, dan agar hukum ini memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sesuai perkembangan historisnya, sesuai struktur keanggotaannya, dan sesuai realitas esensialnya.
Dari sini, hukum tersebut merupakan hukum Islam yang datang untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat Islam. Ia lahir di tengah sebuah realitas, bukan dalam kekosongan imajiner. Ia lahir dalam struktur keanggotaannya, dan dalam ikrarnya terhadap syari’at Islam secara sempurna.
Setiap masyarakat yang di dalamnya tidak terlengkapi unsur-unsur ini dianggap “kosongan” bagi hukum tersebut. Hukum ini tidak bisa hidup di dalamnya, tidak tepat untuknya, dan juga tidak bisa memperbaikinya!
Contohnya adalah setiap hukum pemerintahan Islam. Meskipun dalam konteks ini kami tidak merinci selain hukum ini karena terkait dengan konteks surat.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kami ingin memahami mengapa manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dalam masyarakat muslim, tidak boleh mencalonkan diri mereka untuk memangku jabatan, dan tidak boleh mempromosikan dirinya agar mereka dipilih untuk duduk di majelis syura, menjadi pemimpin tertinggi atau penguasa…
Sesungguhnya manusia di tengah masyarakat muslim tidak membutuhkan sedikit pun dari hal-hal tersebut untuk memperlihatkan keunggulan dan kapabilitas mereka. Sebagaimana jabatan dan kewenangan di tengah masyarakat ini merupakan beban berat yang tidak menggoda seorang pun untuk memperebutkannya—kecuali untuk mencari pahala dengan menjalankan kewajiban dan melakukan pengabdian yang besar demi mencari ridha Allah.
Dari sini, tidak ada yang meminta jabatan dan tugas selain orang-orang yang menjatuhkan harga dirinya demi jabatan karena ada kebutuhan (interest) dalam diri mereka. Mereka ini wajib dihalangi untuk memperoleh jabatan!
Tetapi, hakikat ini tidak dipahami kecuali dengan mengkaji perkembangan natural masyarakat Muslim, dan memahami watak keterbentukannya secara organisasional.
Sesungguhnya pergerakan merupakan unsur yang membentuk masyarakat tersebut, karena masyarakat muslim itu lahir dari pergerakan akidah Islam.
Pertama, akidah datang dari sumber Ilahi-nya yang terepresentasikan pada penjelasan verbal Rasul dan tindakannya—di masa kenabian, atau terefleksi pada dakwah para da’i yang menyampaikan apa yang datang dari Allah dan apa yang yang disampaikan oleh Rasul-Nya—sepanjang masa sesudah itu, lalu dakwah tersebut direspon oleh banyak orang yang siap menghadapi siksaan dan ujian dari jahiliyah yang berkuasa dan dominan di negeri dakwah.
Di antara mereka, ada yang termakan ujian lalu murtad, dan di antara mereka ada yang membenarkan janji Allah sehingga ia mengakhiri hidupnya sebagai syahid, dan di antara mereka ada yang berusia panjang hingga Allah menurunkan keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya.
Mereka itulah orang-orang yang diberi kemenangan oleh Allah, dijadikan-Nya tabir bagi takdir-Nya, dan diberi-Nya kedudukan yang kuat di muka bumi guna mewujudkan janji-Nya untuk menolong dan memberi kedudukan yang kuat bagi orang yang menolong-Nya. Semua itu agar kerajaan Allah tegak di muka bumi—maksudnya untuk melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Ia tidak punya andil sedikit pun dari kemenangan dan kedudukan yang kuat ini. Yang ada hanyalah pertolongan terhadap agama Allah dan penguatan poisisi rububiyyah Allah pada para hamba.
Mereka tidak membatasi agama ini agar berada dalam batas-batas negera tertentu; tidak pula pada batas-batas ras tertentu; dan tidak pula pada batas-batas kaum, atau warna kulit, atau bahasa, atau unsur apapun dari unsur-unsur manusia yang sifatnya ardhi (kebumian) yang rentan dan tidak bernilai itu! Mereka hanya bertolak dengan akidah rabbani ini untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “muka bumi” seluruhnya dari penghambaan terhadap selain Allah; dan untuk mengangkat mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, apapun dan siapapun thaghut tersebut!
Di tengah pergerakan untuk mengusung agama itu—dan kami telah menegaskan bahwa ia tidak berhenti pada pendirian negara Islam di suatu belahan bumi, dan tidak berhenti pada batas-batas geografis, bangsa, dan ras…Di tengah pergerakan tersebut kecakapan manusia teridentifikasi, dan kedudukan mereka di tengah masyarakat ditengarai. Identifikasi dan penengaraan penentuan ini berpijak pada kriteria-kriteria dan nilai-nilai keimanan.
Semua orang saling mengenal berdasarkan kriteria dan nilai tersebut. Yaitu dari kegigihan dalam jihad, takwa, keshalehan, ibadah, akhlak, kemampuan, dan kapabilitas. Seluruhnya merupakan nilai-nilai yang dituntut realitas, dimunculkan pergerakan, dikenal oleh masyarakat, dan mereka mengenal orang-orang yang menyandang nilai-nilai tersebut. Dari sini, para pelakunya tidak perlu mengatakan diri mereka bersih, dan tidak perlu meminta jabatan publik, atau dewan legislatif.
Di tengah masyarakat muslim yang tumbuh berkembang sedemikian rupa, dimana struktur keanggotaannya terbentuk melalui karakterisasi di tengah pergulatan pergerakan dengan nilai-nilai keimanan—seperti karakterisasi di tengah masyarakat muslim terhadap para senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar, Ashabul-Badr, Ashab Bai’at Ridhwan, serta orang-orang yang telah berinfak dan berperang sebelum Fathu Makkah…kemudian masyarakat di dalamnya terus membentuk karakter dengan kegigihan perjuangan untuk menyuarakan Islam.
Di tengah masyarakat seperti itu, manusia tidak saling merugikan satu sama klain, dan tidak mengingkari kelebihan orang-orang yang telah terbentuk karakternya—meskipun terkadang kelemahan manusiawi mengalahkan mereka sehingga terbawa ambisi. Pada saat itu—dari satu sisi—orang-orang yang telah terbentuk karakternya itu tidak perlu untuk menyatakan diri bersih dan meminta jabatan publik, atau dewan legislatif dengan cara menyatakan diri sebagai orang bersih (self-promotion).
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Pada saat ini, terkadang manusia berpikir bahwa ini merupakan keistimewaan masyarakat muslim pertama karena proses historisnya! Tetapi, mereka lupa bahwa masyarakat muslim manapun tidak akan ada kecuali dengan proses seperti ini. Tidak akan ada masyarakat Muslim, pada hari ini atau esok, kecuali melalui dakwah untuk memasukkan umat manusia ke dalam agama ini sekali lagi, dan mengeluarkan mereka dari jahiliyah yang telah mereka peluk selama ini. Ini adalah titik permulaan.
Kemudian ia akan disusul dengan fitnah dan ujian—seperti yang terjadi pertama kali. Sebagian manusia akan termakan fitnah dan murtad! Sebagian yang lain membenarkan janji Allah sehingga mereka mengakhiri hidupnya sebagai syahid! Dan sebagian yang lain sabar dan menyabar-nyabarkan diri, teguh pada Islam, dan benci kembali kepada jahiliyah seperti orang yang benci dilemparkan ke dalam api, sampai Allah membuat keputusan antara mereka dan kaumnya dengan keputusan yang benar, menguatkan kedudukan mereka di muka bumi—sebagaimana Allah menguatkan kedudukan umat Islam untuk pertama kalinya—sehingga berdirilah sebuah pemerintahan yang Islami di suatu negeri di bumi Allah.
Pada saat itu, pergerakan dari titik permulaan hingga berdirinya pemerintahan yang Islami itu telah memilah-milah para mujahid dan aktivis kepada tingkatan-tingkatan keimanan, sebagai kriteria-kriteria dan nilai-nilai keiamanan. Pada saat itu, mereka tidak perlu menyalonkan dan mempromosikan diri sendiri, karena masyarakat yang berjihad bersama-sama mereka itu telah mengenal mereka, menyatakan bersihnya mereka, dan menyalonkan mereka!
Terkadang masih ada yang bertanya: tetapi, hal ini terjadi pada periode pertama. Bagaimaan jika masyarakat telah mapan sesudah itu? Ini adalah pertanyaan orang yang tidak mengenal watak agama ini! Sesungguhnya agama ini selalu bergerak dan tidak pernah berhenti bergerak. Ia bergerak untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “bumi” seluruhnya dari penghambaan kepada selain Allah, dan untuk mengangkat mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, tanpa batas-batas negeri tertentu, atau bangsa, atau ras, atau unsur-unsur manusia yang sifatnya ardhi (kebumian) yang rentan dan tidak bernilai itu!
Jadi, pergerakan—yang merupakan watak utama agama ini—akan tetap memilah-milah antara para pelaku jihad dan orang-orang yang memiliki kemampuan dan potensi. Ia selamanya tidak pernah berhenti untuk menenangkan masyarakat ini—kecuali masyarakat tersebut menyimpang dari Islam. Dan hukum fikih—khususnya mengenai keharaman mempromosikan diri sendiri dan meminta jabatan—tetap eksis dan berlaku dalam ruangnya yang sesuai. Yaitu ruang dimana ia muncul dan bekerja untuk pertama kalinya.
Kemudian ada pula yang bertanya: Bagaimana jika masyarakat semakin luas dimana sebagian dari mereka tidak mengenal sebagian yang lain, sehingga orang-orang yang berkompeten perlu mengiklankan diri, berkampanye, dan mengupayakan jabatan dengan cara self-promotion tersebut!
Pendapat ini adalah pendapat keliru akibat pengaruh realitas masyarakat jahiliyah kontemporer. Dalam masyarakat Muslim, orang-orang yang tinggal di suatu wilayah pasti saling mengenal, saling berhubungan, dan senasib sepenanggungan—sebagaimana watak tarbiyyah, pembentukan, pengarahan, dan komitmen dalam masyarakat Muslim.
Dari sini, orang-orang yang tinggal di setiap wilayah itu mengenal orang-orang yang memiliki kemampuan dan kecakapan di antara mereka, dengan mengukur berbagai kemampuan dan kecakapan itu dengan kriteria-kriteria dan nilai-nilai keiamanan, sehingga tidak susah bagi mereka untuk mengusulkan di antara mereka orang yang berjasa, bertakwa, dan memiliki kemampuan. Baik untuk duduk di legislatif atau untuk menangani masalah-masalah lokal. Sedangkan para pejabat publik itu dipilih oleh pemimpin tertinggi—yang telah dipilih umat setelah diusulkan oleh badan legislatif. Untuk menduduki jabatan tersebut, pemimpin tertinggi bisa memilih dari sekumpulan orang pilihan yang dikenal melalui pergerakannya, dimana pergerakan itu—seperti yang kami katakan—terus menggelinding, dan jihad akan terus berlangsung hingga hari Kiamat.
Para pemikir atau penulis tentang sistem pemerintahan Islami dan formulasinya itu pada hari ini terjebak dalam sebuah labirin! Hal itu karena mereka berusaha menerapkan kaidah-kaidah sistem pemerintahan yang Islami dan hukum-hukum fikih-nya yang telah terbukukan dalam kekosongan! Mereka berusaha menerapkannya dalam masyarakat jahiliyah yang eksis, dengan struktur keanggotaannya yang ada sekarang ini! Masyarakat jahiliyah yang ada sekarang ini bisa dianggap—menurut watak sistem yang Islami dan hukum-hukum fikihnya—sesuatu yang kosong, dimana sistem tersebut tidak mungkin eksis, dan hukum-hukum tersebut tidak mungkin diterapkan.
Struktur keanggotaannya sama sekali berlawanan dengan komposisi keanggupan masyarakat Muslim. Karena masyarakat Muslim—seperti yang kami katakan—itu struktur keanggotaannya itu berpijak pada susunan individu-individu dan kelompok-kelompok menurut yang dibentuk pergerakan untuk mengakarkan sistem ini pada dunia realitas, dan untuk memerangi jahiliyah guna mengeluarkan manusia darinya kepada Islam. Kriteria lain adalah ketegaran terhadap tekanan-tekanan jahiliyah, fitnah, penganiayaan, dan perang yang dihadapinya dalam melakukan pergerakan ini; serta kesabaran terhadap ujian dan dedikasi yang baik sejak titik permulaan hingga titik kemenangan di akhir perjalanan.
Sedangkan masyarakat jahiliyah saat ini adalah masyarakat yang keruh, berpijak pada nilai-nilai yang tidak ada kaitannya dengan Islam, dan tidak pula dengan nilai-nilai keimanan. Dari sini, berkenaan dengan sistem pemerintahan yang Islami dan hukum-hukum fiqihnya, masyarakat tersebut dianggap kosong, dimana sistem ini tidak bisa hidup di dalamnya, dan hukum-hukum ini tidak bisa tegak di dalamnya!
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Para penulis dan peneliti tentang solusi implementasi kaidah-kaidah, sistem, formulasinya, dan hukum-hukum fikihnya itu sejak pertama kali bingung mengenai cara memilih anggota dewan syura tanpa melalui pencalonan diri dan self-promotion! Bagaimana mungkin hal ini diterapkan dalam masyarakat tempat kita tinggal seperti ini, sedangkan mereka tidak mengenal satu sama lain, serta tidak mengukur dengan kriteria-kriteria kecakapan, kebersihan, dan sifat amanah!
Begitu juga, mereka bingung mengenai metode memilih pemimpin tertinggi? Apakah pilihan itu berasal dari masyarakat umum, ataukah dari usulan dewan syura? Apabila pemimpin tertinggi akan memilih anggota dewan syura—mengikuti larangan mempromosikan diri sendiri atau pencalonan diri, maka bagaimana mungkin mereka berbalik memilih pemimpin tertinggi? Tidakkah hal ini mempengaruhi pertimbangan mereka? Kemudian, jika mereka itu yang berbalik mencalonkan pemimpin tertinggi, tidakkah mereka punya kuasa atas pemimpin tertinggi, sedangkan pemimpin tertinggi tersebut memiliki kewenangan tertinggi? Kemudian, tidakkah hal itu membuatnya memilih individu-individu yang diyakininya loyal kepadanya, dan ini menjadi unsur pertama dalam pertimbangannya?
Dan masih banyak pertanyaan lain yang tidak mereka temukan jawabannya dalam kebingungan ini!
Saya mengetahui titik permulaan labirin ini. Yaitu asumsi bahwa masyarakat jahiliyah tempat kita hidup saat ini adalah masyarakat muslim; dan bahwa kaidah-kaidah sistem pemerintahan yang Islami dan hukum-hukum fikihnya itu bisa diimpor untuk diterapkan pada masyarakat jahiliyah ini dengan struktur keanggotaannya yang ada saat ini, dan dengan berbagai nilai dan moralnya yang ada saat ini!
Ini adalah titik permulaan labirin tersebut. Ketika peneliti bertolak darinya, maka sesungguhnya ia bertolak dari kekosongan dan berkutat pada kekosongan, sehingga ia semakin masuk dalam kebingungan, dan hingga ia mati!
Sesungguhnya masyarakat jahiliyah tempat kita hidup ini bukan masyarakat Muslim. Dari sini, sistem pemerintahan yang Islami tidak akan bisa diterapkan di dalamnya, dan begitu juga hukum-hukum fikih yang terkait khusus dengan sistem tersebut. Ia tidak bisa diterapkan karena mustahil, sebab fondasi sistem pemerintahan yang Islami dan hukum-hukum fikihnya tidak mungkin bergerak dalam kekosongan, karena sesuai wataknya ia tidak muncul dalam kekosongan, dan juga tidak bergerak dalam kekosongan!
Sesungguhnya masyarakat Islami itu tumbuh dengan struktur keanggotaan yang berbeda dengan struktur keanggotaan masyarakat jahiliyah. Ia lahir dari individu-individu dan kelompok-kelompok yang berjihad menghadapi jahiliyah untuk mendirikannya. Dan di tengah-tengah pergerakan tersebut kemampuannya teridentifikasi dan posisinya terpilah-pilah.
Itulah masyarakat baru, masyarakat dinamis yang selalu meniti jalannya untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “muka bumi” seluruhnya dari penghambaan terhadap selain Allah; dan untuk mengangkat harkat mereka mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, apapun dan siapapun thaghut tersebut.
Masalah seperti self-promotion, penuntutan jabatan, pemilihan pemimpin tertinggi, pemilihan anggota dewan syura, dan lain-lain, merupakan masalah yang banyak timbul. Para peneliti Islam menanganinya dalam kekosongan, di tengah masyarakat jahiliyah tempat kita hidup ini..dengan struktur keanggotaannya yang berbeda sepenuhnya dari struktur keanggotaan masyarakat Muslim, dengan berbagai nilai, kriteria, pertimbangan, akhlak, moral, dan konsepsinya yang berbeda sepenuhnya dari nilai, kriteria, pertimbangan, akhlak, moral, dan konsepsi masyarakat Muslim.
Juga seperti industri bank dengan prinsip interest-nya, perusahaan asuransi dengan sistem ribanya, keluarga berencana, dan masih banyak hal yang tidak saya ketahui! Ada banyak “masalah” dimana para “peneliti” itu terbelit di dalamnya dan berusaha menjawab permintaan fatwa yang ditujukan kepada mereka.
Sayangnya, mereka semua berangkat dari titik awal yang membingungkan! Mereka berangkat dari asumsi bahwa kaidah-kaidah sistem pemerintahan Islam dan hukum-hukumnya itu dapat diimpor dan diterapkan pada masyarakat jahiliyah kontemporer dengan struktur keanggotaannya yang ada saat ini, sehingga diharapkan masyarakat-masyarakat tersebut—ketika hukum-hukum Islam telah diterapkan padanya—akan beralih kepada Islam!
Ini adalah konsepsi yang menggelikan, bila bukan menyedihkan!
Fikih Islam dengan setiap hukumnya itu bukan yang membangun masyarakat Muslim. Sebaliknya, masyarakat Muslim dengan pergerakannya dalam menghadapi jahiliyah dan kebutuhan hakiki kehidupan itulah yang membangun fikih Islam dengan mengambil sumber dari prinsip-prinsip universal syari’at. Ttidak mungkin terjadi kebalikannya sama sekali!
Fikih Islam tidak bisa muncul dalam kekosongan, dan juga tidak bisa hidup dalam kekosongan. Ia tidak muncul dalam otak dan di atas kertas, melainkan tumbuh dalam realitas kehidupan. Bukan sembarang kehidupan, melainkan kehidupan masyarakat Muslim lebih tepatnya. Dari sini, harus ada masyarakat Muslim terlebih dahulu dengan struktur keanggotaan yang natural, sehingga ia menjadi wahana tempat fikih Islam itu dibangun dan diterapkan. Pada saat itulah hilang kesimpang-siuran.
Pada saat itu, terkadang masyarakat khusus tersebut—setelah ia tumbuh sembari menghadapi jahiliyah dan bergerak sembari menghadapi kehidupan—membutuhkan bank, perusahaan asuransi, program keluarga berencana, dan lain-lain. Tetapi terkadang juga tidak membutuhkan! Hal itu karena kita sejak awal tidak mampu menilai dasar kebutuhannya, ukuran kebutuhan tersebut, dan bentuknya, sehingga kita bisa menetapkan aturan menurut kondisi tersebut! Sebagaimana hukum-hukum agama yang kita punya ini tidak cocok dengan tuntutan-tuntutan masyarakat jahiliyah, dan tidak bisa memenuhinya. Hal itu karena agama ini sejak awal tidak mengakui legalitas masyarakat jahiliyah ini, dan tidak menerima eksistensinya. Dari sini, agama ini tidak menaruh perhatian untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhannya yang timbul dari kejahiliyahannya!
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Bencana sebenarnya menimpa para peneliti adalah presepsi mereka bahwa realitas jahiliyah ini adalah unsur dasar, di mana agama Allah wajib menyesuaikan diri dengannya! Tetapi, perkaranya tidak demikian sama sekali. Sesungguhnya agama Allah itulah unsur dasar dimana umat manusia wajib menyesuaikan diri dengannya, serta merombak dan mengubah realitas jahiliyah mereka agar terjadi kesesuaian dimaksud. Tetapi, perombangan dan perubahan ini biasanya tidak terjadi kecuali dengan satu cara, yaitu pergerakan—dalam menghadapi jahiliyah—untuk merealisasikan uluhiyyah Allah di muka bumi dan ‘ubudiyyah-Nya semata terhadap para hamba, serta membebaskan manusia dari penghambaan terhadap thaghut, dengan menjadikan supremasi syari’at Allah semata dalam kehidupan mereka.
Pergerakan ini pasti menghadapi fitnah, gangguan, dan cobaan. Ada yang termakan fitnah, ada yang murtad, dan ada yang membenarkan janji Allah sehingga mengakhiri hidupnya sebagai syahid. Dan ada pula yang bersabar dan terus melakukan pergerakan hingga Allah membuat keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya, dan hingga Allah memberinya kedudukan yang kuat di muka bumi. Pada saat itu sajalah sistem pemerintahan yang Islami dapat tegak, dimana para aktivis yang memperjuangkan sistem tersebut terbentuk dengan wataknya dan unik dengan nilai-nilainya.
Pada saat itulah kehidupan mereka memiliki tuntutan dan kebutuhan yang berbeda dari segi watak dan cara pemenuhannya dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat jahiliyah, tuntutan-tuntutannya, dan cara pemenuhannya. Dalam koridor realitas masyarakat Muslim itulah hukum-hukum disimpulkan; dan fikih Islam tumbuh secara dinamis—bukan dalam ruang kosong, melainkan di tengah realitas yang definitif tuntutan, kebutuhan, dan problematikanya.
Seandainya manusia hidup dalam masyarakat Muslim dimana zakat dikumpulkan dan didistribusikan ke jalur-jalurnya, empati dan solidaritas sangat kental di antara penduduk setiap wilayah dan di antara individu-individu umat, serta kehidupan berjalan secara sederhana, tidak boros, tidak mewah, dan tidak berlomba-lomba, dan unsur-unsur kehidupan Islami lainnya, maka siapa yang bisa memberitahu kami bahwa masyarakat seperti ini akan membutuhkan perusahaan-perusahaan asuransi? Ia telah memiliki semua jaminan dan solidaritas, selain nilai-nilai dan konsepsi tersebut? Jika ia membutuhkan suatu jenis asuransi, maka siapa yang bisa memberitahu kami bahwa jenis yang dibutuhkan adalah jenis yang dikenal dalam masyarakat jahiliyah ini, yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat jahiliyah, situasi dan kondisinya, serta nilai-nilai dan konsepsi-konsepsinya?
Begitu juga, siapa yang bisa memberitahu kami bahwa masyarakat Muslim yang melakukan pergerakan dan jihad itu akan membutuhkan program keluarga berencana, misalnya? Demikian seterusnya.
Apabila kita tidak bisa mengansumsikan dasar kebutuhan-kebutuhan masyarakat ketika ia menjadi Muslim, dan tidak pula volume kebutuhan atau bentuknya karena perbedaan struktur keanggotaan dari struktur masyarakat jahiliyah, dan karena perbedaan konsepsi, perasaan, nilai, dan kriterianya, maka mengapa kita bersusah payah berusaha merombak, mengembangkan, dan mengubah hukum-hukum yang telah terkodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak diketahui, sama seperti keberadaan masyarakat Muslim itu sendiri!
Sesungguhnya titik awal labirin ini—seperti yang kami katakan—adalah asumsi bahwa masyarakat yang ada saat ini adalah masyarakat Islam, dan bahwa hukum-hukum fikih Islam akan didatangkan dari lembar-lembar kertas untuk diterapkan padanya, dengan struktur keanggotaan yang sama, serta dengan konsepsi, perasaan, nilai, dan kriteria yang sama.
Sebagaimana pangkal bencana ini adalah perasaan bahwa realitas masyarakat-masyarakat jahiliyah dan strukturnya saat ini merupakan unsur pokok dimana agama Allah wajib menyesuaikan diri dengannya, serta merobah, mengembangkan, dan mengubah hukum-hukumnya agar bisa mengejar kebutuhan-kebutuhan masyarakat ini dan berbagai problematikanya. Kebutuhan dan problematikanya yang pada dasarnya muncul dari perbedaannya dengan Islam, dan dari keluarnya kehidupan masyarakat tersebut secara keseluruhan dari bingkai Islam!
Kami kira sudah waktunya bagi Islam untuk dominan dalam jiwa para da’i-nya agar mereka tidak menjadikan Islam sekedar pelayan bagi tatanan-tatanan jahiliyah, masyarakat-masyarakat jahiliyah, dan kebutuhan-kebutuhan jahiliyah. Dan sudah waktunya mereka mengatakan kepada manusia—khususnya bagi orang-orang yang meminta fatwa kepada mereka: kalian dulu yang masuk ke dalam Islam, dan nyatakan ketundukan kalian sejak awal kepada hukum-hukumnya. Atau dengan kata lain, masuklah kalian terlebih dahulu ke dalam agama Allah, pernyataan penghambaan kalian kepada Allah semata, dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan semua maknanya dimana iman dan Islam tidak bisa tegak kecuali dengannya. Yaitu memonopolikan uluhiyyah di muka bumi bagi Allah, seperti memonopolikan uluhiyyah di langit bagi-Nya semata; menetapkan rububiyyah-Nya—maksudnya hakimiyyah dan kekuasaan-Nya—semata dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, menghapus rububiyyah hamba terhadap hamba lain, dengan menghapus hakimiyyah hamba terhadap hamba lain, dan penetapan aturan oleh hamba bagi hamba lain.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ketika manusia—atau satu kelompok dari mereka—merespon perkataan ini, maka masyarakat Muslim telah memulai langkah pertamanya dalam tangga eksistensi. Pada kesesatan itu, masyarakat tersebut menjadi wahana yang konkret dan hidup, dimana fikih Islam yang hidup bisa tumbuh dan berkembang untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tunduk kepada syari’at Allah tersebut.
Adapun sebelum masyarakat ini berdiri, maka usaha di bidang fikih dan hukum-hukum pemerintahan itu hanyalah menipu diri sendiri, dengan mengharapkan tumbuhnya benih di udara. Fikih Islam tidak akan tumbuh dalam kehampaan, sebagaimana benih tidak akan tumbuh di udara!
Sesungguhnya upaya di bidang pemikiran fikih Islam merupakan upaya yang merilekskan! Karena tidak ada bahaya di dalamnya! Tetapi, itu bukan merupakan amal untuk Islam, dan bukan merupakan bagian dari manhaj dan watak agama ini! Orang-orang yang mengharapkan hidup rileks dan selamat itu lebih baik sibuk di dunia sastra dan seni, atau bisnis! Sedangkan kesibukan dalam bidang fikih dalam kondisi sedemikian rupa dalam kapasitasnya sebagai perjuangan Islam di masa ini, menurutku—Allah Mahatahu—hanya menghabiskan umur dan juga biaya!
Sesungguhnya agama Allah itu menolak untuk sekedar tunduk dan tak berdaya, untuk sekedar menjadi pelayan yang patuh guna melayani masyarakat jahiliyah yang lari darinya dan mengingkarinya. Masyarakat yang menghina Islam dari waktu ke waktu dengan meminta fatwa kepadanya mengenai berbagai problematika dan kebutuhannya, namun ia tidak tunduk kepada syari’at dan kekuasaannya.
Sesungguhnya agama ini adalah hukum-hukumnya tidak muncul tumbuh dalam kehampaan, dan tidak bekerja pada kekosongan. Sesungguhnya masyarakat Muslim yang tunduk kepada kekuasaan Allah sejak awal itulah yang menciptakan fikih, bukan fikih yang menciptakan masyarakat tersebut.
Langkah-langkah pertumbuhan Islam dan fase-fasenya itu selamanya hanya satu; dan peralihan dari jahiliyah kepada Islam itu selamanya tidak pernah mudah dan ringan. Ia tidak pernah dimulai dari merumuskan hukum-hukum fikih dalam kekosongan, agar menjadi media yang siap pada waktu masyarakat Islam dan pemerintahan Islam berdiri. Keberadaan hukum-hukum yang terpereinci secara “instan” dan muncul dalam kekosongan itu tidak akan menjadi titik awal perubahan dari jahiliyah kepada Islam. Dan yang meruntuhkan masyarakat-masyarakat jahiliyah ini agar berubah kepda Islam itu bukan hukum-hukum fikih yang “instan”! Kerumitan dalam proses perubahan itu tidak muncul dari ketidak-mampuan hukum-hukum fikih Islam saat ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang berkembang, serta hal-hal lain dengannya sebagian dari mereka menipu, dan sebagian yang lain tertipu!
Tidak demikian! Sesungguhnya yang menghalangi proses perubahan masyarakat jahiliyah ini kepada sistem yang Islami adalah keberadaan para thaghut yang menolak hakimiyyah bagi Allah; sebagai mereka menolak rububiyyah dalam kehidupan manusia dan uluhiyyah di muka bumi bagi Allah semata. Dengan demikian, para thaghut itu telah keluar dari Islam secara total. Ketetapan hukum mengenai hal ini termasuk perkara yang diketahui dari agama secara serta merta. Selain itu adalah keberadaan massa manusia yang menyembah para thaghut itu selain menyembah Allah—maksudnya tunduk, patuh, dan mengikuti, sehingga dengan demikian mereka menjadikan tuhan-tuhan beragam yang disembah dan ditaati. Massa ini telah mengeluarkan ibadah dari tauhid kepada syirik. Inilah makna syirik yang paling khusus dalam pandangan Islam.
Dengan itu semua, jahiliyah berdiri sebagai sebuah sistem di muka bumi; dan bersandar pada kesesatan konsepsi, seperti halnya ia bersandar pada kekuatan materi.
Kalau begitu, perumusan hukum-hukum fikih itu tidak bisa mengahdapi jahiliyah ini dengan sarana-sarana yang memadai. Sesungguhnya yang bisa menghadapinya adalah dakwah untuk mengajak masuk Islam sekali lagi; dan pergerakan yang menghadapi jahiliyah dengan segala penopangnya; kemudian terjadilah apa yang terjadi pada setiap ajakan kepada Islam terhadap jahiliyah itu. Kemudian Allah akan memberi keputusan dengan haq antara orang-orang yang tunduk kepada Allah itu dan kaum mereka. Hanya pada saat itulah datang peran hukum-hukum fikih yang muncul secara alami di tengah media yang riil dan hidup ini. Ia menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil yang dinamis di tengah masyarakat yang baru ini, sesuai dengan kadar kebutuhan pada waktu itu, bentuknya, serta situasi dan kondisinya. Perkara-prkara tersebut berada dalam ruang ghaib—seperti yang kami katakan—dan tidak bisa diramalkan sebelumnya, dan tidak mungkin ditekuni sejak hari ini dengan kesungguhan yang sesuai dengan watak agama ini!
Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa hukum-hukum syar’i yang diredaksikan di dalam Kitab dan Sunnah itu tidak eksis saat ini dari sisi legalitasnya. Tetapi, hal ini hanya berarti bahwa masyarakat yang untuknya hukum-hukum tersebut disyari’atkan, dan yang di dalamnya hukum-hukum tersebut tidak diterapkan—bahkan hukum-hukum tersebut tidak bisa hidup kecuali dengannya—(masyarakat tersebut) tidak eksis saat ini. Dari sini, keberadaannya secara de facto terkait dengan berdirinya masyarakat tersebut. Dan komitmen terhadapnya tetap tergantung di leher setiap Muslim dari masyarakat jahiliyah tersebut. Dan setiap orang yang melakukan pergerakan dalam menghadapi jahiliyah guna mendirikan sistem yang Islami akan menghadapkan agama ini dengan jahiliyah, para thaghutnya yang menuhankan diri, dan massa yang tunduk kepada para thaghut dan merelakan persekutuan mereka dalam rububiyyah.
Inilah konsepsi pertumbuhan Islam yang konstan, bahwa setiap kali jahiliyah muncul maka muncul pula perjuangan Islam untuk menghadapinya. Konsepsi yang demikian merupakan titik permulaan aksi yang riil dan konstruktif untuk mengembalikan agama ini kepada eksistensinya, setelah ia terpupus sejak aturan-aturan manusia menggantikan syari’at Allah selama dua abad terakhir ini, dan menghapus eksistensi Islam yang hakiki dari muka bumi; meskipun masih ada menara adzan dan masjid, doa-doa dan ritual; yang memabukkan perasaan orang-orang yang masih memiliki loyalitas emosional yang semu terhadap agama ini; dan mengesankan kepada mereka bahwa agama ini dalam keadaan baik-baik saja, padahal sebenarnya ia telah terhapus sama sekali!
Sebelum ada ritual dan masjid, masyarakat Muslim pernah merasakan masa dimana manusia diseru: sembahlah Allah, tiada tuhan selain Dia. Lalu mereka pun menyembah-Nya, dan penyembahan mereka itu tidak terefleksi pada ritual, karena pada waktu itu ibadah-ibadah ritual belum diwajibkan. Penyembahan mereka mengambil bentuk kepatuhan kepada-Nya semata—dari segi prinsip, karena pada waktu itu syari’at belum diturunkan! Ketika orang-orang yang menyatakan patuh kepada Allah semata itu memiliki kekuasaan materiil di muka bumi, maka barulah turun syari’at. Dan ketika mereka menghadapi kebutuhan-kebutuhan hakiki bagi kehidupan mereka, maka mereka menyimpulkan sisa-sisa hukum fikih, selain hukum yang telah diredaksikan di dalam Kitab dan Sunnah.
Inilah jalan satu-satunya, tidak ada jalan lain.
Sementara orang mengharapkan adanya jalan yang mudah bagi perubahan masyarakat secara keseluruhan untuk berpihak kepada Islam sejak detik pertama dalam dakwah dengan lisan, dan dengan menjelaskan hukum-hukum Islam! Tetapi, itu hanya mimpi di siang bolong! Karena rakyat selamanya tidak bisa berubah dari jahiliyah dan penyembahan para thaghut kepada Islam dan penyembahan Allah semata kecuali dengan jalan yang panjang dan lambat yang dilalui dakwah Islam dalam setiap kesempatan. Yang dimulai oleh individu, kemudian diikuti oleh satu kelompok, kemudian kelompok ini bergerak menghadap jahiliyah untuk menghadapi siapa saja, hingga Allah membuat keputusan dengan haq antara kelompok tersebut dengan kaumnya, dan menguatkan kedudukan mereka di muka bumi. Kemudian, manusia akan memasuki agama Allah dengan berbondong-bondong. Agama Allah adalah manhaj, syari’at, dan sistem-Nya, dimana Allah tidak meridhai agama bagi manusia selain agama Islam. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Ali ‘Imran [3]: 85)
Semoga penjelasan ini mengungkapkan kepada kita hukum yang sebenarnya mengenai sikap Yusuf ‘alaihis salam.
Ia tidak hidup dalam sebuah masyarakat Muslim yang sesuai dengan kaidah larangan self-promotion di hadapan manusia dan mencari jabatan dengan cara self-promotion. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam melihat bahwa situasi dan kondisi memungkinkannya untuk menjadi penguasa yang ditaati, bukan pelayan dalam tatanan jahiliyah. Dan hasilnya seperti yang diharapkannya, dimana dengan kekuasaannya ia mampu mendakwahkan agamanya dan menyebarkannya di masa pemerintahannya. Sejak saat itu al-’Aziz pun surut dan tenggelam sepenuhnya.

FONDASI BANGUNAN UMMAT

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92) وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)
Kitab ini datang untuk membangun suatu umat dan mengatur masyarakat, juga untuk mewujudkan satu dunia dan menegakkan satu sistem. Ia datang sebagai panggilan universal humanis, tanpa ada fanatisme di dalamnya terhadap satu kabilah atau umat atau ras. Akidah semata yang menjadi tali perekat dan fanatisme.
Dari sini, Kitab ini datang membawa prinsip-prinsip yang menjamin rekatnya komunitas, ketentraman individu, umat, dan bangsa, serta kepercayaan pada hubungan sosial, janji, dan perjanjian.
Ia datang membawa “keadilan” yang menjamin setiap individu, setiap komunitas, dan setiap kaum memperoleh aturan main bagi interaksi yang kuat, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak terpengaruh rasa senang atau benci, dan tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Ia berjalan pada jalurnya, mengukur dengan satu ukuran dan menimbang dengan satu kriteria untuk semua (bukan dengan standar ganda).
Di sisi lain, Kitab ini juga membawa kebaikan. Ia memperhalus tajamnya keadilan, dan memberi jalan bagi orang yang ingin bertoleransi dan merelakan sebagian haknya demi mementingkan simpati di hati dan demi mengobati rasa dengki dalam dada. Ia juga memberi jalan bagi orang yang ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi daripada keadilan yang wajib baginya, untuk mengorbati luka atau mencari keutamaan.
Kebaikan itu sangat luas maknanya. Setiap perbuatan positif adalah kebaikan, dan perintah berbuat baik itu mencakup semua perbuatan dan interaksi. Ia juga mencakup seluruh ranah kehidupan dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, hubungannya dengan keluarganya, dengan komunitasnya, dan dengan seluruh umat manusia. (Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa menjalankan keadilan itu hukumnya wajib, dan berbuat baik itu hukumnya sunnah dalam perkara ibadah secara khusus. Pendapat ini bersandar pada realita bahwa ayat ini adalah makkiyyah, dimana syari’at belum diturunkan. Tetapi, generalitas lafazh menunjukkan bahwa menjalankan keadilan dan kebaikan dimaksud itu bersifat mutlak. Apalagi karena keadilan dan kebaikan merupakan dua prinsip umum dari sisi moral, bukan sekedar aturan perundang-undangan)
Di antara bentuk kebaikan adalah “memberi kepada kerabat dekat”. Perintah memberi kepada kerabat dekat ditampilkan di sini untuk mengagungkan kedudukannya dan untuk menegaskan perkaranya. Perintah ini tidak berdiri pada fanatisme keluarga, melainkan pada prinsip solidaritas yang diajarkan Islam secara bertahap dari lingkungan pribadi kepada lingkungan umum, sesuai persepsi organiasional Islam terhadap solidaritas.
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan..” Kata al-fakhsya’ secara epistimologis berarti setiap perkara yang melampaui batas. Termasuk perkara yang melampaui batas adalah yang menjadi konotasi umum kata ini, yaitu perbuatan melampaui batas yang merusak kehormatan (zina). Karena zina merupakan perbuatan keji yang melampaui batas, sehingga kata ini dikhususkan untuk makna tersebut. Kata al-munkar berarti setiap perbuatan yang tidak dikenal fitrah, dan karena itu tidak ditolak oleh syari’at yang didasarkan pada fitrah. Terkadang fitrah menyimpang, namun syari’at tetap menunjukkan orisinalitas fitrah sebelum ia menyimpang. Dan kata al-baghyu berarti kezhaliman dan melanggar hak dan keadilan.
Tidak mungkin ada satu masyarakat bisa berdiri dengan diwarnai perbuatannya keji, mungkar, dan permusuhan. Tidak ada satu pun masyarakat yang sanggup eksis bila di dalamnya perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan terjadi secara luas.
Setelah satu fase tertentu, fitrah manusia pasti menolak faktor-faktor yang destruktif ini, betapapun kuatnya ia, dan sekalipun para thaghut menggunakan berbagai cara untuk melindunginya. Sejarah umat manusia dipenuhi dengan aksi penolakan terhadap perbuatan keji, munkar, dan permusuhan. Tidak penting apakah telah ada perjanjian atau telah berdiri negera-negera yang mendukungnya untuk jangka waktu tertentu. Pemberontakan terhadapnya itu menjadi bukti bahwa ia merupakan unsur asing di luar struktur kehidupan, sehingga kehidupan itu menggeliat untuk menolaknya, sebagaimana makhluk hidup menggeliat untuk menolak benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta larangan-Nya untuk berbuat keji, mungkar, dan permusuhan itu sejalan dengan fitrah yang bersih dan sehat, menguatkannya, dan mendorongnya untuk melawan atas nama Allah. Karena itu, perintah dan larangan itu diulas dengan penjelasan, “Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (90) Ini adalah pengajaran untuk diingat-ingat seperti mengingat-ingat wahyu fitrah yang orisinil dan lurus.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..” (91)
Memenuhi janji Allah itu mencakup bai’at yang dilakukan umat Islam kepada Rasulullah saw, dan mencakup setiap perjanjian baik yang diperintahkan Allah. Memenuji janji menjamin terpeliharanya unsur kepercayaan dalam interaksi antar manusia. Tanpa kepercayaan ini suatu masyarakat tidak akan eksis, dan kemanusiaan tidak akan berdiri. Nash ini menggelitik rasa malu orang-orang yang saling berjanji untuk tidak melanggar sumpah setelah meneguhkannya, dan setelah mereka menjadikan Allah sebagai penjamin bagi mereka, menjadikan-Nya saksi atas janji mereka, dan menjadikan-Nya jaminan untuk memenuhi janji tersebut. Kemudian nash tersebut mengancam mereka secara intrinsik, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..”
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92) وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)
Islam sangat menekankan masalah komitmen, tidak ada toleransi di dalamnya. Karena komitmen merupakan dasar kepercayaan yang tanpanya kontrak sosial menjadi rapuh dan hancur. Nash-nash al-Qur’an di sini tidak berhenti pada batas perintah komitmen dan larangan melanggar janji, tetapi melanjutkannya dengan membuat perumpamaan, menampilkan wajah buruk pelanggaran janji, dan meniadakan sebab-sebab yang terkadang digunakan sebagian orang sebagai justifikasi.
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (92)
Jadi, perumpamaan orang yang melanggar janji itu seperti wanita yang pandir, kacau pikirannya, lemah tekadnya. Wanita yang mengayam pintalannya lalu mengurainya dan membiarkannya putus dan terlepas! Setiap elemen dalam perumpamaan ini mengisyaratkan penghinaan, pelecehan, dan ungkapan heran, serta menampilkan pengingkaran janji itu sebagai sesuatu suram bagi jiwa dan buruk bagi hati. Itulah tujuannya, dan seorang yang mulia itu tidak rela dirinya menjadi seperti wanita yang lemah keinginannya, kacau pikirannya, dan menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang tidak perlu!
Sebagian orang menjustifikasi pelanggaran janjinya terhadap Rasulullah saw dengan alasan Muhammad dan orang-orang yang bersamanya itu sedikit jumlahnya, sementara orang-orang Quraisy banyak dan kuat. Maka dari itu, nash al-Qur’an mengingatkan mereka bahwa hal ini bukan alasan bagi mereka untuk menjadikan sumpah mereka sebagai kedok dan tipuan, yang pada akhirnya mereka meninggalkan sumpah tersebut: “Kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain..” Maksudnya, disebabkan suatu umat lebih banyak jumlahnya dan lebih kuat daripada umat lain, dan karena untuk mencari kepentingan dari umat yang lebih kuat itu.
Indikasi nash ini mencakup pelanggaran janji untuk merealisasikan apa yang sekarang disebut “kepentingan negara”. Sebuah negara mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain atau dengan sekumpulan negara, lalu melanggarnya karena ada negara yang lebih kuat, atau ada sekumpulan negara yang lebih kuat di barisan lain, dengan tujuan menjaga “kepentingan negara”! Islam tidak mengakui alasan demikian. Islam menegaskan perintah menetapi janji, dan tidak menjadikan sumpah sebagai alat menipu. Di sisi lain, Islam tidak mengakui perjanjian dan kerjasama dalam perkara yang bukan bagian dari kebaikan dan takwa, dan tidak memperkenankan terjadinya perjanjian atau kerjasama untuk berbuat dosa, fasik, dan maksiat, melanggar hak manusia, dan mengeksploitasi negara dan bangsa. Di atas dasar inilah komunitas Islam dan bangunan daulah Islam berdiri, sehingga dunia merasakan ketentraman, keyakinan, dan hubungan yang bersih antara individu dan negara ketika kendali umat manusia berada di tangan Islam.
Nash di sini menyebut alasan tersebut, dan mengingatkan bahwa terjadinya kondisi seperti ini, “Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” Hal tersebut merupakan ujian dari Allah untuk menguji keinginan mereka, moralitas komitmen, kehormatan, dan keengganan mereka untuk melanggar janji dimana mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi: “Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.”
Kemudian nash mengembalikan perselisihan yang terjadi di antara berbagai komunitas itu kepada Allah pada hari Kiamat, dimana pada waktu itu Allah membuat keputusan baginya: “Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Nash menganggap hal ini sebagai sarana pembinaan jiwa untuk memenuhi janji, bahkan terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka dari segi pendapat dan akidah: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (93) Seandainya Allah berkehendak, maka Allah akan menciptakan manusia dengan satu potensi. Tetapi, Allah menciptakan mereka dengan potensi yang berbeda-beda, dengan unit-unit yang khas dan yang tidak terulang (tidak ada padanannya). Allah membuat aturan main bagi seseorang untuk memperoleh hidayah dan tersesat, yang dengan aturan main itu kehendak-Nya pada manusia berjalan, dan masing-masing bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya.
Jadi, perbedaan dalam masalah akidah itu tidak menjadi penyebab pelanggaran janji, karena perbedaan itu memiliki sebab-sebab tersendiri yang berkaitan dengan kehendak Allah. Perjanjian harus terjamin meskipun keyakinan berbeda-beda. Inilah puncak interaksi yang bersih dan toleransi beragama yang tidak bisa diwujudkan dalam realitas kehidupan kecuali oleh Islam dalam naungan al-Qur’an ini.

AMANAH TERBESAR

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (72) لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (73)
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (72) sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat oragn-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (73) (Al-Ahzab / 33 : 72-73)
Sesungguhnya langit, bumi, dan gunung—yang dipilih al-Qur’an untuk dibicarakannya—adalah makhluk yang sangat besar, dimana manusia hidup di dalamnya atau di bawahnya sehingga ia tampak kecil dan lemah. Makhluk-makhluk tersebut mengenal Penciptanya tanpa upaya, dan serta merta memperoleh petunjuk tentang undang-undang yang mengaturnya sesuai penciptaan, pembentukan, dan sistemnya. Mereka menaati undang-undang Sang Pencipta secara langsung, tanpa melalui perenungan dan tanpa media. Mereka bergerak sejalan dengan undang-undang tersebut secara konstan, tanpa melenceng dan tanpa membangkang dalam menjalan perannya. Mereka menjalankan tugasnya menurut hukum penciptaan dan karakternya tanpa melibatkan emosi dan pilihan bebas.
Matahari berputar pada porosnya dengan perputaran yang sistematis, tanpa pernah melenceng dari sistem. Ia memancarkan cahayanya, untuk menjalankan tugas yang telah dimandatkan Allah padanya. Ia menarik satelit-satelitnya bukan didasari keinginan dalam dirinya, melainkan untuk menjalankan tugas kosmiknya secara sempurna.
Bumi ini berputar pada rotasinya, mengeluarkan tanamannya, menghasilkan makanan untuk para penghuninya, dan memancarkan mata airnya. Semua itu selaras dengan sunnatullah tanpa ada kehendak darinya.
Bulan, bintang, dan planet, angin dan awan, udara dan angin, gunung dan lembah, seluruhnya menjalankan perannya dengan seijin Tuhannya, mengenal Penciptanya, dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa didasari kehendak bebas. Tanpa mengerahkan tenaga, tanpa susah payah, dan tanpa usaha. Mereka takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia..”
Manusia mengenal Allah dengan nalar dan perasaannya, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya melalui perenungan dan pengamatan, berbuat mengikuti undang-undang dengan usaha dan jerih payahnya, menaati Allah dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, menahan tendensi penyimpangan, melawan egonya dan syahwatnya dengan upayanya. Di setiap tindakan ini ini, manusia didasari keinginan, sadar, dan memilih jalannya dalam keadaan tahu kemana ujung jalan ini!
Itulah amanah terbesar yang dipikul makhluk yang kecil ukurannya, lemah, lemah usahanya, terbatas usianya, sekaligus digumuli nafsu, tendensi, dan ambisi.
Sungguh sebuah tindakan “adventure” jika ia memikul tugas yang berat ini di pundaknya. Dari sini, “manusia itu amat zhalim” terhadap dirinya, “dan amat bodoh” terhadap kekuatannya. Kezhaliman ini terkait dengan besarnya beban yang dipikulnya. Tetapi, ketika ia bangkit memikul tugas tersebut, ketika ia sampai kepada ma’rifat yang mengantarkan kepada Penciptanya, menemukan petunjuk langsung kepada undang-undangnya dan ketaatan yang sempurna terhadap kehendak Rabb-nya, sebuah ma’rifat, petunjuk, dan ketaatan yang mengantarnya kepada tingkatan yang telah dicapai langit, bumi, dan gunung dengan mudah, padahal langit, bumi, dan gunung-gunung itu adalah makhluk yang mengenal Allah secara in design, menemukan petunjuk secara in design, taat secara in design, tidak ada faktor yang menghalanginya untuk patuh kepada Penciptanya, undang-undang-Nya, dan kehendak-Nya, serta tidak ada faktor yang menahannya melaksanakan perintah-Nya. Ketika manusia sampai kepada tingkatan ini dalam keadaan sadar, memahami, dan tanpa paksaan, maka ia benar-benar telah mencapai maqam yang mulia dan tempat yang unik di antara ciptaan Allah.
Itulah keutamaan kehendak, nalar, usaha, dan pemikulan beban. Itulah keistimewaan manusia dibanding banyak makhluk Allah. Itulah tolok ukur penghormatan yang dideklarasikan Allah di al-Mala’ul-A’la, saat Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Allah mendeklarasikannya di dalam al-Qur’an yang abadi saat Allah berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan bani Adam…” (al-Isra’ [17]: 70)
Maka, hendaknya manusia tahu acuan kemuliaannya di sisi Allah, dan hendaknya ia memikul amanah yang dipilihnya. Amanat yang pernah disodorkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka menolak untuk membawanya dan khawatir tidak bisa menjalankan amanat tersebut!
Tujuannya dari semua itu adalah:
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)
Jadi, perbedaan manusia dari makhluk lain adalah dalam memikul amanah, memikul tugas mengenal Rabbnya sendiri, menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri, semua itu agar ia memikul akibat dari pilihannya itu, agar balasan untuknya sesuai dengan amalnya, dan agar adzab itu pantas ditimpakan orang-orang munafiq dan musyrik, baik laki-laki atau perempuan. Dan agar Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, dengan menerima taubat mereka atas kekurangan dan kelemahan akibat tekanan-tekanan internal, rintangan yang menghalangi perjalan, serta berbagai daya tarik dan beban yang meletihkan mereka. Itulah karunia dan pertolongan Allah. Dan Allah itu Mahadekat ampunan dan rahmatnya bagi hamba-hamba-Nya: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)
Dengan irama yang kuat dan mendalam inilah ditutup surat yang diawali dengan instruksi kepada Rasulullah saw. Yaitu instruksi untuk taat kepada Allah, tidak mematuhi orang-orang kafir dan munafiq, mengikuti wahyu Allah, dan tawakkal kepada-Nya semata, bukan kepada yang lain. Surat ini juga mengandung berbagai instruksi dan penetapan syari’at yang menjadi fondasi sistem masyarakat Islam, yaitu ikhlas untuk Allah, berorientasi kepada-Nya, dan menaati instruksi-instruksi-Nya.
Dengan irama yang menggambarkan urgensi tugas dan besarnya amanah, mendefinisikan letak urgensi dan besarnya amanah, dan yang membatasi seluruhnya dalam upaya manusia untuk mengenal Allah, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya, dan tunduk kepada kehendaknya ini. Dengan irama inilah surat ini ditutup, bagian awalnya dan bagian akhirnya serasi dengan tema dan orienasinya, dalam sebuah harmoni yang sarat mukjizat, yang secara intrinsik menunjukkan sumber Kitab ini!

KRITERIA CENDIKIAWAN RABBANI

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (72) لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (73)
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (72) sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat oragn-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (73) (Al-Ahzab / 33 : 72-73)
Sesungguhnya langit, bumi, dan gunung—yang dipilih al-Qur’an untuk dibicarakannya—adalah makhluk yang sangat besar, dimana manusia hidup di dalamnya atau di bawahnya sehingga ia tampak kecil dan lemah. Makhluk-makhluk tersebut mengenal Penciptanya tanpa upaya, dan serta merta memperoleh petunjuk tentang undang-undang yang mengaturnya sesuai penciptaan, pembentukan, dan sistemnya. Mereka menaati undang-undang Sang Pencipta secara langsung, tanpa melalui perenungan dan tanpa media. Mereka bergerak sejalan dengan undang-undang tersebut secara konstan, tanpa melenceng dan tanpa membangkang dalam menjalan perannya. Mereka menjalankan tugasnya menurut hukum penciptaan dan karakternya tanpa melibatkan emosi dan pilihan bebas.
Matahari berputar pada porosnya dengan perputaran yang sistematis, tanpa pernah melenceng dari sistem. Ia memancarkan cahayanya, untuk menjalankan tugas yang telah dimandatkan Allah padanya. Ia menarik satelit-satelitnya bukan didasari keinginan dalam dirinya, melainkan untuk menjalankan tugas kosmiknya secara sempurna.
Bumi ini berputar pada rotasinya, mengeluarkan tanamannya, menghasilkan makanan untuk para penghuninya, dan memancarkan mata airnya. Semua itu selaras dengan sunnatullah tanpa ada kehendak darinya.
Bulan, bintang, dan planet, angin dan awan, udara dan angin, gunung dan lembah, seluruhnya menjalankan perannya dengan seijin Tuhannya, mengenal Penciptanya, dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa didasari kehendak bebas. Tanpa mengerahkan tenaga, tanpa susah payah, dan tanpa usaha. Mereka takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia..”
Manusia mengenal Allah dengan nalar dan perasaannya, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya melalui perenungan dan pengamatan, berbuat mengikuti undang-undang dengan usaha dan jerih payahnya, menaati Allah dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, menahan tendensi penyimpangan, melawan egonya dan syahwatnya dengan upayanya. Di setiap tindakan ini ini, manusia didasari keinginan, sadar, dan memilih jalannya dalam keadaan tahu kemana ujung jalan ini!
Itulah amanah terbesar yang dipikul makhluk yang kecil ukurannya, lemah, lemah usahanya, terbatas usianya, sekaligus digumuli nafsu, tendensi, dan ambisi.
Sungguh sebuah tindakan “adventure” jika ia memikul tugas yang berat ini di pundaknya. Dari sini, “manusia itu amat zhalim” terhadap dirinya, “dan amat bodoh” terhadap kekuatannya. Kezhaliman ini terkait dengan besarnya beban yang dipikulnya. Tetapi, ketika ia bangkit memikul tugas tersebut, ketika ia sampai kepada ma’rifat yang mengantarkan kepada Penciptanya, menemukan petunjuk langsung kepada undang-undangnya dan ketaatan yang sempurna terhadap kehendak Rabb-nya, sebuah ma’rifat, petunjuk, dan ketaatan yang mengantarnya kepada tingkatan yang telah dicapai langit, bumi, dan gunung dengan mudah, padahal langit, bumi, dan gunung-gunung itu adalah makhluk yang mengenal Allah secara in design, menemukan petunjuk secara in design, taat secara in design, tidak ada faktor yang menghalanginya untuk patuh kepada Penciptanya, undang-undang-Nya, dan kehendak-Nya, serta tidak ada faktor yang menahannya melaksanakan perintah-Nya. Ketika manusia sampai kepada tingkatan ini dalam keadaan sadar, memahami, dan tanpa paksaan, maka ia benar-benar telah mencapai maqam yang mulia dan tempat yang unik di antara ciptaan Allah.
Itulah keutamaan kehendak, nalar, usaha, dan pemikulan beban. Itulah keistimewaan manusia dibanding banyak makhluk Allah. Itulah tolok ukur penghormatan yang dideklarasikan Allah di al-Mala’ul-A’la, saat Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Allah mendeklarasikannya di dalam al-Qur’an yang abadi saat Allah berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan bani Adam…” (al-Isra’ [17]: 70)
Maka, hendaknya manusia tahu acuan kemuliaannya di sisi Allah, dan hendaknya ia memikul amanah yang dipilihnya. Amanat yang pernah disodorkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka menolak untuk membawanya dan khawatir tidak bisa menjalankan amanat tersebut!
Tujuannya dari semua itu adalah:
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)
Jadi, perbedaan manusia dari makhluk lain adalah dalam memikul amanah, memikul tugas mengenal Rabbnya sendiri, menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri, semua itu agar ia memikul akibat dari pilihannya itu, agar balasan untuknya sesuai dengan amalnya, dan agar adzab itu pantas ditimpakan orang-orang munafiq dan musyrik, baik laki-laki atau perempuan. Dan agar Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, dengan menerima taubat mereka atas kekurangan dan kelemahan akibat tekanan-tekanan internal, rintangan yang menghalangi perjalan, serta berbagai daya tarik dan beban yang meletihkan mereka. Itulah karunia dan pertolongan Allah. Dan Allah itu Mahadekat ampunan dan rahmatnya bagi hamba-hamba-Nya: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)
Dengan irama yang kuat dan mendalam inilah ditutup surat yang diawali dengan instruksi kepada Rasulullah saw. Yaitu instruksi untuk taat kepada Allah, tidak mematuhi orang-orang kafir dan munafiq, mengikuti wahyu Allah, dan tawakkal kepada-Nya semata, bukan kepada yang lain. Surat ini juga mengandung berbagai instruksi dan penetapan syari’at yang menjadi fondasi sistem masyarakat Islam, yaitu ikhlas untuk Allah, berorientasi kepada-Nya, dan menaati instruksi-instruksi-Nya.
Dengan irama yang menggambarkan urgensi tugas dan besarnya amanah, mendefinisikan letak urgensi dan besarnya amanah, dan yang membatasi seluruhnya dalam upaya manusia untuk mengenal Allah, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya, dan tunduk kepada kehendaknya ini. Dengan irama inilah surat ini ditutup, bagian awalnya dan bagian akhirnya serasi dengan tema dan orienasinya, dalam sebuah harmoni yang sarat mukjizat, yang secara intrinsik menunjukkan sumber Kitab ini!

KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Ini merupakan tema penting yang dikupas dalam pelajaran ini, selain penjelasan tentang tugas umat Islam di muka bumi. Tema tersebut adalah menetapkan prinsip-prinsip keadilan dan etika di atas dasar-dasar manhaj Allah yang lurus dan bersih.
Sebelumnya kami telah menjelaskannya secara global, maka mari kita memasuki nash-nash secara rinci.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)
Inilah tugas-tugas komunitas muslim dan etika mereka: menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil; sesuai manhaj dan instruksi Allah.
Berbagai amanah berawal dari amanah terbesar. Amanah yang disematkan Allah pada fitrah manusia. Langit, bumi dan gunung-gunung saja menolak amanah tersebt. Bahkan mereka gentar terhadapnya. Tetapi manusia berani memikulnya. Itulah amanah hidayah, ma’rifat dan iman kepada Allah atas dasar keinginan yang bebas, usaha dan orientasi. Inilah amanah fitrah insani secara khusus. Sedangkan segala sesuatu selain manusia itu diberi insting oleh Allah untuk beriman kepada-Nya, menemukan jalan-Nya, mengenal-Nya, beribadah dan menaati-Nya.
Allah meniscayaka untuk menaati aturan-Nya tanpa disertai jerih payah, tanpa ada maksud, kehendak, dan tujuan. Hanya manusia saja yang diserahi tugas untuk mendayagunakan fitrah, akal, pengetahuan, kehendak, orientasi, dan jerih payahnya untuk sampai kepada Allah, dan sudah barang tentu dengan bantuan dari Allah: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut: 29) Inilah amanah yang dipikul manusia, dan inilah amanah pertama yang harus ditunaikannya.
Dari amanah terbesar inilah lahir seluruh amanah yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan.
Di antara amanah-amanah tersebut adalah: amanah kesaksian terhadap agama ini. Kesaksian yang pertama adalah kesaksian dalam hati, dengan melakukan mujahadatun-nafs hingga mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terjemah yang hidup dalam perasaan dan perilakunya, hingga manusia dapat melihat bentuk iman di dalam jiwa, lalu mereka mengatakan, “Betapa indah dan bersihnya iman ketika ia mewarnai jiwa seseorang dengan akhlak dan kesempurnaan seperti ini!” Dengan demikian, kesaksian terhadap agama di dalam diri itu memengaruhi orang lain.
Yang kedua adalah kesaksian dengan mengajak orang lain untuk mengikuti Islam, menjelaskan keutamaan dan keistimewaannya—setelah mengejawantahkan keutamaan dan keistimewaan ini dalam diri dai. Karena seorang mukmin tidak cukup menyampaikan kesaksian terhadap iman dalam dirinya, apabila ia tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Ia belum menjalankan amanah dakwah, tabhligh, dan penyampaikan informasi, yang merupakan salah satu dari sekian banyak amanah. Di susul dengan kesaksian terhadap agama dengan berusaha menancapkannya di bumi sebagai manhaj bagi komunitas yang beriman dan manhaj bagi seluruh umat manusia. Yaitu usaha dengan segenap sarana yang dimiliki individu dan jama’ah. Karena mengaplikasikan manhaj ini dalam kehidupan manusia merupakan amanah terbesar, sesudah amanah iman itu sendiri..Tidak ada satu individu atau kelompok pun yang terbebas dari beban amanah ini. Dari sini, “jihad itu terus berlangsung hingga hari Kiamat”, untuk menunaikan salah satu amanah..
Di antara amanah-amanah tersebut adalah amanah interaksi dengan sesama manusia dan mengembalikan amanah kepada mereka: amanah mu’amalah dan titipan materi, amanah nasihat kepada pemimpin dan rakyat, amanah membangun generasi, amanah memelihara kehormatan dan harta benda jama’ah, serta hal-hal yang dijadikan manhaj robbani sebagai kewajiban dan tugas dalam setiap ruang kehidupan secara keseluruhan..Inilah amanah-amanah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan, dan dikemukakan nash secara global tersebut.
Mengenai memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, nash menyebut keadilan yang menjangkau semua manusia, bukan keadilan di antara sesama orang Islam, dan bukan keadilan di antara sesama Ahli Kitab. Keadilan adalah hak setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai “manusia”. Label “manusia” inilah yang mengimplikasikan hak keadilan dalam manhaj Robbani, dan label inilah yang mempertemukan semua manusia: baik mukmin atau kafir, kawan atau lawan, hitam atau putih, Arab atau non-Arab.
Umat Islam berdiri membuat keputusan di antara manusia dengan adil—ketika ia memegang otoritas atas urusan mereka. Keadilan inilah yang belum pernah dikenal umat manusia sama sekali—dalam bentuknya yang demikian—kecuali di tangan Islam, kecuali dalam pemerintahan umat Islam, dan kecuali pada masa kepemimpinan Islam. Keadilan ini hilang sebelum dan sesudah kepemimpinan tersebut. Umat manusia sama sekali tidak merasakan keadilan dalam bentuk mulia seperti ini, yang diberikan kepada semua manusia karena mereka adalah “manusia”, bukan karena label tambahan lain di luar label yang menjadi milik bersama umat manusia ini!
Itulah dasar pemerintahan dalam Islam. Sebagaimana amanah—dengan setiap indikasinya—merupakan dasar kehidupan dalam masyarakat Islami.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)

Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah, dan betapa bagusnya apa yang dinasihatkan dan diinstruksikan Allah.
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Mari kita merenung sejak ungkapan ini dari sisi gaya bahasanya. Karena pada mulanya susunan kalimat ini berbunyi: innahu ni’ma ma ya’izhukumullahu bihi (sesungguhnya ia adalah sebaik-baik yang dinasihatkan Allah kepada kalian).
Tetapi, ungkapan ini mendahulukan lafzhul Jalalah, dengan menjadikannya sebagai isim (kata benda) bagi partikel inna, dan menempatkan lafazh ni’imma dan kata-kata yang terkait itu pada kedudukan khabar bagi inna sesudah khabar-nya dihilangkan..Hal itu untuk menginspirasikan kuatnya hubungan antara Allah Subhanah dengan apa yang dinasihatkan-Nya kepada mereka ini.
Kemudian, sebenarnya itu bukan “nasihat”, melainkan “perintah..” Tetapi ungkapan ini menyebutnya nasihat, karena nasihat itu lebih menyentuh hati, lebih cepat merasuk ke dalam emosi, dan lebih memotivasi untuk melaksanakannya secara suka rela dan rasa malu!
Kemudian hadirlah komentar terakhir dalam ayat, yaitu perintah untuk merasa diawasi Allah (muraqabah), takut dan berharap kepada-Nya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Korelasi antara tugas-tugas yang diperintahkan, yaitu menunaikan amanah dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, (korelasinya) dengan sifat Allah sebagai Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, merupakan korelasi yang jelas sekaligus halus: Allah mendengar dan melihat masalah-masalah keadilan dan amanah. Selain itu, keadilan perlu didengar, dilihat, dan dihargai dengan baik, perlu diperhatikan hal-hal yang melingkupinya dan fenomena-fenomenanya, dan perlu didalami apa ada di balik situasi dan kondisi serta fenomena-fenomenanya. Dan yang terakhir, perintah menyampaikan amanah dan berbuat adil itu bersumber dari Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat segala perkara.
Selanjutnya, apa tolok ukur amanah dan keadilan? Apa metode untuk mempersepsi, mendefinisikan, dan melaksanakannya? Apakah ia berlaku dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan?
Apakah kita menyerahkan konsep amanah dan keadilan, media-media implementasi dan realisasinya kepada kebiasaan dan terminologi masyarakat? Apakah kita menyerahkannya kepada keputusan akal mereka—atau selera mereka?
Sesungguhnya akal manusia itu memiliki kriteria dan nilai sendiri dalam kapasitasnya sebagai salah satu alat untuk mengetahui dan mencari petunjuk dalam diri manusia. Hal ini memang benar, tetapi akal manusia itu adalah akal individu-individu dan kelompok-kelompok dalam suatu lingkungan yang sangat terpengaruh dengan berbagai stimulasi..Tidak ada yang disebut “akal manusia” dalam arti yang mutlak! Yang ada adalah akalku, akalmu, akal fulan, dan akal sekumpulan manusia, di suatu ruang atau waktu..Semua ini terjadi di bawah beragam pengaruh, menyayun-ayun seperti pendulum..
Harus ada kriteria baku yang menjadi referensi akal yang banyak ini, sehingga akal-akal tersebut mengetahui sejauh mana salah dan benarnya keputusan dan persepsi akal, sejauh mana akal melampaui batas dan kurang dari batas dalam membuat keputusan dan persepsi tersebut. Nilai akal manusia di sini adalah sebagai piranti yang disiapkan bagi manusia untuk mengetahui kriteria keputusan-keputusannya dalam kriteria ini, yaitu kriteria baku yang tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak terpengaruh oleh berbagai stimulus.
Standar-standar yang diletakkan sendiri oleh manusia itu tidak berlaku. Karena terkadang ada cacat dalam standar-standar itu sendiri, sehingga semua nilai menjadi tumbang. Hal itu terjadi selama manusia tidak kembali kepada standar-standar yang baku dan lurus.
Allah meletakkan standar ini bagi manusia untuk amanah dan keadilan, untuk semua nilai, untuk semua keputusan, dan untuk semua bidang kegiatan, dalam setiap ranah kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Di dalam nash yang pendek ini Allah Subhanah menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Pada waktu yang sama, Allah juga menjelaskan kaidah aturan pokok dalam jama’ah muslim, kaidah memerintah, dan sumber kekuasaan.
Seluruhnya berawal dan berakhir pada talaqqi (penerimaan titah) dari Allah semata, dan kembali kepada-Nya dalam hal-hal yang tidak diredaksikan-Nya, yaitu perkara-perkara parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia di sepanjang sejarah, yang diperselisihkan oleh berbagai akal, pendapat, dan faham. Semua itu agar ada tolok ukur baku yang menjadi referensi semua akal, pendapat, dan faham
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Sesungguhnya hakimiyyah (otoritas legislasi) dalam kehidupan manusia itu milik Allah semata, baik kecil atau besar. Allah telah menetapkan aturan di dalam al-Qur’an, dan mengutus Rasul untuk menjelaskannya kepada manusia. Beliau tidak berbicara menurut inisiatif dirinya, karena Sunnah beliau merupakan ketetapan dari Allah.
Allah wajib ditaati. Di antara karakteristik uluhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat. Jadi, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib menaati Allah secara primordial, dan menaati Rasulullah lantaran sifat yang dimilikinya ini. Yaitu sifat kerasulan dari Allah. Jadi, taat kepada Rasulullah merupakan bagian dari taat kepada Allah yang mengutusnya untuk membawa syari’at ini dan menjelaskannya kepada manusia dalam Sunnahnya. Sunnah dan keputusan Rasulullah—dengan demikian—merupakan bagian dari syari’at yang wajib dilaksanakan. Ada dan tiadanya iman itu tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syari’at, sesuai nash al-Qur’an:
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun Ulul Amr (pemegang otoritas), nash mendefinisikan siapa mereka. “Dan ulil amri di antara kamu..”
Maksudnya di antara orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat ini. Yaitu menaati Allah dan menaati Rasulullah, memonopolikan Allah sebagai pemilik hakimiyyah dan hak membuat aturan bagi manusia secara primordial, menerima perintah dari-Nya saja, dan kembali kepada-Nya dalam perkara-perkara yang diperselisihkan akal, faham, dan pendapat yang tidak ada teksnya, untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari nash.
Nash menganggap ketaatan kepada Allah sebagai basis, dan begitu juga ketaatan kepada Rasul-Nya. Dan nash menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri di antara kalian itu sebagai subordinan terhadap ketaatan kepada Allah dan ketatan kepada Rasul-Nya. Di sini nash tidak mengulang kata taat saat menyebut mereka, sebagaimana nash mengulangnya saat menyebut Rasul saw. Hal itu untuk menetapkan bahwa ketaatan terhadap mereka itu bersumber dari ketaatan terhadap Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu berasal dari kalangan kalian, yaitu dengan batasan dan syarat iman.
Taat kepada Ulil Amri di antara kalian itu diperintahkan sesudah ketetapan-ketetapan ini, dalam batas-batas perkara yang ma’ruf dan disyari’atkan, tidak diredaksikan keharamannya, dan tidak termasuk diharamkan ketika dikembalikan kepada prinsip-prinsip syari’at—pada waktu diperselisihkan. Sunnah telah menetapkan batasan-batasan ketaatan terhadap Ulil Amri secara tegas dan pasti.
Di dalam kitab Shahihain terdapat riwayat dari A’masy, “Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.”
Di dalam kitab Shahihain juga terdapat riwayat dari Yahya al-Qaththan, “Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim, baik dalam perkara yang disenanginya atau yang dibencinya, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila ia diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.”
Muslim meriwayatkan dari Ummu Hushain, “Seandainya seorang budak diangkat menjadi pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian berdasarkan Kitab Allah, maka dengarlah dan taatilah dia.”
Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai pembawa amanah atas syari’at Allah dan Sunnah Rasul-Nya, pembawa amanah atas iman dan agamanya, pembawa amanah atas diri dan akalnya, dan pembawa amanah atas masa depannya di dunia dan akhirat. Islam tidak menganggap manusia sebagai gembala di ladang ternak, yang dihalau kesana kemari, lalu mereka mendengar dan taat! Karena manhajnya jelas, dan batasan-batasan taat juga jelas. Syari’at yang ditaati dan Sunnah yang diikuti itu satu, tidak berbilang, tidak terpecah belah, dan tidak mengombang-ambingkan individu di antara berbagai dugaan!
Semua ketentuan itu berlaku dalam hal yang ada nash eksplisitnya. Mengenai hal yang tidak ada nashnya, dan mengenai berbagai problematika dan perkara yang terjadi sering zaman, perkembangan kebutuhan, dan lingkungan yang berbeda-beda, sementara tidak ada nash yang pasti, atau tidak ada nash tentangnya sama sekali..padahal akal, pendapat, dan pemahaman berbeda dalam menilainya..mengenai semua ini, Allah juga tidak membiarkan manusia dalam keadaan bingung tanpa timbangan, dan tidak membiarkan mereka tanpa manhaj untuk membuat aturan dan hukum cabang. Allah menjadikan nash yang pendek ini sebagai manhaj dalam ijtihad seluruhnya, dan menetapkan batasan-batasannya. Allah telah mendirikan “pokok” yang mengatur manhaj ijtihad.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)..”
Kembalikanlah kepada nash-nash yang secara dengannya secara implisit. Jika tidak ada nash-nash yang sesuai sedemikian rupa, maka kembalikanlah masalah itu kepada prinsip-prinsip universal umum dalam manhaj dan syari’at Allah. Ini bukan sesuatu yang mengapung, bukan kekacauan, dan bukan termasuk terra incognita dimana akal tersesat di dalamnya, seperti yang coba dikatakan oleh sebagian penipu. Di dalam agama terdapat prinsip-prinsip dasar yang jelas sejelas-jelasnya. Ia meng-cover seluruh aspek pokok kehidupan, dan meletakkan satu pagar yang mudah ditembus hati seorang muslim yang terbentuk oleh timbangan agama ini.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.
Setelah nash ini meletakkan masalah pada posisi kondisionalnya, maka sekali lagi nash menghadirkannya dalam bentuk “nasihat” dan motivasi, seperti yang dilakukannya terhadap perintah menunaikan amanah dan berlaku adil, yang kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan lebih baik akibatnya. Lebih baik di dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih baik akibatnya di dunia, juga lebih baik akibatnya di akhirat. Jadi, bukan hanya menggapai ridha Allah dan pahala akhirat—dan itu merupakan berkara yang sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga dapat mewujudkan kebaikan dunia dan akibat yang baik bagi individu dan jama’ah di kehidupan yang dekat ini.
Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang” menikmati kelebihan-kelebihan manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang terbebas dari kebodohan, hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj yang tidak mengandung nepotisme kepada satu individu, satu kelompok, satu bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah adalah Rabb bagi semua orang. Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh keinginan memihak kepada satu individu, atau satu strata sosial, atau satu bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah dibuat oleh yang menciptakan manusia, yang mengetahui hakikat fitrahnya dan kebutuhan-kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini. Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga manusia tidak terjebak dalam kebingunan saat mencari manhaj yang sesuai, dan Allah swt. tidak membebani manusia dengan harga dari uji coba-uji coba yang keras. Sementara mereka terjebak dalam kebingunan tanpa petunjuk!
Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba dalam bidang kreasi dan inovasi material sesuka hari, karena bidang tersebut sangat luas bagi akal manusia. Dan cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha menerapkan manhaj ini, dan mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai hal-hal yang diperselisihkan akal.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaan adalah dibuat oleh Pencipta alam semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia menjamin untuk manusia manhaj yang kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam. Sehingga manusia tidak perlu berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru berdampingan dengannya dan memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan melindunginya.
Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah—selain memberinya petunjuk dan melindunginya—manhaj ini juga memuliakannya dan memberi ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk memahami nash-nash yang ada, disusul dengan ijtihad untuk mengembalikan masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash atau kepada prinsip-prinsip umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang orisinil bagi akal manusia, yaitu ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta dan ruang kreasi dan inovasi material.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sehabis menetapkan kaidah universal ini dalam syarat iman dan batasan Islam, juga dalam aturan pokok umat Islam, dan manhaj penetapan syari’at dan prinsip-prinsipnya, maka konteks beralih kepada orang-orang yang menyimpang dari kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka mengklaim sebagai orang yang beriman! Padahal mereka melanggar syarat iman dan batasan Islam, karena mereka ingin bermahkamah kepada selain syari’at Allah, yaitu kepada Thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya.
Konteks beralih kepada mereka untuk memandang aneh sikap mereka. Juga untuk mengingatkan mereka dan orang-orang seperti mereka tentang keinginan setan untuk menyesatkan mereka. Konteks mendeskripsikan kondisi mereka ketika diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu mereka menolak. Penolakan ini dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana konteks menganggap keinginan mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai tindakan keluar dari iman—bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya. Sebagaimana konteks menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk mengikuti langkah yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada mereka. Meski demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka. Dan penggal ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para Rasul.

SISTEM EKONOMI RIBA (BUNGA)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 275-276)
Ini adalah serangan yang menakutkan dan lukisan yang menakutkan:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila..”
Tidak ada suatu ancaman yang sifatnya abstrak untuk menimbulkan pengaruh pada perasaan seperti yang ditimbulkan gambaran yang konkret, hidup dan bergerak ini..Yaitu gambaran orang yang kesurupan setan yang familiar banyak manusia.
Nash menghadirkannya agar ia menjalankan peran inspirasinya untuk menggedor perasaan, menggugah perasaan para lintah darat dan menggoncangnya dengan keras agar mereka meninggalkan sistem ekonomi yang menjadi kebiasaan mereka dan meninggalkan ketamakan mereka untuk memperoleh bunga.
Gambaran ini menjadi media stimulus edukatif yang efektif pada tempat yang sesuai, tetapi pada waktu yang sama ia mengungkapkan sebuah hakikat riil. Mayoritas tafsir mengatakan bahwa maksud kata ‘berdiri’ di sini adalah berdiri pada hari Kiamat. Tetapi, gambaran ini—seperti yang kita lihat—juga benar-benar terjadi dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Lagi pula, gambaran itu sesuai dengan peringatan sesudahnya; serangan dari Allah dan Rasul-Nya. Kami melihat bahwa serangan tersebut tengah berlangsung terhadap umat manusia yang sesat dan menggelepar seperti orang yang kesurupan di tengah sistem riba. Sebelum kami merinci bukti hakikat ini dari realitas manusia hari ini, kami memulai dengan memaparkan gambaran riba yang dihadapi al-Qur’an pertama kali di tengah Jazirah Arab dan persepsi-persepsi umat jahiliyyah tentangnya..
Riba yang dikenal masyarakat jahiliyyah dimana ayat ini turun untuk menganulirnya itu memiliki dua bentuk pokok: riba nasi’ah dan riba fadhl. Mengenai riba nasi’ah, Qatadah berkata, “Riba masyarakat jahiliyyah adalah seseorang menjual barang secara tempo. Apabila temponya telah jatuh sedangkan pembeli tidak bisa membayar, maka penjual menaikkan harganya dan mengundur waktunya.”
Dalam riwayat Abu Usamah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah.”
Adapun riba fadhl adalah seseorang membarter barang dengan barang yang sejenis tetapi ada selisih, seperti barter emas dengan emas. Jenis transaksi ini dikategorikan riba karena ada kerancuan di dalamnya.
Dari Abu Sa‘id al-Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, kurma kering dengan kurma kering, garam dengan garam, secara sepadan dan kontan. Barangsiapa yang melebihkan atau meminta dilebihkan, maka ia telah berlaku riba. Yang menerima dan yang memberi adalah sama.” Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menjelaskan masalah riba ini.
Riba jenis pertama jelas dan tidak butuh penjelasan, karena unsur-unsur pokok praktik riba telah terpenuhi, yaitu selisih dari pokok harta, sifat tempo yang karenanya selisih nilai ini dibayarkan, keberadaan bunga ini menjadi sarat yang termuat dalam transaksi. Maksudnya adalah harta beranak harta hanya karena perbedaan waktu pembayaran.
Adapun jenis kedua, tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat perbedaan-pebedaan pokok pada dua barang sejenis yang menjadi faktor selisih. Hal itu tampak jelas pada peristiwa Bilal ketika ia memberi dua gantang kurma kualitas rendah dan mengambil satu gantang kurma kualitas bagus. Tetapi, karena kesamaan jenis dua barang itu menimbulkan kesamaran bahwa ada praktik riba di dalamnya, lantaran di sini kurma menghasilkan kurma, maka Rasulullah saw menyebutnya riba. Beliau menyuruh menjual barang yang dimaksud dengan ditukar uang, kemudian membeli barang yang diinginkan dengan uang juga. Hal itu untuk menjauhkan bayang-bayang riba dari transaksi!
Demikian pula syarat konstan, agar jual beli tempo untuk barang yang sepadan, meskipun tanpa selisih itu tidak mengandung aroma riba dan salah satu unsurnya!
Sampai batas inilah sensitifitas Rasulullah saw terhadap aroma riba dalam suatu transaksi. Tetapi, orang-orang yang hari ini tunduk kepada persepsi dan sistem kapitalis barat ingin membatasi keharaman riba pada satu bentuk riba saja, yaitu nasi’ah, dengan bersandar pada hadits Usamah di atas dan penjelasan ulama salaf mengenai praktik riba di masa jahiliyyah.
Islam bukan sistem formalitas, melainkan sistem yang berfondasikan persepsi yang orisinil. Ketika Islam mengharamkan riba, maka ia bukan mengharamkan satu bentuk saja. Islam melawan persepsi yang bertolak belakang dengan persepsinya dan memerangi logika yang tidak sejalan dengan logikanya. Dan sampai batas inilah sensitifitas Islam dalam mengharamkan riba fadhl, untuk menjauhkan bayangan logika dan rasa riba sejauh-jauhnya.
Karena itu, sepantasnya kita mengetahui hakikat ini dengan baik dan meyakini perang yang dikumandangkan Allah dan Rasul-Nya itu tertuju kepada masyarakat penganut sistem riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Orang-orang yang makan riba itu bukan hanya yang mengambil bunga saja—meskipun mereka adalah kelompok yang pertama diancam oleh nash yang menakutkan ini. Tetapi mereka adalah setiap bagian dari masyarakat penganut sistem riba.
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata, “Rasulullah saw melaknat orang yang mengambil riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya dan pencatatnya. Beliau bersabda, “Mereka sama.”
Mereka tidak berdiri dan bergerak kecuali seperti orang yang kesurupan, gelisah, cemas, tidak memperoleh ketentraman dan ketenangan. Kalau dulu ada keraguan terhadap hakikat tersebut pada masa berdirinya sistem kapitalis empat abad yang lalu, maka pengalaman tidak menyisakan lagi ruang bagi keraguan.
Dunia tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia kecemasan dan ketakutan, dipenuhi penyakit syaraf dan psikologis—menurut pengakuan pada pakar dan penelitinya. Meskipun sedemikian hebat apa yang dicapai peradaban materi dan produk industri. Selain itu, dunia ini adalah dunia perang yang luas, ancaman genosida, perang urat syaraf dan konflik-konflik yang tidak pernah berhenti di sana-sini!
Di Amerika, Swedia dan negara-negara lain yang makmur secara materi, masyarakatnya bukan masyarakat yang bahagia. Kecemasan tampak jelas terlihat di mata mereka, padahal mereka orang-orang berada! Kejemuan merapuhkan kehidupan mereka saat mereka sibuk berproduksi! Ada kalanya mereka dibayangi kejemuan padahal di tengah keriaan yang hingar bingar, atau dalam ‘keranjingan’ yang aneh dan menyimpang, penyimpangan seksual dan psikologis.
Kemudian mereka merasa butuh lari dari diri sendiri dan kehampaan! Juga dari ketidak-bahagiaan yang tidak ada hubungannya dengan fasilitas hidup. Mereka lari dengan cara bunuh diri, gila dan menyimpang! Hantu kecemasan dan kehampaan itu terus mengejar mereka dan tidak pernah membiarkan mereka rileks sama sekali. Mengapa?
Bencana utama dari riba adalah melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank.
Penyebab Kegelisahan
Sebab utama kegelisahan sudah barang tentu adalah kosongnya ruh manusia yang tersiksa, sesat dan sengsara ini dari energi ruh, yaitu iman dan keyakinan terhadap Allah, serta dari tujuan-tujuan besar manusia yang digariskan iman dan dari kekhalifahan di bumi sesuai perjanjian dan syaratnya.
Bencana utama dan besar tersebut—yaitu bencana riba—melahirkan bencana ekonomi yang tumbuh secara tidak seimbang karena tidak terdistribusikan kepada seluruh manusia, melainkan kepada kelompok pemodal lintah darat yang duduk-duduk di belakang meja-meja besar di bank-bank. Mereka meminjami modal kepada industri dan bisnis dengan bunga yang telah ditetapkan dan terjamin, lalu memaksa industri dan bisnis untuk mengikuti jalur tertentu yang tujuan pertamanya bukan menjaga masyarakat dan hajat manusia, melainkan untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin—meskipun dengan menghancurkan kehidupan banyak orang dan menebarkan keraguan dan kecemasan di tengah masyarakat!
Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Para lintah darat di masa Rasulullah saw memprotes pengharaman riba karena tidak menurut mereka tidak ada alasan untuk mengharamkan praktik riba dan menghalalkan praktik perdagangan:
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Kerancuan yang jadi pegangan mereka adalah jual beli menghasilkan manfaat (interest) dan keuntungan, sama seperti riba. Ini merupakan kerancuan yang lemah. Karena perdangan itu bisa untung atau rugi. Kepiawaian individu, usaha individu serta situasi dan kondisi natural dalam kehidupan-lah yang menjadi faktor untung dan rugi. Sedangkan praktik riba itu pasti untung dalam kondisi apapun. Inilah perbedaan utama dan tolok ukur halal dan haram.
Setiap transaksi yang terjamin keuntungannya dalam kondisi apapun adalah riba dan haram. Tidak ada alasan untuk negoisasi dalam hal ini!
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Karena unsur ini dan karena faktor-faktor lain, maka perdagangan secara prinsip adalah bermanfaat bagi kehidupan manusia, dan riba secara prinsip itu merusak kehidupan manusia..
Islam telah memberi sosuli praktis terhadap kondisi yang ada pada saat itu, tanpa menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.”
Islam telah menjalankan sistemnya sejak pertama ia ditetapkan. Barangsiapa yang mendengar nasihat Tuhannya lalu berhenti mengutip riba, maka tiba yang telah lalu itu tidak diambil lagi darinya dan keputusannya diserahkan kepada Allah. Ungkapan ini memberi inspirasi kepada hati bahwa keselamatan dari akibat dosa di masa lalu itu tergantung pada kehendak dan rahmat Allah, sehingga hati selalu mencemaskan hal tersebut dan berkata kepada diri sendiri: cukup bagiku dengan torehan dosa ini, semoga Allah memaafkanku dari hukumannya jika aku berhenti dari riba dan bertaubat.
“Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Ancaman dengan adzab yang sebenarnya di akhirat itu memperkuat karakter metode edukasi yang kami isyaratkan dan memperdalam pengaruhnya bagi hati. Tetapi, barangkali banyak orang yang lalai dengan akibat lamanya waktu dan tidak diketahuinya waktu yang dijanjikan, sehingga mereka menganggap akhirat masih jauh! Karena itu, al-Qur’an juga mengancam mereka dengan kemusnahan di dunia dan akhirat, menetapkan bahwa sedekah—bukan riba—itulah yang berkembang. Kemudian, ancaman ini melabeli orang-orang yang tidak merespon perintah ini dengan label kufur dan dosa dan memperlihatkan kepada mereka kebenncian Allah terhadap orang-orang kafir yang berdoa:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Ancaman dan janji Allah itu terbukti benar. Kita lihat, tidak satu pun masyarakat yang berinteraksi dengan riba, lalu di dalamnya tersisa berkah, kemakmuran, kebahagiaan, keamanan dan ketentraman. Allah memusnahkan riba, sehingga tidak berdampak kepada masyarakat selain kekeringan dan kesengsaraan.
Sebelumnya kami telah mengisyaratkan ketidak-bahagiaan yang dirasakan manusia di negara-negara kaya dan gangguan psikologis yang tidak bisa ditolak dengan kekayaan, tetapi justeri diperparah. Dari negara-negara tersebut-lah kecemasan dan gangguan itu menjalar ke seluruh dunia pada hari ini, dimana manusia hidup dalam ancaman perang destruktif terus-menerus, seperti Anda terjaga dan tidur dalam bayang-bayang perang dingin! Kehidupan semakin memberatkan syaraf hari demi hari—baik mereka merasa atau tidak. Harta, usia dan kesehatan mereka tidak diberkahi!
Tidak ada satu masyarakat pun yang memegang prinsip solidaritas dan kerjasama—dalam bentuk sedekah wajib dan sunnah, diwarnai ruh cinta dan toleransi, pencarian terhadap karunia dan pahala Allah, serta keyakinan terhadap pertolongan Allah dan ganti-Nya terhadap sedekah secara berlipat ganda. Sifat tidak ramah dan bakhil, saling berkelahi dan saling menggilas, individualisme dan egoisme-lah yang bercokol di hati manusia, sehingga membuat harta tidak bisa berpindah kepada orang-orang yang membutuhkannya kecuali dalam bentuk riba yang busuk.
Kondisi tersebut juga membuat manusia hidup tanpa jaminan-jaminan selama mereka tidak punya setumpuk kekayaan, atau menyetor sebagian hartanya ke lembaga asuransi dengan sistem riba! Ia juga membuat perdagangan dan industri tidak memperoleh modal selama tidak dengan cara riba, sehingga tertanam dalam benak generasi penerus yang sengsara itu bahwa tidak ada sistem selain sistem ini dan bahwa kehidupan tidak bisa tegak kecuali di atas fondasi ini!
Wajah zakat telah buram hingga generasi sekarang. Mereka mengira zakat sebagai kebaikan individual yang lemah dan tidak bisa menopang sistem modern! Tetapi, betapa besarnya hasil zakat yang diambil 2.5 % dari harta pokok beserta keuntungannya?
Zakat itu dibayarkan manusia yang telah dibentuk dan dibina Islam secara khusus dengan berbagai arahan dan aturan, dengan sistem kehidupan khusus yang persepsinya tidak bisa dirasakan hati yang tidak hidup di dalam Islam! Negara menghimpun zakat sebagai kewajiban, bukan sebagai kebaikan individual. Dengan dana zakat itu negara menjamin individu-individu jama’ah yang tidak berkecukupan, sehingga setiap individu merasa bahwa hidupnya dan anak-anaknya terjamin dalam kondisi apapun, dan sehingga orang yang pailit dapat membayar hutangnya—baik hutang dagang atau non-dagang—dari hasil zakat tersebut.
Yang penting bukan formalitas sistem, melainkan ruhnya. Karena masyarakat yang dibina Islam dengan berbagai arahan, aturan dan sistemnya itu harmoni dengan bentuk dan prosesdur sistem, komplementer dengan aturan dan arahannya. Solidaritas itu timbul dari hati sekaligus dari aturan secara harmoni dan komplementer.
Inilah hakikat yang terkadang tidak dipersepsi orang-orang yang tumbuh dan hidup di bawah naungan sistem materialistik. Tetapi, kita sebagai umat Islam mengetahuinya dengan merasakannya dengan citarasa iman kita. Kalau mereka tidak memiliki citarasa ini karena nasib buruk mereka, maka biarlah itu menjadi nasib mereka! Biarkan mereka jauh dari kebaikan yang diberitakan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat,
Biarlah mereka tidak merasakan ketentraman dan ridha, selain balasan dan pahala. Karena kebodohan, kejahiliyahan, kesesatan dan sifat keras kepala itulah mereka tidak dikarunia nikmat-nikmat tersebut!
Kepada orang-orang yang menegakkan hidupnya pada iman, keshalihan, ibadah dan tolong-menolong itu Allah berjanji untuk menjaga balasan bagi mereka di sisi-Nya, keamanan sehingga tidak lagi merasa takut dan kebahagiaan sehingga tidak lagi merasa sedih.
“Mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Pada saat yang sama, Allah mengancam para pemakan riba dan masyarakat penganut sistem riba itu dengan kehancuran, menggelepar dan sesat, cemas dan takut.
Manusia melihat fakta tersebut pada masyarakat muslim, juga pada masyarakat penganut riba! Seandainya kami mampu menahan setiap hati yang lalai dan menggetarkannya agar tetap menyadari hakikat yang jelas ini, maka kami pasti melakukannya.
Tetapi yang bisa kami lakukan hanya memberi isyarat tentang hakikat ini, semoga Allah memberi hidayah kepada manusia yang nesta itu kepadanya.
Di bawah naungan ketentraman dan keamanan yang dijanjikan Allah kepada jama’ah muslim yang menyingkirkan riba dari kehidupannya, menepis kekafiran dan dosa, menegakkan kehidupan pada iman, amal shalih, ibadah dan zakat…di bawah naungan ini al-Qur’an memberi pesan terakhir kepada orang-orang yang beriman agar menjauhkan kehidupan mereka dari sistem riba yang kotor dan memuakkan. Kalau tidak, maka mereka menerima serangan dari Allah dan Rasul-Nya tanpa ditunta-tunda…
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 279)
Nash ini mengaitkan iman pada sikap meninggalkan sisa-sisa riba. Jadi, mereka itu bukan orang-orang mukmin kecuali mereka bertakwa kepada Allah dan meninggalkan sisa-sisa riba. Karena iman tidak dianggap tanpa disertai ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Nash al-Qur’an tidak membiarkan mereka dalam kondisi yang tidak jelas dan tidak membiarkan seseorang berlindung di balik kata iman sementara ia tidak menaati dan menerima syari’at Allah, tidak menerapkannya dalam kehidupannya dan tidak menjadikannya aturan main dalam interaksi-interaksinya. Orang yang memisahkan antara akidah dan mu’amalah itu bukan orang-orang mukmin, meskipun mereka mengaku beriman dengan mulut mereka, bahkan dengan semua ibadah lainnya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Islam membiarkan riba riba yang telah lalu, tidak menuntut balik dari mereka dan tidak menyita seluruh harta mereka atau sebagiannya lantaran di dalam ada unsur riba. Karena tidak ada pengharaman dan hukum tanpa ada nash. Aturan itu diterapkan dan menimbulkan dampaknya sesudah aturan itu dikeluarkan. Sedangkan apa yang terjadi di masa lalu, urusannya diserahkan kepada Allah, bukan kepada hukum (tidak berlaku surut). Inilah prinsip yang diambil perundang-undangan modern baru-baru ini! Hal itu karena syari’at Islam diturunkan untuk menghadapi kehidupan riil manusia, menjalankan, membersihkan dan melejitkannya.
Pada waktu yang sama, nash mengaitkan penilaian terhadap mereka sebagai orang-orang mukmin itu pada bagaimana mereka menerima aturan ini dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sejak ia diturunkan dan mereka mengetahuinya. Selain itu, nash membangkitkan rasa takwa kepada Allah di hari mereka. Itulah rasa yang menjadi patokan Islam dalam menerapkan syari’at-syari’atnya dan dijadikannya garansi yang ada dalam hati, selain garansi-garansi yang dijamin oleh undang-undang itu sendiri. Sehingga ia memiliki jaminan impelentasi yang tidak dimiliki hukum positif yang tidak bersandar kepada pada kontrol eksternal! Betapa mudah mengakali kontrol eksternal manakala dalam hati tidak ada penjaga yang efektif, yaitu rasa takwa kepada Allah.
Setelah berbicara tentang motivasi, maka kali ini nash memaparkan ancaman:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu..”
Rasulullah saw pernah memerintahkan agen beliau di Makkah—sesudah ayat ini turun—untuk memerangi keluarga Mughirah apabila mereka tidak menghentikan praktik riba. Rasulullah saw dalam khutbahnya pada Fathu Makkah juga memerintahkan untuk menghapus setiap riba di masa jahiliyyah—terutama riba paman beliau, ‘Abbas—bagi para penghutang yang terus menanggungnya hingga masa jangka waktu yang lama sesudah Islam, sehingga masyarakat muslim menjadi matang, fondasi-fondasinya menjadi kokoh dan tiba waktunya bagi peralihan sistem ekonominnya dari sistem riba. Di dalam khutbah ini Rasulullah saw bersabda, “Setiap riba di zaman jahiliyyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini dan riba pertama yang kuletakkan adalah riba ‘Abbas..” Beliau tidak menyuruh mengembalikan kelebihan yang telah mereka ambil di masa jahiliyyah.
Jadi, ketika masyarakat Islami telah berdiri, maka imam berkewajiban memerangi orang-orang yang bersikeras menjalankan sistem riba dan membangkang perintah Allah kendati mereka menyatakan sebagai muslim. Sebagaimana Abu Bakar ra memerangi pembangkang zakat, meskipun mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah serta mendirikan shalat. Karena orang yang menolak taat kepada syari’at Allah dan tidak menerapkannya dalam realitas kehidupan itu tidak dianggap sebagai muslim!
Nah, pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya itu lebih luas daripada pertempuran dengan senjata dari imam. Karena perang ini dinyatakan terhadap setiap masyarakat yang menjadikan riba sebagai fondasi sistem ekonomi dan sosialnya. Perang ini dinyatakan dalam bentuknya yang luas. Perang tersebut bisa ditujukan kepada syaraf dan hati, atau kepada keberkahan hidup dan kesejahteraan, atau kepada kebahagiaan dan ketentraman. Ia juga bisa berupa perang dimana Allah memberi kekuasaan kepada sebagian orang yang menentang sistem dan manhaj-Nya untuk mengalahkan sebagian yang lain. Ia juga bisa berupa perang pengusiran dan pertikaian, perang penipuan dan kezhaliman, perang kecemasan dan ketakutan.
Dan yang terakhir adalah perang senjata di antara berbagai bangsa, angkatan perang dan negara. Perang dahsyat yang terjadi akibat berlakunya sistem riba yang memuakkan. Para lintah darat pemilik modal internasional itulah yang menyalakn perang-perang tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka memasang jerat sehingga terjadi perang! Dan yang paling mudah terjadi adalah hancurnya jiwa, runtuhnya moral, terumbarnya syahwat dan rusaknya entitas manusia dari dasarnya hingga intensitas yang tidak bisa dicapai sekalipun oleh perang bom atom yang menakutkan!
Allah telah menyatakan perang terhadap orang-orang yang berinteraksi dengan riba dan perang tersebut tengah berkecamuk saat ini; memangsa apa saja dalam kehidupan manusia yang sesat; saat mereka lupa dan mengira bahwa mereka mengalami kemajuan setiap kali melihat tumpukan-tumpukan produk material yang dikeluarkan pabril..Produk-produk tersebut selayaknya membahagiakan manusia seandainya produk-produk tersebut bersumber dari sumber yang bersih. Tetapi, ia keluar dari sumber riba yang kotor—tak ubahnya seperti debu yang menyesakkan nafas manusia; sementara di atasnya berdiri sekelompok kecil lintah darat internasional yang tidak merasakan penderitaan manusia yang sengsara di atas tumpukan barang yang terkutuk ini!
Islam mengajak jama’ah muslim pertama dan senantiasa mengajak seluruh umat manusia kepada aturan yang suci dan bersih, serta bertaubat dari dosa, kesalahan dan manhaj yang terinfeksi:
“Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Itulah taubat dari kesalahan jahiliyyah yang tidak hanya terkait pada satu zaman dan satu sistem saja, melainkan penyimpangan dari syari’at dan manhaj Allah, kapan pun dan bagaimanapun itu terjadi. Sebuah kesalahan yang menimbulkan dampak-dampaknya pada psikologi individu, moral dan persepsi mereka terhadap kehidupan. Ia menimbulkan dampak-dampaknya pada kehidupan jama dan hubungan sosialnya. Ia menimbulkan dampak-dampaknya pada kehidupan seluruh manusia dan perkembangan ekonomi mereka itu sendiri, seandainya orang-orang yang teperdaya itu termakan propaganda para lintah darat bahwa sistem riba merupakan fondasi yang tepat bagi pertumbuhan ekonomi!
Pengembalian modal tanpa ada selisih merupakan keadilan dimana kreditur dan debitur tidak dirugikan. Sedangkan untuk mengembangkan kekayaan itu ada cara-cara lain yang bersih. Bisa berupa kerja individual, atau perseroan dengan akad mudharabah, yaitu seseorang memberikan modalnya kepada orang yang mengelolanya dengan keuntungan atau kerugian ditanggungbersama. Juga bisa melalui korporat yang menjual sahamnya secara langsung di pasar modal—tanpa ada bill of the establishment yang menguasai mayoritas keuntungan—dan memperoleh keuntungan yang halal dari cara tersebut.
Bisa juga dengan menyimpannya di bank—tanpa bunga—dengan ketentuan pihak bank menyalurkannya ke perusahaan, industri dan perdagangan, baik secara langsung atau tidak langsung, dimana nasab memperoleh bagian keuntungan dengan sistem tertentu atau justeru kerugian..
Pihak bank juga bisa menegenakan biaya tertentu sebagai kompensasinya terhadap pengelolalan modal tersebut. Dan masih banyak lagi cara yang bukan di sini tempat untuk merincinya..Semua itu mungkin dilakukan dan mudah manakala hati telah beriman dan niat di dalamnya telah lurus untuk memperoleh penghasilan yang bersih dan menjauhi sumber yang kotor!

SISTEM EKONOMI ISLAM

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (262) قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ (263) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264) وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (265) أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (268) يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269) وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (270) إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (271) لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ (272) لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (273) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (274)
Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (261)
Orang-orang yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang diinfak-kannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(262)
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima) . Allah Maha kaya lagi maha Penyantun.(263)
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menginfak-kan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah) . Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir . (264)
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai) . Dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.(265)
Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (266)
Hai orang-orang yang beriman, infak-kanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(267)
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia . Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(268)
Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) .(269)
Apa saja yang kamu infak-kan atau apa saja yang kamu nazarkan , maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.(270)
Jika kamu menampakkan sedekah (mu) , maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(271)
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu infak-kan (di jalan Allah) . Maka pahala-nya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu infak-kan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidka akan dianiaya (dirugikan).(272)
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifa-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu infak-kan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha Mengetahui.(273)
Orang-orang yang menginfak-kan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi da terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(274) (QS. Al-Baqarah : 261 – 274)
Tiga pelajaran yang lalu dalam Juz ini, secara global seputar pembentukan sebagian kaedah konsepsi keimanan, menjelaskan konsep tersebut dan internalisasi akar-akaranya dalam berbagai lapangan. Ini adalah landasan garis besar surah (Al-Baqarah) yang panjang ini yang mentreatment – seperti yang telah kami jelasakan – persiapan Jama’ah Muslimah untuk bangkit dengan berbagai beban dalam menjalankan perannya dalam kepemimpinan manusia.
Mulai sekarang sampai akahir Surah ini, konteksnya terkait dengan mendirikan kaedah-kaedah sistem ekonomi kemasyarakatan yang mana Islam menginginkan masyarakat Muslim menerapkannya. Dengan sistem itu pula manajemen kehidupan Jama’ah Muslimah diatur.
Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem takaful (gotongroyong) dan ta’awun (kerjasama), yang direprentasikan oleh sistem Zakat yang diwajibkan dan sistem Sedekah (Infak) yang disunnahkan. Bukan sistem Ribawi (interest system) yang berkembang dalam masyarakat jahiliyah. Sebab itu, membicarakan adab-adab (akhlak) bersedekah, melaknat (mengecam) sistem Ribawi dan menetapkan hukum-hukum hutang piutang dan perdagangan pada pelajaran-pelajaran berikutnya dalam Surah ini merupakan hal yang sangat relevant.
Semua itu merupakan salah atu aspek mendasar dari sistem ekonomi Islam dan kehidupan sosial yang berdiri di atasnya. Antara tiga pelajaran yang akan datang memiliki hubungan yang kuat dan memiliki tema yang sama, kendati memiliki berbagai cabang pembahasan.... Itulah tema sistem ekonomi Islam.
Dalam pelajaran kali ini kita akan menemukan pembicaraan mengenai beban pengorbanan infak, aturan main sedekah dan takaful. Berinfak di jalan Allah merupakan saudara kandung Jihad yang diwajibkan Allah atas umat Islam. Allah jadikan Jihad sebagai sarana kebangkitan umat Islam agar dapat mengemban amanah dakwah kepada-Nya dan sekaligus menjadi sitem pertahanan kaum Mislimin; pertahanan atas kejahatan, kerusakan dan tindakan berlebihan (musuh Islam) serta pelucutan kekuatan mereka yang digunakan untuk menyerang kaum Muslimin, melakukan kerusakan di muka bumi, menghambat manusia dari jalan Allah, melarang manusia dari memperoleh kebaikan yang agung yang dibawa oleh sistem Islam. Menghambat manusia dari kebaiakan yang agung tersebut merupakan tindakan kriminalitas yang dahsyat dan tindakan kejahatan yang melebihi atas kejahatan terhadap jiwa dan harta.
Sesungguhnya anjuran berinfak dalam surah ini dilakukan berulang-ulang. Sekarang, konteks ayat-ayatanya merumuskan aturan main Sedekah secara rinci dan panjang. Aturan main tersebut melukiskan sbeuah naungan cinta dan kasih sayang sambil menjelaskan adab-adab psikologis dan sosiologisnya. Adab-adab yang mampu merubah Sedakah menjadi aktivitas edukatif kejiwaan/psikis para pelakunya. Pada waktu yang sama menjadi sangat bermanfaat dan menguntungkan bagi para penerimanya. Demikian juga, aktivitas Sedekah mampu merubah masyarakat menjadi satu keluarga yang diliputi spirit ta’awun, takaful, cinta dan kasih sayang, serta mengangkat kemanusiaan ke tingkat yang mulia, baik sipemberi maupun sipenerimanya.
Kendati arahan-arahan yang terdapat dalam pelajaran kali ini merupakan aturan main (Undang-Undang Dasar) yang berlaku tetap, tanpa terikat waktu dan tempat dan tidak pula terpengaruh oleh situasi-siatuasi tertentu, namun demikian perlu kita isyaratkan background (latar belakangya) bahwa aturan main tersebut datang sebagai jawaban atas kondisi ril yang dihadapi oleh Jama’ah Muslimah saat itu.
Situasi ril seperti itu bisa saja dihadapi oleh masyarakat Muslim setelah itu. Sebuah fakta bahwa dahulu terdapat jiwa-jiwa yang kikir lagi pelit terkait harta yang membutuhkan tekanan yang kuat dan inspirasi yang mempengaruhinya dengan kuat. Demikian pula halnya memerlukan perumpamaan dan visualisasi fakta-fakta yang berbicara agar sampai ke dalam lubuk hati.
Saat itu, ada orang-orang yang sangat pelit terkait harta sehingga mereka tidak mau memberikannya kepada yang membutuhkannya kecuali hasil riba (interest/bunga). Ada pula yang berinfak merasa terpaksa atau riya (ingin mendapat pujian manusia). Dan ada lagi yang berinfak sambil mencerca yang menerimanya dan ada pula yang menginfakkan harta yang rusak (buruk) dan menyimpan yang baik-baik.
Semua golongan tersebut, terdapat mereka yang ikhlas berinfak di jalan Allah; mereka yang sangat dermawan melalui kebaikan harta yang mereka miliki, mereka menginfakkannya secara rahasia di tempat yang harus dirahsiakan dan secara terang-terangan di tempat yang perlu terus terang dengan semangat totalitas, ikhlas dan bersih.

Baik kelompok pertama maupun yag terakhir, semua mereka berada dalam Jamaah Muslimah saat itu. Memahami fakta tersebut akan sangat banyak manfaatnya bagi kita.
Manfaat pertama, memahami karakter Al-Qur’an ini dan fungsinya. Sebab itu, Al-Qur’an itu sesuatu yang hidup dan bergerak. Kita menyaksikannya bekeraja dalam naungan realitas ini, bergerak di tengah-tengah Jamah Muslimah, mengarahkan kondisi-kondisi dan realitas-realitas. Sebab itu, kita melihat Al-Qur’an menolak yang yang ini dan menetapkan yang itu, mendorong Jamaah Muslimah dan mengarahkannya. Al-Qur’an bekerja terus menrus dan bergerak terus dalam lapangan percaturan dan dalam lapangan kehidupan. Al-Qur’an benar-benar usnsur pendorong, penggerak dan mengarah di lapangan percaturan dan kehidupan tersebut.
Kita sangat membutuhkan merasakan Al-Qur’an seperti ini. Melihatnya sebagai seuatu yang hidup, bergerak dan mendorong. Sungguh jauh jarak antara kita dengan Gerakan Islam, kehidupan Islami dan realitas Islami tersebut. Di dalam perasaan kita, Al-Qur’an telah terpisah dari fakta sejarah yang hidup. Realitas kehidupan yang pernah terjadi di suatu masa dalam sejarah Jama’ah Muslimah pertama tersebut tak kunjung hadir dalam persaaan kita. Kita sudah tidak ingat lagi di tengah percaturan yang terus menerus – masalah harian – yang dihadapi seorang prajurut Muslim dia menerima taujuh (arahan) Al-Qur’an untuk diamalkan dan dilaksanakan.
Al-Qur’an telah mati dalam perasaan kita... atau peraan kita tidur lelap... Gambaran kongkrit dalam persaan kaum Muslim saat ia turun tak kunjung kemabali ke dalam perasaan kita. Tingkatan kita dalam menrimanya hanya sebatas bacaan yang dilagu-lagukan atau hati kita terpengaruh secara kabur dan tidak jelas. Atau kita baca sebagai wirid (kebiasaan). Puncak yang mampu dicapai oleh orang-orang Mukmin Shadiqin di kalangan kita ialah sekedar melahirkan kondisi ketenangan atau kepuasan jiwa yang kabur.
Memang, Al-Qur’an mampu melahirkan semua itu. Akan tetapi, yang dituntut dari kita – di samping itu semua – bagaimana ia dapat melahirkan kesadaran dan kehidupan dalam diri seorang Muslim. Ya, yang dituntut ialah melahirkan kondisi sadar yang bergerak bersama Al-Qur’an, sebuah gerakan khidupaan yang merupakan tujuan utama Al-Qur’an dihadirkan.
Yang dituntut ialah bahwa seorang Muslim memperhatikan Al-Qur’an dalam mendan pertempuran yang diharunginya dan senetiasa siap mengharunginya dalam kehidupan umat Islam. Yang dituntuntut ialah seorang Muslim datang kepada Al-Qur’an untuk mengdengarkan apa yang sepantasnya ia lakukan – sebagaimana generasi Muslim pertama dulu lakukan – dan agar mengetahui hakikat arahan-arahan Al-Qur’an terkait situasi dan lingkungannya saat ini berupa peristiwa-peristiwa, problem dan permsalahan-permasalahan pelik lainnya dalam kehidupan. Hendaknya seorang Muslim melihat sejarah Jamaah Muslimah pertama yang terepresentasikan dalam Al-Qur’an ini di mana Al-Qur’an itu bergerak dalam kata-kata dan arahan-arahannya sehingga dia merasakan bahwa sejarah tersebut bukanlah asing baginya.
Sejarah generasi Islam pertama itu adalah sejarahnya. Realitas yang dihadapinya hari ini hanya perpanjangan dari sejarah masa lampau. Peristiwa-peristiwa yang dihadapinya saat ini merupakan buah dari apa yang dihadapi para pendahulunya. Al-Qur’an telah memberikan taujih (arahan) pada mereka untuk bertindak dengan tindakan tertentu. Sebab itu, ia akan merasa bahwa Al-Qur’an ini juga Al-Qur’annya. Al-Qur’annya yang dia jadikan konsultan bagi setiap peristiwa dan persolan-persoalan pelik yang dihadapinya. Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah undang-undang dasarnya, konsepnya, pemikirannya, kehidupannya dan pergerakannya sekarang dan setelah sekarang tanpa terputus.
Manfaat kedua, melihat hakikat karakter masnusia yang tetap menolak dakwah kepada Iman dan beban-bebanya. Pandangan yang realistik melalui realitas yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan Jamah Muslimah pertama. Jamaah ini yang Al-Qur’an diturunkan atasnya dan yang dibina langsung oleh Rasul Saw, tetap memiliki titik-tik kelemahan dan kekurangan yang mengharuskan pemeliharaan, arahan dan inspirasi yang terus menerus. Masalah ini tidak menghambat mereka untuk menjadi generasi terbaik sepanjang masa.
Memahami hakikat ini amat bermanfaat bagi kita. Bermanfaat bagi kita karena Al-Qur’an telah memperlihatkan pada kita hakikat Jamaah manusia yang tidak ghuluw (berlebihan), kagetan dan tidak pula memilki konsep-kosep bersayap. Bermanfaat bagi kita, karena mampu membuang rasa putus asa dari dalam diri kita saat kita melihat bahwa kita belum sampai pada ufuk (ketinggian) yang dilukiskan Islam di mana Islam mengajak manusia untuk samapai pada ketinggian tersebut. Cukup bagi kaita bahwa kita sedang menuju ke sana. Usaha-usaha kita kea rah sana sepantasnya secara kontinu dan ikhlas.
Manfaat bagi kita untuk memahami hakikat lain… Yakni, dakwah menuju kesempurnaan tersebut harus sampai kepada masnusia. Tidak boleh terputus dan tidak boleh putus asa saat melihat sebagian kelemahan dan cacat. Jiwa memang demikian… Ia akan naik sedikit demi sedikit dengan mengikuti seruan kewajiban, ajakan kepada kemualian yang dicita-citakan, mengingatkan selalu akan kebaikan, membuat kebaikan menjadi indah dan keburukan menjadi hal yang menjijikkan, menjaukan dari kekurangan dan kelemahan dan menggandeng selalu dengan kekuatan saat terjatuh di jalan dan saat menyebabkan perjalanan itu menjadi panjang.
Manfaat yang ketiga, ketenangan akan hakikat yang sederhana yang seringkali kita lupakan. Yakni, bahwa manusia adalah manusia. Dakwah adalah dakwah. Pertempuran adalah pertempuran. Pertama-tama dan sebelum segala sesuatunya dalah pertempuran dengan kelemahan, kekurangan, kekikiran, rakus yang ada dalam diri. Kemudia baru pertempuran dengan kejahatan, kebatilan, kesesatan dan tindakan melampaaui batas dalam realitas kehidupan. Pertempuran dengan kedua sisnya haruslah ditempuh. Semua aktivis Jamaah Muslimah di atas muka bumi ini harus menghadapi kedua bentuk pertempuran tersebut, sebagaiman yang dihadapi Al-Qur’an dan Rasul Saw pertama kali. Kesalahan dan ketergelinciran pasti terjadi. Kelemahan dan kekurangan dalam berbagai marhalah perjalanan pasti muncul. Namun, yang sangat diperlukan ialah perawatan yang terus-menerus terhadap kelemhan dan kekurangan yang muncul selama dalam perjalanan yang dilahirkan peristiwa-peristiwa dan percobaan-percobaan. Sebab itu, hati harus diarahkan kepada Allah dengan metode-metode yang diterapkan Al-Qur’an dalam mentaujih (mengarahkan).
Di sisni, kita kembali kepada pembicaraan pertama. Kita kembali kepada konsultasi Al-Qur’an dalam pergerekan kehidupan kita dan persoalan-persolan peliknya. Kembali kita melihatanya bekerja dan bergerak dalam perasaan kita dan dalam kehidupan kita sebagaiman Al-Qur’an itu bekerja dan dan bergerak dalam kehidupan Jamaah Islam pertama.
Sekarang kita telaah nash (teks) Al-Qur’an secara rinci dalam pelajaran ini :
Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (261)
Sesungguhnya undang-undang (peraturan) ini tidak dimulai dengan kewajiban (Fardhu) dan beban (taklif). Akan tetapi dimulai dengan motivasi dan menyatukan hati. Dengan demikian dapat membangkitkan semangat dan persaaan yang hidup dalam segenap diri masnusia. Sesungguhnya ia juga dapat menampilkan gambaran kehidupan yang bergerak, berkembang dan memberi. Itulah gambaran pohon (tumbuhan. Sebuah pemberian bumi yang bersal dari Allah. Pohon yang memberi berlipat ganda dari apa yang dia ambil. Dia memberikan nilai yang termahal dari dirinya dengan berlipatganda jika dibanding dengan nilai bibit/benihnya.
Gambaran yang menginspirasikan ini memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai terdapat seratus biji.
Sesungguhnya makna yang dapat ditangkap akal dari ungkapan tersebut berakhir pada aktivitas berhitung secara matematis yang satu biji berlipat ganda menjadi 700 biji. Adapun pemandangan yang hidup yang ditampilkan ungkapan tersebut jauh lebih luas dan lebih indah serta lebih membangkitkan perasaan dan lebih berpengaruh pada hati. Itulah pemandangan yang hidup dan berkembang. Pemandangan alami yang hidup. Sebuah pemandangan tanaman yang menghasilkan. Kemudian pemandangan yang ajaib dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Sepohon kayu yang memiliki tujuh cabang dan setiap cabang memiliki buah 100 biji.
Dalam kafilah kehidupan yang berkembang dan memberi, mampu mengarahkan hati manusia untuk mencurahkan dan memberikan apa yang dia miliki. Pada hakikatnya tidak memberi, tapi menerima dan tidak berkurang, tapi bertambah. Gelombang memberi dan tumbuh itu melaju dalam perjalanannya. Gelombang itu mampu melipatgandakan perasaan yang dibangkitkan oleh pemandangan pohon/tanaman dan hasilnya. Sesungguhnya Allah melipatgandakan bagi orang yng dikehendakinya. Dia melipatgandakan tampa hitungan dan perkiraan. Dia melipatgandakan orang yang diberi-Nya rezki yang siapapun tidak dapat mengetahui batasnya.
Di antara kasih sayang-Nya yang dicurahkan, seseorang tidak akan mengetahui keluasannya. { والله واسع عليم } : Kata ‘wasi’ : tidak akan pernah sempit pemberiannya, tidak terbatas dan tidak habis. Kata ‘’Alim’ : Mengetahui bibit/benih dan mengokohkannya dan tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya.
Akan tetapi, infak yang mana yang tumbuh dan berkembang itu? Pemberian yang mana yang dilipatgandakan Allah di dunia dan Akhirat bagi orang yang dikehendaki-Nya itu? Itulah infak yang mampu menghormati perasaan kemanusiaan dan tidak mengotorinya. Infak yang tidak menyakiti kemuliaan dan tidak melukai perasaan. Infak yang lahir dari kesenangan dan kebersihan jiwa dan berorientasi hanya kepada Allah seraya mencari ridha-Nya.
Orang-orang yang menginfak-kan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang diinfak-kannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(262)
Cercaan (menyebut-nyebut pemberian) itu unsur kebencian tercela dan perasaan redahan. Jiwa manusia pada dasarnya tidak menyebut-nyebut apa yang dia berikan kecuali ada keingingan merasa lebih tinggi dan kebohongan, atau keinginan untuk meremehkan yang menerimanya, atau keinginan untuk memancing perhatian orang lain. Saat itu, orientasinya bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada manusia.
Semua prilaku itu itidak akan bersemi dalam diri yang baik dan tidak akan terlintas dalam hati seorang Mukmin. Karena menyebut-nyebut itu menggantikan sedekah menajadi rasa sakit bagi yang menerima dan yang memberi. Rasa sakit bagi sipemberi karena membangkitlkan dalam dirinya rsa sombong dan ketinggian dengan keinginan melihat saudaranya rendah dan bertekuk lutut padanya. Sebagaimana juga akan memenuhi hatinya dengan nifaq (ambivalence), riyak dan jauh dari Allah. Sakit bagi yang menerima karena menimbulkan ras rendah diri dan kekalahan dalam dirinya yang berakibat lahirnya rasa iri hati dan balas dendam….
Islam sama sekali tidak menginginkan infak itu hanya sekedar menutupi kekosongan, mengisi perut dan sekedar memenuhi kebutuhan. Bukan itu…. Sesungguhnya yang diinginkan Islam (dari sistem ekonomi ini), adalah edukasi, penyucian dan pembersihan jiwa yang memberi, melahirkan perasaan kemanusiaan, hubungan persaudaraan dengan saudaranya yang miskin seagama dan sesame manusia, dan peringatan baginya akan nikmat Allah serta janjinya dengan Allah tentang nikmat itu bahwa dia akan memakannya tanpa berlebihan dan tanpa menghambur-hamburkannya serta untuk diinfakkan di jalan Allah, tanpa harus kikir dan tidak pula melakukan cercaan.
Demikian pula, Islam menginginkan kerelaan dan ketenagan bagi jiwa sipenerima, penguat hubungan dengan saudaranya seagama dan sesama msnusia, sebagai penutup bagi ketimpangan Jamaah (kumunitas) suapay tegak di atas dasar takaful (saling menopang) dan ta’awun (saling menolong) yang mengingatkannya akan kesatuan bangunan, kesatuan hidup, kesatuan orientasi dan kesatuan beban. Sedang cercaan itu akan menghapus semua makna tersebut dan akan menempatkan infak itu menjadi racun dan api. Dia merupakan kesakitan kendati tidak diiringi dengan kesakitan lain dari tangan dan lidah. Dia adalah kesakitan itu sendiri yang akan menghapuskan nilai infak, mencabik-cabik masyarakat dan memancing lahirnya rasa kebencian dan hasad.
Sebagian peneliti kejiawaan saat ini menetapkan bahwa impact alami dalam jiwa manusia bagi suatu kebaikan (yang dia terima dari orang lain) pada suatu hari akan menjadi permusuhan. Mereka berdalih bahwa sipenerima merasakan kekurangan dan kelemahan di hadapa sipemberi. Perasaan ini akan selalu bergelora dalam dirinya. Sebab itu, ia akan mencoba mengatasinya dengan menyerang yang memberinya dan menyembunyikan permusuhan. Karena dia selalu merasa lemah dan keurang di hadapan sipemberi tadi. Demikian juga sipemberi selalu mersakan bahwa dialah yang berjasa atas orang yang diberinya itu. Inilah perasaan yang menambah rasa sakit bagi sipenerima sehingga berubah menjadi permusuhan.
Teori tersebut bisa saja benar dalam masyarakat jahiliyah, di mana masyarakat yang tidak diliputi oleh spirit Islam dan tidak berhukum pada Islam. Adapun agama ini (Islam) telah mengobati masalah tersebut dengan cara lain. Islam mengobatainya dalam jiwa manusia dengan sebuah ketetapan bahwa harta itu adalah milik Allah. Rezki yang ada di tangan mereka adalah rezki dari Allah. Ini adalah hakikat yang tidak dibantah kecuali oleh orang yang bodoh terhadap sebab-sebab rezki yang jauh maupun yang dekat. Semuanya pemberian Allah di mana manusia tidak kuasa sedikitpun atasnya. Satu biji gandum telah tertlibat dalam pengadaannya berbagai kekuatan dan energy alam dari matahari sampai bumi, air dan udara. Semua itu tidak berada dalam kemampuan manusia. Coba kiaskan satu biji gandung dengan titik air, serabutnya, dan segala sesuatu yang ada.
Bila sipemberi itu sesuatu dari hartanya, maka sesungguhnya dian memberikan harta Allah yang diangrakan padanya. Bila meminjamkan sejumlah hartanya, berarti ia memberikan pinjaman pada Allah yang akan dilipatgandakan baginya. Tidalah orang yang belum beruntung itu kecuali alat dan sebab bagi yang memberi untuk meraih pemeberiaan harta Allah berlipatganda. Kemudian, Al-Qur’an masuk menejelaskan adab (tata cara infak) yang sedang kita bahas sekarang, sebagai penguat bagi pengertian ini dalam jiwa sehingga sipemberi tidak merasa tinggi dan tidak menghinakan yang menerima. Setiap dari keduanya sama-sama makan dari rezki Allah. Bagi para pemeberi akan mendapat ganjaran dari Allah jika mereka memberi dari harta Alllah dan di jalan Allah seraya berpegang teguh pada adab yang telah digariskan-Nya pada mereka dan terikat denga janji yang dijanjiakan Allah pada merka :
{ ولا خوف عليهم } Mereka tidak takut dari kefakiran, dengki dan tipu daya dan tik pula mereka bersedih { ولا هم يحزنون } . atas apa yang mereka infakkan di dunia dan tidak pula sedih menghadapi tempat kembali mereka di akhirat nanti.
Sebagai penguat dari makna yang sudah dijelaskan yakni hikmah berinfak dan mencurahakan semua kemampuan, tujuan infak adalah edukasi diri dan memenej hati dan mengikatkan sipemberi dan sipenerima pada ikatan cinta karena Allah, Allah berfirman pada ayat berikutnya :
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima) . Allah Maha kaya lagi maha Penyantun.(263)
Allah menetapkan bahwa sedekah yang diikuti dengan memberikan rasa sakit pada yang menerima dan kemudaratan baginya, maka kata-kata yang baik dan perasaan kasih sayang lebih baik dari infak yang disertai dengan cercaan. Ucapan yang baik bisa membalut luka hati dan memenuhinya dengan rasa puas (ridha) dan muka yang berseri-seri. Ia juag bagaikan pemaafan yang akan menyucikan kendengkian-kedengkian dalam jiwa dan menggantikannya dengan rasa persaudaraan dan persahabatan. Kata-kata yang baik dan pemaafan dalam kondisi seperti ini akan menunaikan fungsi utamanya bagi sedekah, yakni edukasi jiwa dan menyatukan hati.
Karena sedekah itu bukan dikarenakan kelebihan harta dari yang memberi kepada yang menerima. Akan tetapi pinjaman untuk Allah, maka Allah mengiringinya dengan : { والله غني حليم } Dan Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. Tidak butuh sedekah yang menyakitkan. Maha Penyantun, yakni selalu memberi hamba-hamba-Nya rezki kendati mereka tidak mensyukurinya. Namun demikian, Allah tidak menyegerakan iqob (siksaan) dan menyakiti mereka. Dia memberikan kepada mereka segala sesuatu. Memberikan keberadaan mereka (did unida ini) sebelum memberikan sesuatu apapun. Hendaklah hamba-hamba-Nya belajar dari Maha Penyantunnya Dia – Maha Suci Dia -. Sebab itu Dia tidak serta merta menyegerakan azab atau kemarahan terhadap orang-orang yang memebrikan sebagian apa yang diberikan-Nya kepada mereka (fakir miskin) dengan cara yang tidak mengenakkan atau tidak mensyukurinya.
Al-Qur’an ini masih tetap mengingatkan manusia kepada sifat Allah Subhanahu Wata’ala agar mereka bisa meniru sifat tersebut secara maksimal. Dan sifat seorang Muslim hendaklah selalu menatap sifat Tuhan Pencipta-Nya. Menuju ketinggian dengan sifat itu sehingga meraih apa yang sudah ditetapkan baginya sesuai kemampuan dasarnya.
Setelah pengaruh hati mencapai tujuannya, setelah menampilkan visualisasi kehidupan yang berkembang dan memberikan sebagain perumpamaan bagi orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, dengan tidak diiringi oleh cercaan dan tidak pula oleh cacian dan setelah menjelaskan bahwa Allah itu tidak membutuhkan sedekah seperti itu karena Dia adalah Maha Pemberi rezki serta tidak pula terburu-buru dalam kemarahan, maka Allah mengarahkan pembicaraan-Nya kepada orang-orang beriman agar tidak membatalkan sedekah mereka dengan cercaaan dan cacian. Setelah itu, Dia menghadirkan sebuah pemandangan yang menakjubkan, atau dua pemandangan yang menakjubkan yang singkron dengan pemandangan pertama yakni, pemandangan “tanaman” dan “pertumbuhan”. Kedua pemandangan tersebut menggambarkan karakter infak yang ikhlas hanya karena Allah dan infak yang dikotori oleh cercaan dan cacian, berdasarkan konsepsi seni (sastra) dalam Al-Qur’an di mana sebuah makna menampilkan suatu gambaran, pengaruh melahirkan gerakan dan situasi yang dapat disaksikan berwujud bagi khayalan :
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menginfak-kan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah) . Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir . (264) Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai) . Dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.(265)
Ini adalah pemandangan (visualisasi) pertama. Sebuah pemandangan yang sempurna yang berpaut dari dua sisi pemandangan yang terbalik, baik bentuk, kondisi mapun buah (hasil)nya. Bagi setiap pemandangan terdapat sisi-sisi parsialnya yang saling singkron atara satu dengan yang lainnya, dari sisi seni melukiskan dan menampilkannya. Gambaran tersebut juga sesuai dengan apa saja yang menyerupainya berupa perasaan dan makna yang melukiskan objek pemandangan secara keseluruhan untuk dicantohkan, diwujudkan dan dihidupkan… “ Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riyak (dilihat orang) dan tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir”…
Orang seperti itu tidak merasakan seruan keimanan dan keceriaannya. Akan tetapi dia balut hatinya dengan balutan riyak. Hati yang licin yang dibalut riyak itu digambarkan dengan sebuah batu yang tidak subur dan tiak pula lunak dan dibalut debu yang menutupinya dari penglihatan. Sebagaimana juga riyak menutupi hati yang kosong dari keimanan. “Lalu ditimpa hujan lebat, maka jadialah ia bersih”. Hujan lebat itu menghapus tanah yang sedikit tadi. Maka batu itu muncul dengan kegersangan dan kekerasannya yang tidak dapat menumbuhkan tanaman dan menghasilkan buah. Demiakian juga dengan hati yang mengiringi infaq dengan riyak kepada manusia, maka (infak itu) tidak akan membuahkan dan tidak akan mendapatkan ganjaran.
Adapun pemandangan kedua yang berlawanan dalam visualisasi ini, yakni hati yang dipenuhi keimanan, berseri-seri yang berinfak “hanya mencari ridha Allah”… Ia infakkan dengan penuh kepercayaan yang kuat dalam kebaikan yang muncul dari keimanan yang terhunjam dalam lubuk hati saniubari… Jika hati yang keras yang ditutupi riyak diumpamakan dengan batu keras nan licin yang ditutupi oleh sedikit tanah, maka hati orang Mukmin diumpamakan bagaikan taman. Taman yang subur dan memiliki kedalaman tanah yang berlawanan dengan tanah tipis yang membalut batu tadi…
Taman yang beridiri di atas tanah yang subur yang berlawanan dengan batu yang dibalut dengan tanah yang sedikit. Yang demikian itu agar pemandangan sesuai dalam bentuknya… Ketika hujan lebat datang, maka tanah yang subur itu tidak akan terbawa hujan lebat tersebut sebagaimana ia menghapus tanah yang membalut batu licin itu. Bahkan hujal lebat tersebut akan menambah kehidupan dan kesuburan tanah itu dan membuatnya jadi berkembang. “ Maka tanah subur itu disirami hujan lebat dan memberikan buahnya dua kali lipat”.
Hujan lebat itu telah menghidupkannya sebagaimana sedekah menghidupkan hati orang Mukmin, maka hatinyapun bersih dan meningkat hubungannya dengan Allah. Pada waktu yang sama, hartanya juga menjadi bersih dan dilipatgandakan Allah. Demikian pula kehidupan Jamaah Muslimah akan bersih, baik dan berkembang dengan berinfak…Kendati tanah subur itu tidak disirami hujan lebat, gerimispun sudah cukup baginya.
Sesungguhnya itu adalah visualisasi yang sempurna pada dua hal yang saling bertentangan. Memiliki parsial-parsial yang singkron yang ditampilakn dengan cara mukjizat kesesuaian dan pelaksanaan. Menggambarkan dengan pemandangn-pemandangan yang berbentuk bagi setiap lintasan hati. Menggambarkan perasaan-perasaan dan bahasa-bahasa hati yang berhadap-hadapan dengan kondisi-kondisi dan hal-hal yang dapat diindera sehingga memebrikan inspirasi bagi hati untuk memilih jalan dengan mudah dan mengagumkan..
Saat mana visualisasi itu merupakan bagian yang dapat dilihat mata kepala dan mata hati dari sisi lain, dan pakem segala sesuatunya adalah penglihatan Allah (Allah melihat apa saja yang tersembunyi di dalam hati manusia) dan mengenal-Nya melalui (makhluk-Nya) yang zahir, maka datanglah komentar berikutnya sebagai sentuhan bagi hati “ Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”…
Adapun pemandangan yang kedua ialah perumpamaan kesudahan cercaan dan infak yang diiringi dengan hal yang menyakitkan. Bagaimana cercaan dan hal yang menyakitkan itu dapat menghapus pengaruh-pengaruh infak pada saat yang berinfak itu tidak memiliki kekuatan dan tidak dapat bantuan serta tidak kuasa menolaknya sebagai perumpamaan bagi akhir yang buruk dalam sebuah gambaran yang sangat hidup. Semua yang ada adalah angin kencang yang datang setelah kondisi aman dan kesenagan. “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”.
Sedekah (innfak) itu pada dasarnya dan pengaruhnya digambarkan ke dalam hal-hal yang dapat diindera yakni “kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan”. Kebun itu sangat rimbun, subur dan banyak buahnya. Demikian pula dalam karakter sedekah (infak) dan pengaruhnya. Demikina pula halnya dalam kehidupan. Yang memberi, yang menerima dan dalam kehidupan komunitas manusia memiliki spirit, naungan, kebaikan, keberkahan, gizi yang mengenyangkan, kebersihan dan pertumbuhan.
Siapakah gerangan orang yang ingin memiliki kebun itu - atau kebaikan itu - kemudian dia kirimkan cercaan dan hal-hal yang menyakitkan yang akan menghapus segala kebaikannya bagaikan kebun yang dihanguskan angin kencang yang di dalamnya ada api? Kapan? Pada saat ia lemah untuk menyelamatkannya dan saat membutuhkan naungan dan buahnya.” kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil”. Siapakah gerangan orang yang menginginkan hal seperti ini? Siapakah gerangan orang yang memikirkan nasib seperti itu kemudian dia tidak berupaya menghindarinya? “Demikian itu Allah jelaskan bagi kamu tanda-tanda (kebesarna-Nya) agar kamu memikirkannya”.
Demikianlah pemandangan hidup yang memiliki karakter di mana pada awalnya keridhaan, kemakmuran, kesenangan, keceriaan, spirit dan dan keindahan. Kemudian datang angin kencang yang di dalamnya api. Pemandangan yang amat ajaib ini mampu memberikan sentuhan perasaan yang amat menakutkan yang sama sekali tidak meninggalkan kesempatan untuk ragu dalam memilih sebelum kesempatan hilang dan sebelum kebun yang rindang, subur dan berbuah banyak itu ditimpa angin kencang yang mengandung api.
Sesungguhnya singkronisasi yag begitu halus dan indah yang dapat dirasakan dalam susunan setiap pemandangan secara sendiri-sendiri dan dalam cara menampilkan dan menyelaraskanya… Singkronisasi ini tidak berhenti pada berbagai pemandangan secara sendiri-sendiri. Akan tetapi membentangkan keindahannya sehingga mencakup semua pemandangan secara bersamaan sejak dari awal hingga akhir dalam pelajaran ini. Semuanya menampilkan dalam dimensi yang sejenis, yakni dimensi kebun. Bibit yang tumbuh dengan tujuh tangkai… Batu licin di atasnya debu yang ditimpa hujan lebat… Kebun yang indah di dataran tinggi yang menghasilkan buah dua kali lipat… Kebun kurma dan anggur… Bahkan hujan lebat, gerimis, angin kencang yang menyempurnakan suasana perkebunan tidak terlepas dari situasi penampilan sastra / seni yang sangat mengesankan.
Inilah hakikat besar di balik di balik penampilan sastra yang mengesankan itu. Hakikat hubungan antara jiwa manusia dan tanah. Sebuah hakikat asal yang sama, hakikat karakter yang sama, hakikat kehidupan yang sama-sama tumbuh dalam diri dan dalam tanah dan hakikat yang sama-sama menghapuskan saat menimpa kehidupan baik dalam diri maupun dalam tanah.
Sesungguhnya itulah Al-Qur’an… Kata yang hak (benar) dan amat indah yang diturunkan dari Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Kontek berikutnya adalah sebuah langkah dalam peraturan sedekah (infak) untuk menjelaskan caranya setelah menjelaskan adab-adab dan pengaruhnya. “Hai orang-orang yang beriman, infak-kanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Sesungguhnya dasar-dasar yang diungkap oleh ayat-ayat sebelumnya yang menjadi landasan sedekah (infak) itu dan inspirasinya mengharuskan kedermawanan itu adalah pemberian dari apa yang terbaik yang dimiliki, bukan yang kurang baik, apalagi yang buruk yang tidak disukai oleh pemilikinya. Ketika diberikan padanya dalam transaksi misalnya, dia tidak mau menerimanya karena mutu atau nilainya yang rendah. Maka Allah lebih sangat tidak mau lagi menerima yang jelek dan buruk.
Itulah panggilan bagi orang-orang beriman – pada setiap waktu dan generasi – yang mencakup semua harta yang diperolehnya. Mencakup semua harta yang baik dan halal yang diperolehnya serta apa saja yang Allah keluarkan dari perut bumi berupa tanaman dan selain tanaman, termasuk barang tambang dan minyak bumi. Sebab itu, termasuk semua harta yang dimiliki, apakah yang sudah dikenal di zaman Nabi Saw. atau yang ditemukan sesudahnya. Nash (ayat)-nya umum; mencakup semua jenis harta yag ditemukan di sepanjang masa. Semuanya merupakan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun ukuran (takaran)-nya maka Sunnah Rasul Saw. telah menjelaskannya dalam jenis harta yang dikenal di masa itu. Itulah dasar “qiyas” (analogi)-nya dan dihubungkan dengan berbagai jenis harta yang ada.
Terdapat beberapa riwayat terkait sebab turun ayat ini. Sebagi mukaddimah, tidak masalah kita sebutkan di sini, dengan tujuan untuk menghadirkan hakikat kehidupan yang dihadapi Al-Qur’an (saat ia diturunkan) dan hakikat upaya yang diberikannnya untuk mendidik jiwa dan mengangkat derajatnya ke posisi yang sebenarnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan – dengan sanadnya – dari Al-Barrok bin ‘Azib – radhiyallahu ‘anhu – dia berkata : Ayat ini diturunkan pada kaum Anshar ketika penebangan pohon kurma (semacam peremajaan) mereka menyisihkan buah kurma yang belum matang dan menggantungkannya dengan tali yang diikatkan di antara dua tiang di Masjid Nabawi. Maka orang Muhajirin yang miskin memakannya. Seorang di antara mereka sengaja memberikan yang buruk dan dimasukkan (digantungkan) di ujung tongkat karena menduga hal tesebut tidak masalah. Maka Allah menurunkan pada yang melakukannya “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, …”.
Demikian pula seperti yang diriwayatkan Al-Hakim dari Al-Bbarrok dan dia berkata : Hadits tersebut shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Musli, kendati mereka tidak mentakhrijnya.
Ibnu Hatim meriwayatkan – dengan sanadnya dari sumber lain – dari Al-Bbarrok ra dia berkata : Ayat itu turun pada kami. Kami adalah para pemilik kebun kurma. Ada seorang yang membawa kurma berdasarkan banyak atau sedikit (panen). Lalu seseorang datag membawa kurma simpanannya dan menggantungkannya di Masjid Nabawi. Ahlu Shuffah (beberapa sahabat miskin yang tinggal di Masjid Nabawi) tidak memiliki makanan. Salah seorang di antara mereka saat lapar memukul (kuram yang digantung itu) dengan tongkatnya, lalu jatuhlah buah kurma yang belum matang dan yang sudah matang. Iapun memakannya. Orang-orang yang tidak menyukai kebaikan datang membawa buah kurma yang rusak, buah ujung dan yang belum matang lalu digantungkan (di Masjid Nabawi), maka turunlah ayat “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya”. Dia berkata : jika di antara kamu dihadiahkan seperti apa yang dia berikan, niscaya dia tidak akan mengambilnya kecuali sambil memejamkan mata dan karena malu. Maka setelah itu kami datang dengan membawa kurma yang baik yang kami miliki.
Dua riwayat tersebut mirip redaksinya. Keduanya mengisyaratkan situasi, kondisi dan realitas di Madinah saat itu. Juga memperlihatkan pada kita lembaran yang bertentangan yang pernah dilukiskan kaum Anshar dalam sejarah pengorbanan, kemurahan hati dan pemberian yang melimpah. Bagaimana ayat tersebut memperlihatkan pada kita bahwa dalam satu jamaah terdapat contoh ajaib yang tinggi, sedangkan contoh yang lain adalah yang membutuhkan tarbiyah, perbaikan, dan arahan agar dapat menuju kesempurnaan. Sebagaimana sebagian kaum Anshar membutuhkan larangan bagi kesengajaan memberikan harta mereka yang buruk yang mana mereka sendiri terkadang tidak mau menerimanya dalam bentuk hadiah kecuali karena malu menolaknya dan tidak pula terjadi dalam transaksi bisnis kecuali dengan memejamkan mata. Artinya, sebuah kekurangan dalam value (nilai), padahal mereka persembahkan untuk Allah.
Sebab itu, datang komentar Allah “ Ketahuilah sesunggugnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. Maha Kaya… Mutlak tidak butuh pemberian manusia. Jika mereka meberikan sesuatu, maka pemberian itu untuk diri mereka sendiri. Maka berikanlah yang terbaik dan juga dengan keikhlasan hati. Maha Terpuji…. Menerima yang baik-baik dan memujinya serta membalasnya dengan kebaikan (syurga).
Setiap dari dua karakter tersebut sangat menggugah hati kita, sebagaimana menggugah hati para kaum Anshar itu. “Wahai orang-orang beriman! Infakkanlah yang baik-baik dari hartamu”. Kalu tidak, Allah tidak butuh pada harta buruk yang diinfakkan itu. Sedangkan Dia hanya menerima dan memuji kalian jika memberikan yang baik-baik sebagai balasan bagi yang ridha dan bersyukur. Karena Allah adalah Pemberi rezki. Dia membalas pemberian kalian dengan balasan terpuji, sedangkan harta yang kalian berikan itu adalah pemberian-Nya juga sebelumnya. Inspirasi macam apa gerangan? Motivasi macam apa gerangan dan tarbiayah hati macam apa gerangan yang erdapat dalam metode yang amat dahsyat ini?
Manakala tidak mau berinfak atau memebrikan yang buruk dan jelek sesunguhnya menunjukkan motivasi yang buruk dan keyakinan terhadap apa yang ada di sisi Allah yang terganggu. Juga ketakutan pada kemiskinan yang tidak mungkin dimiliki jiwa yang terhubung dengan Allah, bergantung pada-Nya dan menyadari semua yang ada pada dirinya akan kembali kepada Allah. Allah membuka faktor-faktor pendorong tersebut bagi orang-orang beriman agar terlihat nyata dan agar mereka mengetahui dari mana tumbuhnya nafsu dan apa saja yang mempengaruhi hati… Itulah setan. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia . Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Setan menakut-nakuti kamu akan kefakiran. Itulah faktor yang mempengaruhi jiwamu untuk tamak, kikir dan kompetisi tidak sehat. Setan juga menyuruh kamu berbuat fahsyak (keji). “Fahsyak” adalah setiap maksiat. Artinya, melampaui batas. Kendati kata “fahsyak” mendominasi makna makasiat tertentu, akan tetapi kata tersebut juga mencakup semua bentuk maksiat. Ketakutan fakir / miskin di kalangan kaum Jahiliyah sehingga mereka menguburkan anak-anak wanita hidup-hidup juga diesebut “fahsyak”. Rakus dalam mengumpulkan harta sehingga mendorong melakukan tarnsasksi riba, juga disebut “fahsyak”. Sesungguhnya takut miskin disebabkan infak fi sabilillah juga termasuk “fahsya”.
Ketika setan menjanjikan Anda kemiskinan dan menyuruh berbuat “fahsyak”, Allah menjanjikan Anda ampunan dan karunia. “Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia”. Didahulukan “ampunan” dan diakhirkan “ karunia”, karena karunia itu sebagai tambahan di atas “ampunan”. Termasuk juga pemebrian rezki di bumi ini, sebagai balasan pengorbanan di jalan Allah. “ Allah Maha Luas (karunia) dan Maha Mengetahui”. Dia memberi kelapanagan (rezki) dan mengetahui apa yang menjadi was-was (bisikan) dalam dada manusia dan apa yang terbetik dalam hati.
Allah idak hanya memberikan harta dan tidak ahanya ampunan. Akan tetapi memberikan “hikmah”, yakni kemampuan merealisasikan niat, lurus, menyadari penyakit dan tujuan dan meletakkan masalah pada temapatnya dengan tepat dan visi serta kesadaran penuh. Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak”. Diberikan-Nya niat dan-Nya pula kesadaran mengenal penyakit dan tujuan sehingga tidak tersesat dalam menilai permasalahan / perkara. Diberikan-Nya kemampuan melihat yang mencerahkan yang membimbing memperoleh yang baik dan benar dari pergerakan dan perbuatan… Semua itu adalah kebaikan yang banyak dan beragam.
“Dan tidka ada yang dapat mengambil peringatan keculi mereka yang memiliki pemikiran”. Orang yang memiliki “lub” yakni akal, dialah yang ingat dan tidak lupa, hati-hati, tidak lalai, mengambil pelajaran dan tidak terjerumus ke kesesatan. Ini adalah tugas akal. Tugasnya adalah mengingat petunjuk wahyu dan bukti-buktinya serta memanfaatkannya sehingga tidak hidup main-main dan lalai.
Hikmah ini diberikan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Hikmah itu terkait dengan kehendak Allah Subhanah. Ini adalah kaedah dasar dalam konsepsi Islam. Yakni, mengembalikan segala sesuatu pada kehendak mutlak dan pilihan Allah. Pada waktu yang sama, Al-Qur’an menetapkan hakikat lain, yakni siapa yang menginginkan hidayah dan berusaha meraihnya serta bersungguh-sungguh untuknya, maka Allah tidak akan menghalanginya dan bahkan menolongnya : “ Dan orang-orang yang bersusngguh-sungguh di jalan Kami pasti Kamu tunjukkan jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang baik (professional)”. Hendaklah merasakan ketenangan setiap orang yang datang meraih petunjuk Allah bahwa kehendak Allah akan memberinya pentunjuk, hikmah dan kebaikan yang banyak.
Ada hakikat lain – sebelum membahas masalah ini dengan luas – sebelum meninggalkan renungan ini pada firmal Allah: “ Setan menjanjikan padamu kemiskinan dan menyuruhmu berbuat “fahsyak”, sedangkan Allah Allah menjanjikan padamu ampunan dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia) dan Maha Mengetahui. Dia memberika “hikmah” kepada orang yang dikehendaki….”.
Sesungguhnya di hadpan manusia hanya ada dua jalan, tidak ada jalan yang ketiga. Jalan setan atau jalan Allah. Apakah dia mendengar janji Allah atau janji setan. Siapa yang tidak berjalan di atas jalan Allah dan mendengarkan janji-Nya maka orang itu pasti berjalan di atas jalan setan dan mengikiuti janjinya. Sebab itu, tidak ada manhaj (yang lurus) kecuali hanya satu, yaitu “al-haq”… Manhaj yang disyariatkan Allah. Selain itu adalah milik setan dan dari setan.
Hakikat ini ditetapkan Al-Qur’an Al-Karim dan diulang-ulang serta amat ditekankan, agar tidak ada lagi argumentasi bagi orang yang ingin menyimpang dari manhaj Allah, kemudian mengklaimnya sebagi petunjuk dan kebenaran; dalam masalah apa saja. Tidak ada lagi remang-remang atau tertutup. Allah… atau setan. Manhaj Allah…. atau manhaj setan. Jalan Allah… atau jalan setan bagi yang menghendaki dan memilihnya. “Agar celaka orang yang celaka dengan nyata (argumentasi) dan hidup (dalam petunjuk) orang yang hidup dengan nyata”. Tidak ada lagi remang-remang, tertutup dan terbungkus… Sesungguhnya yang ada hanyalah “hudan” (petunjuk) atau kesesatan. Hak itu hanya satu dan tidak berbilang. “Dan tidak ada lagi setelah hak itu melainkan kesesatan”.(
Kali ini konteks ayat kembali berbicara tentang sedekah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dibelanjakan seseorang, baik itu sedekah atau nadzar, baik secara rahasia atau terang-terangan. Di antara implikasi pengetahuan-Nya ini Allah membalas perbuatan sesuai niat yang menjadi motivasinya.
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat lalim tidak ada seorang penolong pun baginya. Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 270-271)
Kata infak itu mencakup semua harta yang dikeluarkan seseorang; zakat atau sedekah atau sumbangan sukarela di jalan jihad. Nadzar juga termasuk infak yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri dalam ukuran tertentu.
Perasaan seorang mukmin bahwa Allah menatap niat dan geraknya itu menimbulkan berbagai perasaan yang hidup; rasa takwa dan segan untuk riya’, pelit, atau rasa takut miskin. Juga rasa yakin terhadap balasan Allah dan rasa puas karena telah bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya dengan menginfakkan pemberian-Nya.
Adapun orang yang tidak menunaikan hak nikmat serta tidak menjalankan hak Allah dan hamba-hamba-Nya, maka ia disebut zhalim terhadap janji, terhadap man, dan terhadap diri sendiri.
“Orang-orang yang berbuat lalim tidak ada seorang penolong pun baginya..”
Manusia dalam hal ini terbagi menjadi dua golongan: yang berlaku adil dan menjalankan janji terhadap Allah—apabila Allah memberinya nikmat maka ia memenuhi janji itu dan bersyukur. Dan orang zhalim yang melanggar janji Allah, dengan cara tidak memberi hak dan tidak bersyukur.
Merahasiakan sedekah sunnah itu lebih baik dan lebih dicintai Allah, serta lebih bersih dari kotoran riya. Tetapi ketika sedekah itu wajib, maka lebih baik diberikan secara terang-terangan karena hal itu memperlihatkan pesan taat. Dalam dua kondisi itu, Allah menjanjikan peleburan dosa:
“Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu…”
Ayat ini di satu sisi menggugah ketakwaan dan kehati-hatian dalam hati mereka, dan di sisi lain memberinya rasa tentram dan rileks. Selanjutnya ayat ini menghubungkan hati dengan Allah saat berniat dan beramal dalam kondisi apapun.
“Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan di sini. Pertama, pemahaman Islam terhadap watak jiwa manusia, sifat bakhil yang melekat padanya, dan kebutuhannya terhadap motivasi secara kontinu untuk mengalahkan sifat bakhil tersebut. Kedua, watak yang dihadapi al-Qur’an di tengah masyarakat Arab yang dikenal dengan kedermawanannya, tetapi tujuannya adalah popularitas. Tidak mudah bagi Islam untuk mengajari mereka bersedekah tanpa mengharapkan popularitas, melainkan berorientasi kepada Allah semata. Perkara ini membutuhkan pembinaan yang panjang dan kerja keras! Dan akhirnya berhasil..
Dari sini pembicaraan beralih dari orang-orang yang beriman kepada Rasulullah saw untuk menetapkan sejumlah hakikat besar yang memiliki pengaruh yang kuat dalam membangun konsepsi Islam di atas dasar-dasarnya.
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Nabi saw menyuruh agar tidak bersedekah kecuali kepada orang Islam, hingga turunlah ayat ini, dan setelah itu beliau menyuruh sedekah kepada setiap orang yang meminta dari agama apapun..
Hati manusia adalah ciptaan Allah, dan hanya Dia yang menguasainya, sedangkan tugas Rasul hanyalah menyampaikan wahyu. Hakikat ini harus tertanam dalam perasaan seorang muslim agar ia meminta hidayah kepada Allah semata. Kemudian, hakikat ini membuat jiwa da’i tidak gundah dengan sikap keras kepala orang-orang yang sesat, dan cukup menunggu ijin dari Allah agar hidayah itu masuk ke dalam hati mereka.
Tidak hanya menetapkan pripsip kebebasan beragama, lebih dari itu Islam juga menetapkan solidaritas kemanusiaan dan menetapkan hak bagi semua orang yang membutuhkan bantuan—selama tidak dalam kondisi perang—tanpa melihat akidah mereka. Konteks selanjutnya menjelaskan kondisi orang-orang mukmin ketika berinfak:
“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah.”
Inilah satu-satunya keadaan orang mukmin; berinfak untuk mencari ridha Allah semata, bukan untuk menarik perhatian manusia! Dari sini, ia yakin Allah menerima sedekahnya, memberkahi hartanya, memberinya pahala, serta meyakini kebaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ia meningkat derajatnya dan menjadi bersih dengan apa yang diberikannya padahal ia masih di bumi, sedangkan karunia di akhirat itu jauh lebih baik!
Kemudian konteks menyebut secara khusus orang yang berhak menerima sedekah dan melukiskan satu model manusia yang mulia.
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273)
Sifat ini secara khusus cocok dengan kelompok Muhajirin yang meninggalkan harta dan keluarga, tinggal di Madinah untuk berjihad di jalan Allah dan menjaga Rasulullah seperti sebagaimana Ahlush-Shuffah. Tetapi, nash ini bersifat umum dan mencakup orang-orang selain mereka dari semua generasi.
Yaitu orang yang terhalang situasi dan kondisi untuk bisa bekerja, namun harga diri menghalangi mereka untuk meminta bantuan. Mereka berpura-pura tidak butuh sehingga orang yang tidak tahu mengira mereka kaya, tetapi seseorang yang memiliki perasaan yang peka tahu kondisi mereka sebenarnya. Itulah gambaran yang amat dalam inspirasinya mengenai model manusia yang terhormat.
Orang-orang yang miskin tapi terhormat itu menyembunyikan kebutuhan mereka seolah-olah menutupi aurat. Kalau mau memberi mereka, maka harus dengan sembunyi-sembunyi dan halus agar tidak mencemarkan kehormatan mereka. Karena itu, ulasan berikut menginspirasi untuk memberi sedekah secara rahasia, dengan meyakinkan kepada pemberi sekedah itu bahwa Allah mengetahuinya dan akan membalasnya:
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Terakhir, aturan main sedekah dalam pelajaran ini ditutup dengan nash umum yang mencakup semua cara dan waktu infak, dan dengan hukum yang mencakup semua orang yang berinfak karena Allah:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 274)
Terlihat jelas keserasian pada penutup ini dari segi cakupan umum nash, baik di permulaan ayat atau pada penutup ayat.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya…” mencakup semua jenis harta. “Di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan..” mencakup semua waktu dan semua kondisi. “Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya..” baik itu harta yang terus berkembang dan umur yang berkah, atau pahala di akhirat dan ridha Allah. “Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati..” di dunia dan akhirat.
Islam tidak menggantungkan kehidupan para pemeluknya pada pemberian. Karena sistem Islam adalah mempermudah pekerjaan dan sumber rezki bagi setiap yang mampu bekerja, distribusi kekayaan sesuai benar, dan keadilan antara usaha dan kompensasi. Tetapi ada kondisi emergensi yang harus ditangani dengan sedekah. Baik berupa sedekah wajib yang dihimpun negara yang menerapkan syariat Allah, atau berupa sedekah sunnah tak terbatas yang diberikan orang yang mampu kepada orang yang membutuhkan, dengan tetap dijaga etika-etika yang telah dijelaksan.
Bukhari meriwayatkan dari Atha bin Yasar dan Abdurrahman bin Abu ‘Amrah, keduanya berkata: Kami mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda, “Yang disebut orang miskin itu bukan orang yang cukup diberi satu atau dua butir kurma lalu pulang, dan tidak pula satu atau dua suap. Tetapi, orang miskin itu adalah orang yang menjaga diri.” Kalau mau, silakan baca firman Allah: “Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (273) Dan masih banyak lagi hadits yang menjelaskan makna yang sama.
Islam adalah sistem yang komplementer. Semua nash, arahan, dan aturannya bekerja secara sinergis. Ia tidak bisa diambil sebagian-sebagian dan terpisah-pisah. Ia bekerja secara serentak, dan seperti itulah Islam membangun masyarakatnya yang unik dan tidak pernah diketahui padanannya pada masyarakat-masyarakat dunia lainnya.
Wajah lain yang kontras dengan sedekah adalah wajah yang masam dan tidak baik, yaitu wajah riba. Bila sedekah merupakan manifestasi hati yang lapang, kesucian, kerjasama dan solidaritas, maka riba adalah manifestasi sifat pelit, hati yang kotor, egoisme dan individualisme. Sedekah adalah merelakan harta tanpa pengganti dan imbalan, sedangkan riba adalah menagih hutang dengan disertai selisih tambahan yang haram dan diambil dari tenaga atau daging orang yang berhutang.
Karena itu, konteks menjelaskan riba secara langsung sesudah memaparkan wajah yang baik, toleran, suci, baik, dan penuh cinta! Konteks menghadirkan riba dalam bentuk yang menjijikkan. Ia membongkar keburukan yang ada dalam praktik riba, kekerasan hati, kejahatan sosial, dan kerusakan di muka bumi dan kehancuran umat manusia.
Sistem Islam dan sistem riba tidak memiliki bertemu dalam satu persepsi, dasar, dan hasil. Masing-masing berdiri pada persepsi terhadap keh, tujuan dan sasaran yang bertolak belakang secara sempurna, dan masing-masing akan mencapai hasil yang benar-benar berbeda.
Islam membangun sistem ekonominya—dan juga sistem kehidupan seluruhnya—di atas persepsi yang merefleksikan kebenaran yang hakiki di dalam wujud ini, yaitu bahwa Allah adalah Pencipta dan pemilik alam semesta ini—termasuk manusia. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, membekalinya dengan rezki dan potensi yang tersimpan di dalamnya, untuk didayagunakan sesuai dengan perjanjian dan syarat dari Allah. Allah tidak membiarkan manusia menggunakan kekuasaan sesuka hati, melainkan harus sesuai manhaj dan syari’at Allah.
Jadi, hakimiyyah di bumi dan di alam semesta ini adalah milik Allah semata. Sementara manusia—baik penguasa atau rakyat—itu kekuasaan mereka bersumber dari implementasi syari’at dan manhaj Allah.
Di antara isi perjanjian ini adalah solidaritas di antara orang-orang mukmin, dan memanfaatkan rezki Allah dengan prinsip solidaritas—bukan sosialisme tulen seperti yang disuarakan marxisme, melainkan kepemilikan individual yang terbatas.
Selain itu, Allah juga menetapkan syarat moderat dan tidak berlebihan dalam membelanjakan rezki pemberian Allah dan menikmati hal-hal baik yang halal. Dari sini, kebutuhan konsumtif mereka terhadap harta dan hal yang baik itu tidak keluar dari batas moderat, dan kelebihanya itu bisa disalurkan untuk zakat dan sedekah.
Allah juga mensyaratkan mereka untuk mengembangkan kekayaan mereka dengan cara-cara yang tidak mengganggu orang lain dan tidak menghentikan perputaran kekayaan di antara hamba-hamba Allah dengan skala yang paling luas. Allah juga mewajibkan mereka untuk bersih niat, cara dan tujuan.
Dari sini, riba merupakan praktik yang sejak awal bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan dan sama sekali tidak memperhatikan prinsip, tujuan, dan moral yang diinginkan Allah bagi manusia. Sejak awal dasar riba adalah tidak ada hubungan antara keinginan Allah dan keh manusia, karena manusia adalah tuan di bumi ini.
Setiap individu memiliki kebebasan cara untuk memperoleh harta, mengembangkannya, dan menikmatinya, tanpa terikat oleh satu perjanjian atau syarat dari Allah, serta maslahat orang lain. Terkadang hukum positif memasuki wilayah kebebasan individu—secara parsial—untuk menetapkan suku bunga misalnya, tetapi campur tangan ini bermuara kepada hawa nafsu mereka, bukan para prinsip yang konstan dari Allah! Riba juga berpijak pada prinsip yang keliru, yaitu bahwa tujuan keberadaan manusia adalah menumpuk kekayaan—dengan cara apapun, dan menikmatinya menurut selera!
Kemudian, pada akhirnya riba menghasilkan sebuah sistem yang menyengsarakan manusia, meruntuhkan moral dan psikologis, menciptakan ketidak-seimbangan dalam perputaran kekayaan dan perkembangan ekonomi, dan pemusatan kekuasaan eksekutif pada tangan kelompok manusia yang amat nista dan jahat.
Mereka tidak hanya memiliki kekayaan, tetapi juga kekuasaan. Tetapi, karena tidak punya prinsip, moral, dan persepsi keagamaan atau etis sama sekali, maka sudah barang tentu mereka menggunakan kekuasaan ini untuk menciptakan sistem, pemikiran, dan undang-undang yang memungkinkan mereka meningkatkan eksploitasi. Cara paling mudah adalah merusak moral manusia dan menjatuhkannya pada kubangan kenikmatan dan syahwat, yang harus dibayar dengan uang sehingga nilainya jatuh!
Bencana yang terjadi saat ini adalah para rentenir itu dengan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki—baik pada aspek jurnalisme, penerbitan, universitas, dan lain-lain—menciptakan logika massa mayoritas masyarakat miskin yang digerogoti para rentenir itu. Logika massa ini tunduk kepada bisikan berancun bahwa bunga merupakan sistem yang natural dan logis, serta fondasi yang benar bagi pertumbuhan ekonomi, dan bahwa di antara berkah dan kebaikan bunga adalah kemajuan peradaban Barat. Orang-orang yang ingin menyingkirkannya adalah satu kelompok utopis—bukan praktisi—yang memandang dari sudut teori-teori moral dan idealita imajinatif yang tidak riil.
Sesungguhnya sistem riba merupakan sistem yang cacat dari sisi ekonomi murni. Sedemikian buruknya hingga para apakar ekonom Barat sendiri yang membeberkannya. Sebut saja Hjalmar Schacht, mantan direktur bank Reichsbank. Pada tahun 1953 di Damaskus, ia menyatakan,
“‘Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Bukan ini saja kejahatan sistem riba, karena ia juga membuat hubungan antara pemodal dan pekerja dalam perdagangan dan industri itu sebagai hubungan perjudian dan pertengkaran yang terus menerus. Rentenis berusaha keras meraup bunga sebesar mungkin. Karena itu, ia menahan modal hingga kebutuhan perdagangan dan industri terhadapnya semakin meningkat, sehingga meningkat pula suku bunganya. Saat itu volume modal yang disalurkan pada sektor riil menurun, pabrik-pabrik menyempitkan wilayah produksinya, terjadi PHK besar-besaran, sehingga daya beli pun menurun.
Ketika masalahnya sampai pada batas ini, maka para rentenir itu kembali menurunkan suku bunga secara terpaksa, lalu para praktisi industri dan perdagangan meresponnya lagi dan siklus kehidupan pun kembali baik. Demikian seterusnya.
Dalam tafsir ini kami tidak bermaksud mengkaji setiap catat pada sistem riba. Kami hanya ingin mengingatkan kepada orang-orang yang ingin menjadi muslim akan sejumlah hakikat tentang penolakan Islam terhadap sistem riba:
Pertama, Islam tidak pernah berdampingan dengan sistem riba. Kalau ada yang mengatakan demikian, meskipun dia juru fatwa dan agamawan, maka itu bohong. Karena persepsi Islami itu berbenturan langsung dengan sistem riba dan akibat-akibat praktisnya dalam kehidupan, persepsi, dan akhlak manusia.
Kedua, sistem riba merupakan bencana bagi umat manusia—bukan hanya dari sisi akidah, moral dan persepsinya terhadap kehidupan, tetapi juga terhadap inti kehidupan ekonomi mereka.
Ketiga, sistem moral dan aturan kerja dalam Islam itu terkait sepenuhnya. Ekonomi Islam yang sukses tidak bisa dicapai tanpa moral, dan moral bukan anjuran yang bisa ditinggalkan dalam meraih kehidupan praktis manusia yang sukses.
Keempat, transaksi riba itu pasti merusak rasa seseorang dan moralnya terhadap saudaranya, dan bahkan merusak kehidupan jama’ah lantaran kerakusan dan egoisme yang ditimbulkannya. Di masa sekarang, riba dianggap sebagai motivator pertama untuk mengarahkan modal kepada cara eksplorasi yang paling rendah. Karena itu, riba menjadi faktor langsung investasi modal di bidang perfilman yang tidak bermoral, klub-klub malam, dan berbagai proses yang menghancurkan moral manusia.
Kelima, Islam merupakan sistem yang komplementer. Ketika ia mengharapkan transaksi riba, maka berarti Islam telah mendirikan seluruh sistemnya pada fondasi ketidak-butuhan terhadap riba, dan mengatur sisi-sisi kehidupan sosial hingga bebas dari kebutuhannya terhadap transaksi model ini, tanpa merusak pertumbuhan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang berjalan konstan.
Keenam, manakala Islam diberi kesempatan menghatur kehidupan sesuai persepsi dan manhajnya yang khusus, maka Islam—pada waktu meniadakan transaksi riba—tidak perlu membekukan lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang dibutuhkan bagi perkembangan kehidupan ekonomi modern secara natural dan sehat. Tetapi, Isalm akan membersihkannya dari kotoran riba, lalu membiarkannya bekerja sesuai kaidah-kaidah lain yang bersih. Di antara lembaga dan instansi tersebut adalah lembaga perbangkan, perseroan, dan lembaga-lembaga ekonomi modern lainnya.
Ketujuh, keharusan seorang muslim untuk meyakini kemustahilan Allah mengharamkan sesuatu yang tanpanya kehidupan manusia tidak bisa berdiri dan maju! Kemustahilan adanya sesuatu yang busuk dan pada waktu yang sama menjadi kenisyaan bagi keberlangsungan dan kemajuan hidup. Yang demikian itu merupakan persepsi yang salah, pemahaman yang keliru, dan propaganda keji yang senantiasa menebarkan pemikiran bahwa riba merupakan syarat mutlak kemajuan ekonomi dan kemakmuran.
Kedelapan, persepsi bahwa ekonomi dunia pada hari ini dan besok tidak dapat berdiri di atas prinsip selain prinsip riba merupakan mitos belaka, atau merupakan kebohongan besar karena sarana-sarana yang digunakan para pemilik kepentingan untuk mempertahankan riba itu adalah sarna yang benar-benar besar. Ketika niatnya lurus dan umat manusia—atau umat Islam—bertekad untuk merebut kebebasannya dari cengkraman sistem riba internasional, serta menginginkan kebaikan, kebahagiaan, berkah, akhlak yang baik dan masyarakat yang bersih, maka terbuka peluang untuk menegakkan sistem yang dikehendaki Allah ini.
Di sini bukan tempatnya untuk merinci metode dan sarana aplikasinya, tetapi cukup memberi isyarat secara garis besar. Telah terbukti bahwa bobroknya praktik riba itu bukan merupakan suatu keharusan dalam ekonomi, dan bahwa manusia yang dahulu menyimpang dari jalan yang lurus lalu Islam mengembalikannya ke jalan yang lurus itu adalah manusia yang sama dengan yang menyimpang pada hari ini. Maka, marilah kita melihat bagaimana revolusi Islam menangani kebobrokan yang bencananya tidak pernah dirasakan manusia seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar